SEBUAH GELANGGANG KESENIAN DI JAKARTA

Sumber: Indonesia, No. 9, Tahun III, September 1952, hlm 22-25 (tulisan ini juga dimuat di Siasat, No. 278, 7 September 1952)

Karangan ini adalah sebuah khayal belaka. Untuk saya berkhayal itu tidak ada jeleknya, sebab inti dari perkembangan jiwa adalah khayal. Orang yang banyak khayalnya selalu hidup dengan angan-angan yang kuat dan angan-angan ini memberi cambuk untuk berbuat dan mempunyai tenaga kreatif. Hidup berkhayal bukan hanya hidup bermimpi yang berarti sangat jauh dari kenyataan, tetapi khayal sebenarnya dalam kenyataannya tidak berbeda dengan bunga, pohon atau piring. Karena letaknya masih dalam angan-angan maka tidak dapat kita lihat sebagai barang yang dapat diraba atau bentuk yang terbatas tertentu. Tetapi tenaga ini menjadi bagian yang penting dalam memberi wujud dan bentuk sehingga angan-angan itu dapat dilihat atau diterima oleh orang lain.

Yang memberi dorongan pada khayal yang saya adakan ini adalah sebuah berita dalam surat kabar yang menerangkan, bahwa ada niatan untuk mengembalikan Wilhelmina Park (nama dulu) untuk keperluan umum. Sekarang taman ini masih dipakai buat keperluan tentara. Dan wujud apa akan dipakainya nanti, apakah tetap dijadikan taman seperti dahulu atau akan didirikan gedung, sehingga sekarang belum dapat diketahui.

Setelah membaca berita ini saya ingat pada Isamu Noguchi, seorang ahli patung dari Amerika. Ia ingin tinggal di Indonesia serta dapat pekerjaan membangun kota-kota. Yang disesalkan di Indonesia ialah kota-kotanya belum mempunyai corak. Noguchi selain ahli patung ia banyak pengalaman dalam membuat tamanan (seperti taman untuk kanak-kanak) dan di Meksiko, ia banyak bekerja membuat fresco dan lukisan dinding. Di sana sudah menjadi kebiasaan untuk menghiasi tempat-tempat yang banyak didatangi orang, misalnya pasar, kantor atau tempat-tempat pertunjukan, dengan lukisan dinding atau fresco. Dengan cara begini dapat diselenggarakan pendidikan rasa keindahan kepada umum.

Sekarang yang menjadi pokok dari khayal saya ialah Wilhelmina Park atau Benteng Pendem. Di tengah-tengah taman tersebut ada sebuah benteng kuno yang dikelilingi oleh tembok tanah yang tinggi, sehingga rumah-rumah yang ada didalamnya kelihatan seperti terletak di dalam tanah. Oleh karena inilah maka gedung-gedung yang ada di dalamnya itu disebut benteng pendam. Ada kabar, entah ini betul, bahwa benteng pendam ini akan dibongkar dan sebagai gantinya akan didirikan sebuah masjid. Jika ini betul menurut pendapat saya, tidak pada tempatnya sebuah masjid berada di tengah-tengah daerah Pintu Air. Bukankah daerah Pintu Air ini menjadi pusat tempat melepaskan lelah dan keramaian? Di situ kita bisa pergi ke bioskop, minum di restoran atau berdansa di bar.

Sebetulnya yang menghubungkan Wilhelmina Park dalam khayal saya ialah kegiatan-kegiatan dari beberapa kawan di hari-hari belakang ini untuk mengadakan penyelenggaraan sandiwara alam (openlucht theater). Ini belum menjadi tindakan yang nyata, tetapi sudah menjadi angan-angan. Dan angan-angan ini bisa kita pastikan supaya menjadi cita-cita yang harus dituju.

Tentunya terhadap cita-cita selalu timbul pertanyaan, apakah ini bisa? Dan apakah sudah pada waktunya untuk mengadakan itu?

Kalau kita melihat pertunjukan-pertunjukan yang diadakan oleh bagian besar dari rakyat Indonesia dapat kita ketahui, bahwa pertunjukan-pertunjukan itu kebanyakan diadakan di luar di tengah-tengah alam. Lihat saja pertunjukan-pertunjukan lakon dan tarian di Bali. Dan di Jawa misalnya lenong, topeng, ludruk, langendrian dan juga tarian-tarian atau seni suara jarang sekali yang diadakan dalam ruangan tertutup. Hanya di kota-kota besar dimana pengertian eksploitasi sudah meluas, sehingga segala sesuatu diperalatnya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Di kota tidak ada barang sesuatu kepunyaan milik umum. Orang harus membayar dengan harga tinggi untuk bisa mengadakan kenikmatan. Kadang-kadang tidak semua manusia mempunyai hak menikmat. Seringkali dengan cara-cara, entah harganya begitu tinggi atau peraturan-peraturan sehingga hanya golongan tertentu saja dapat memiliki kenikmatan itu. Soal kemasyarakatan ini tidak perlu kita perpanjang. Yang sudah tentu ialah bahwa pertunjukan alam adalah suatu wujud pertumbuhan dalam penyelenggaraan pertunjukan di Indonesia.

