Sumber: Kongres Nasional Sejarah 1996, hlm. 193-198.
Salah satu dokumen sastra Indonesia modern yang penting, tak pelak lagi, adalah Surat Kepercayaan Gelanggang Seniman Merdeka Indonesia, atau lebih terkenal dengan “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Surat Kepercayaan ini lebih terkenal lagi, karena Surat Kepercayaan Gelanggang ini dianggap selanjutnya oleh masyarakat luas sebagai manifesto atau pernyataan dari suatu angkatan kesusastraan yang disebut Angkatan 45. Surat Kepercayaan Gelanggang ini selanjutnya oleh H.B. Jassin, dalam suratnya kepada Aoh tertanggal Jakarta, 15 Desember 1951, sebagai gerakan humanisme universal.
Karangan pendek ini akan mendiskusikan Surat Kepercayaan ini dalam kaitan kesinambungan dengan Pujangga Baru, kaitannya dengan UUD 1945 serta kaitan kesinambungan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Lekra.
Surat Kepercayaan Gelanggang selanjutnya merupakan manifesto dari Perkumpulan Seniman Merdeka “Gelanggang” yang didirikan di Jakarta pada tanggal 1946. Konsep manifesto dibuat di Bogor, mungkin di rumah Asrul Sani, pada tanggal 12 Februari 1950 tetapi disahkan atau diumumkan di Jakarta pada tanggal 18 Februari 1950. Pemrakarsa pembentukan perkumpulan Seniman Merdeka “Gelanggang” adalah Chairil Anwar tetapi sebelum manifesto serta anggaran dasar “Gelanggang” sempat diumumkan Chairil Anwar sudah meninggal pada tahun 1949 yang kemudian disusul oleh tenaga andal lainnya, Ida Nasution. Adapun para tokoh-tokoh penting yang hadir sejak pembentukan draft manifesto hingga pengumumannya antara lain: Asrul Sani, Sitor Situmorang, Usmar Ismail, Mochtar Apin, Rivai Apin, dan Pramoedya Ananta Toer serta Basuki Resobowo.
Bunyi manifesto yang kemudian disebut Surat Kepercayaan “Gelanggang” adalah sebagai berikut:
“Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang-banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo-matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada me-laplap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha-usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu aseli; yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaah-lah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling-pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18 Februari 1950.”
Kalau kita perhatikan dari isi Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut kita ingat akan pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh Pujangga Baru di tahun-tahun 1930-an. Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane pada waktu itu telah menyerukan pikiran-pikiran untuk pembaharuan di bidang kesusastraan Indonesia yang masih terbelenggu oleh kaidah-kaidah kesusastraan Melayu. Sutan Takdir Alisyahbana yang selalu menganjurkan agar kita menengok kea rah Barat dan menguasai kebudayaan Barat menganjurkan agar kita agar kesusastraan Indonesia melestarikan ikatan dengan kesusastraan Melayu dan berpaling ke dunia Barat. Armijn Pane menekankan kepada perlunya penulisan kesusastraan ditulis lebih lugas lagi. Pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang lebih luas dari Pujangga Baru pada waktu kalimat pertama Surat Kepercayaan itu berkata “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri…” Kalimat ini lebih luas dari pernyataan-pernyataan dari pemuka Pujangga Baru seperti Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane. Pernyataan mereka langsung menyebut diri mereka sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” jelas lebih luas dari pernyataan-pernyataan para pemimpin Pujangga Baru yang menganjurkan untuk “berpaling ke Barat”. Dan “Barat” yang mereka maksud adalah terutama Belanda. Tetapi pernyataan Gelanggang, “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada me-laplap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat.” Mengingatkan kita pada polemik Sutan Takdir Alisyahbana dengan Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara yang berorientasi pada kebudayaan tradisi.
Mungkin perlu dipertimbangkan pula bahwa selama pendudukan Jepang, tokoh-tokoh Pujangga Baru dan (kemudian yang menjadi tokoh-tokoh Gelanggang) bernaung di Pusat Kebudayaan Jepang (Sendebu) dimana mereka sempat saling berkenalan dan bertukar pikiran. Mungkin sekali gagasan yang kemudian dikembangkan dalam manifesto Gelanggang mulai terbentuk pada zaman itu. Pada waktu mula-mula Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane melontarkan mereka tentang Pujangga Baru, Chairil Anwar dan Asrul Sani masih duduk di sekolah menengah pertama dan (mungkin) baru mengikutinya dari jauh.