Jadi jika kita adakan pertunjukan alam bukanlah barang baru bagi bangsa kita. Orang-orang di desa sudah mengenalnya dan sehingga sekarang masih dilanjutkan dengan segarnya seperti contoh-contoh yang tertulis. Dan jika kita adakan pembaruan dalam hal ini adalah dalam arti caranya saja dan dalam hal pemakaian alat-alat yang berasal dari Barat.

Maksud saya sekarang jika seandainya Wilhelmina Park dengan benteng pendamnya akan dikembalikan menjadi tempat pelepasan lelah, alangkah baiknya apabila benteng pendam itu kita rombak menjadi openlucht theater. Saya namakan saja gelanggang (arena) kesenian. Dengan begini kota Jakarta mempunyai sebuah gelanggang untuk pertunjukan kesenian.

Bentuk Benteng Pendam dengan tembok tanah yang mengelilinginya sudah menguntungkan bagi pelaksanaan membangun sebuah gelanggang. Yang kita bongkar hanya gedung-gedung yang berada di dalamnya untuk dijadikan dataran pertunjukan. Dinding tanahnya kita lerengkan ke dalam dan di atas lereng ini kita beri tempat duduk penonton mengelilingi dataran pertunjukan. Tentu tidak mungkin mengelilingi seluruh lingkaran. Ruangan ini kita bagi dua, bagian penonton dan bagian pertunjukan, dan kita sesuaikan dengan alat-alat sekarang yang harus kita pergunakan, misalnya lampu, pesawat suara, dekor, dan sebagainya.

Selain untuk pertunjukan sandiwara alam tempat ini dapat dipakai buat pertunjukan seni suara, seni tari, dan lain-lain. Juga dapat dipergunakan buat keperluan rapat atau pertandingan adu tinju. Siang hari pun dapat dipakai buat mengadakan pertunjukan.

Alangkah senangnya rakyat Jakarta, jika misalnya hari Minggu, pagi hari, selain mereka selalu terpaksa menonton film yang dangkal, dengan adanya gelanggang kesenian ini, bisa duduk di bawah pohon yang rimbun sambal mendengarkan musik orkes. Dengan cara begini terdapatlah suatu cara penyelenggaraan untuk menyalurkan pendidikan rasa keindahan.

Mengingat akan kekurangan tempat untuk pelepas lelah di kota Jakarta yang amat sibuk dan ramai ini, ada baiknya jika gelanggang kesenian dikelilingi oleh sebuah taman, dimana orang-orang dapat mengaso dan anak-anak dapat bermain-main. Tempat bermain anak-anak pun amat terasa kurangnya.

Sekarang siapa yang akan ambil inisiatif atas pembangunan ini? Menurut pendapat saya soal ini masuk pembangunan kota; jadi yang harus menyelenggarakan ialah Balai Kota Jakarta Raya.

Apakah yang sudah dibuat oleh Balai Kota untuk penyelenggaraan kesenian di kota Jakarta ini. Dari uang pajak tontonan film dan sandiwara yang masuk beberapakah yang sudah dikeluarkan untuk usaha penyelenggaraan kesenian? Jika separuh dari uang pajak tontonan yang masuk ini dipakai buat penyelenggaraan kesenian yang sehat, barangkali dapat rakyat Jakarta suatu hidangan pendidikan rasa keindahan. Coba lihat saja kota-kota besar di negeri lain.

Dengan giat mereka mengusahakan penyelenggaraan-penyelenggaraan pendidikan rasa keindahan misalnya sandiwara kota, museum keindahan, perpustakaan, taman kanak-kanak (tempat anak-anak bermain), lapangan olahraga, hiburan rakyat. Semua ini diusahakan untuk mengadakan imbangan terhadap tontonan dan kesenangan-kesenangan yang dangkal serta digunakan untuk mencari keuntungan seseorang.

Kapan kota Jakarta bisa berbuat semacam kota-kota besar yang lain untuk memelihara rakyatnya?

Keharusan Berdirinya Suatu Gelanggang Kesenian Rakyat Untuk Jakarta
Editorial Zenith No. 11, November 1952

Basuki Resobowo
Sketsa Basuki Resobowo.