Pergaulan para seniman muda tersebut dengan tokoh-tokoh Pujangga Baru, agaknya, meyakinkan mereka bahwa suatu gerakan sastra yang baru, yang lebih sesuai dengan zaman, perlu disiapkan. Tetapi pendudukan Jepang yang keras sensornya itu telah mencegah lahirnya kelompok baru itu. Namun bentuk-bentuk sajak yang terutama tertulis oleh Chairil Anwar telah menunjukkan titik yang berada dengan sajak-sajak pembaharuan Pujangga Baru. Sajak-sajak Chairil Anwar menunjukkan kebebasan yang lebih besar lagi dari misalnya sajak-sajak Amir Hamzah yang merupakan pembaharuan dari pengaruh sajak-sajak Melayu. Bagi Chairil Anwar sajak-sajak Amir Hamzah masih dianggap masih “cengeng”. “Kalau Amir Hamzah jatuh cinta dia akan menangis, kalau saya akan traktir gadis itu es krim,” kata Chairil Anwar.
Kelompok seniman Merdeka baru lahir sesudah Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Prakarsa mendirikan kelompok itu, agaknya, Chairil Anwar yang didukung oleh kawan-kawannya yang sepaham membuat terobosan baru dalam kelompok itu tidak hanya didukung oleh sastrawan-sastrawan saja, melainkan juga oleh bidang-bidang lain. Misalnya dibidang seni lukis Basuki Resobowo, di bidang teater (Usmar Ismail), dan bidang film (Rosihan Anwar), bidang sastra (Ida Nasution). Meskipun kelompok Seniman Merdeka Gelanggang tersebut sudah berdiri pada tahun 1946, jadi segera sesudah proklamasi kemerdekaan kita pada tahun 1945, namun draft manifesto Seniman Merdeka Gelanggang baru dibuat pada tahun 1950 dan disahkan pada tahun itu juga. Seniman Merdeka Gelanggang didirikan pada waktu UUD 1945 masih berlaku, manifesto atau Surat Kepercayaan Gelanggang di draft dan diumumkan pada tahun 1950, pada waktu UUD RIS mulai berlaku. Kelompok Seniman Merdeka didirikan pada waktu Revolusi, Surat Kepercayaan Gelanggang dibuat dan diumumkan pada waktu mulai zaman RIS.
Pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang tidak nampak responsif terhadap Pasal 32 UUD 1945 karena kepercayaan tersebut dibuat pada tahun 1950 sesudah 1945, di “anschlus”, “… kami tidak ingat kepada me-laplap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan,” memberi kesan untuk menyindir Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya yang berbicara tentang puncak-puncak kebudayaan daerah. Mungkin kita dapat menduga bahwa Surat Kepercayaan Gelanggang adalah lebih merupakan dorongan untuk liberalisasi yang lebih jauh dari yang diupayakan Pujangga Baru.
Gelanggang menyatakan suara-suara dan karya-karyanya di majalah Siasat tahun 1948, di bawah redaksi Ida Nasution dan Chairil Anwar (yang kemudian meninggal pada tahun 1948 dan 1949).
Pada tahun 1948, Asrul Sani memimpin majalah Gema Suasana yang dikritik oleh Wiratmo Soekito sebagai permulaan dari kompromi Gelanggang dengan Belanda. Selanjutnya Wiratmo Soekito menilai gerakan ini sebagai suatu “fiasco”. Wiratmo bahkan menyatakan bahwa gerakan Gelanggang ini sebagai gerakan Chairil Anwar, yang lebih merupakan gerakan Pujangga Baru.
Pada waktu gerakan politik di Indonesia sesudah tahun 1950 semakin menunjukkan “Politik Aliran”, partai-partai politik mulai merangkul kesenian atau kebudayaan di dalamnya. Pada tahun 1950 berdiri Lekra sebagai bagian dari strategi kebudayaan PKI. Beberapa penandatangan Surat Kepercayaan Gelanggang seperti Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, dan Basuki Resobowo kemudian ikut Lekra dan mulai merangkul paham “realisme sosialis”. Sitor Situmorang ikut mendirikan LKN sebagai bagian dari PNI, dan kemudian Lesbumi dari NU dengan Usmar Ismail dan Asrul Sani.