Sumber: Sinar Harapan, 7 Desember 1968, hlm. VII.
Semula semua orang umumnya merasa heran, kenapa Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki tergesa-gesa diresmikan pembukaannya, dan saya pun turut ternganga menghadapi rencana penyelenggaraan Pesta Seni Jakarta pada tanggal 1 sampai dengan 17 November 1968 yang lalu karena siapapun tahu kompleks tersebut belum 100 persen sempurna. Tapi belum dua hari saya sudah mulai bisa mengecap keuntungan dari upacara pembukaan dan pesta itu. Dan ternyata apa yang saya kecap, banyak orang rasakan juga rupanya.
Jelas, dengan dibukanya kompleks itu “sebelum waktunya” dan dengan diselenggarakannya pesta tersebut, bukan saja kita bisa mengecek kualitas segala bangunan di sana, baik dari segi arsitektur maupun dari segi kebutuhan artistic; juga bukan saja kita bisa mengumpulkan serta mencatat segala kesalahan manajemen dari pesta itu, tetapi juga bahkan kita, terutama pihak DKJ dapat dengan segera mengajukan usul-usul atau saran-saran atau rencana-rencana perbaikannya dan pihak kontraktor pembangunan segera bisa melaksakannya.
Terus terang saja agak kecewa dengan beberapa kekurangan yang ada pada ketiga gedung teater di sana, bahkan kepala saya serasa semutan melihat balkon-balkon yang sia-sia yang ada di Gedung Teater Tertutup. Sekalipun demikian saya akui juga rasa kecewa tesebut tidak dapat mengalahkan rasa terharu dan terima kasih kepada Pemerintah DKI Jaya, terutama kepada Bang Ali.
Dan di sini saya tidak hendak membicarakan perkara kekurangan-kekurangan itu, sebab pada saat ini saya lebih tertarik pada masalah kepengurusan dan penyelenggaraan (organisasi dan manajemen taman ini) dan ini pun tak lebih hanya berupa catatan tambahan atas tulisan-tulisan banyak orang yang terdahulu.
Dan kalau di sini saya beberkan beberapa pikiran saya maka itu hanya berdasarkan pada beberapa data yang mampu saya himpun secara sangat tidak sempurna dari pesta beberapa waktu yang lalu.
Pengalaman-pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa selama ini kita dalam setiap kegiatan besar atau kecil, selalu kehabisan waktu hanya karena dibius oleh perbedaan-perbedaan yang dianggap sebagai sesuatu yang prinsip, padahal hakekatnya sering-sering tak lebih hanya pertengkaran-pertengkaran yang bersifat emosionil belaka.
Hal ini memang tak bisa dilepaskan dari situasi politik dan sosial kita. Namun saya rasa kita akan menjadi tua dengan lingkaran-lingkaran obsesi saja, apabila kita tidak segera berani merubah cara bekerja semacam itu. Untuk itu kita memang harus berani menanggung banyak resiko kegagalan, namun dengan begini saya rasa kita akan bisa bertambah dewasa lantaran kita semakin dekat dengan realitas.
Sebab itu keterlambatan kita dalam bidang pemikiran manajemen personalia harus segera kita tanggulangi tanpa halangan apapun, baik halangan yang berupa belum bertemunya pikiran antara kita semua dalam masalah kepengurusan taman itu, ataupun halangan apa saja yang umumnya bernama diskusi atau perdebatan dan lain-lain.
Dan sekiranya kita, terutama para seniman akan terus juga memperturutkan hati memperpanjang pembicaraan-pembicaraan belaka, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama pasti kompleks kesenian itu akan menjelma sebagai “monumen kegagalan” yang secara tepat akan melambangkan kebobrokan moral kerja kita dibalik kegenitan kata-kata hampa yang berlimpah ruah.
Semua itu saya katakan di sini sampai saat ini, setengah bulan setelah usai Pesta Seni yang kurang sempurna itu kita belum pernah mendengar rencana-rencana yang jelas tentang penyelenggaraan kegiatan di taman itu kelak. Sementara kita semakin cemas oleh situasi ekonomi kita.
Terus terang setiap kali malam-malam saya berada di kompleks sana, memandang lampu-lampu taman, bangunan-bangunan yang masih sangat remaja, tanaman-tanaman bunga yang belum merata, patung-patung kayu yang merasa kurang senang berdirinya, diantara keluasan sunyi yang dipenuhi tanda tanya, saya menyadari bahwa saat ini, di tanah air kita, satu golongan lagi tengah diuji!
Jadi, tak ada jalan lain, kita harus mengejar keterlambatan-keterlambatan itu sekarang juga. Saya tidak perduli apakah pembicaraan-pembicaraan yang bersifat prinsipil, atau apa saja yang berlangsung atau tidak, tapi saya berpendapat penanggulangan masalah itu tak bisa ditawar-tawar lagi. Lebih-lebih kalau kita menyadari bahwa masalah itu hanya salah satu saja di antara masalah yang banyak kita hadapi.
Dengan dasar itulah saya akan mulai menyampaikan beberapa saran saya yang mungkin banyak orang akan menganggapnya sebagai saran yang sangat tidak prinsip. Dan saya pun memang lebih suka menyebut saran saya sebagai peringatan saja!
Pertama, saya boleh berpendapat bahwa bagaimanapun kompleks itu kini telah siap dipergunakan. Tapi nyata bahwa kita belum siap mempergunakan. Kita belum siap mempergunakannya sebab kita belum mengetahui apalagi mempelajari jenis-jenis tugas pekerjaan beserta jumlah selengkapnya yang ada.
Untuk persiapan itu saya menyarankan agar segera diadakan peninjauan sehingga dapat dihimpun data-data yang sangat mutlak diperlukan suatu analisa tugas-jabatan terutama untuk keperluan latihan kerja (job analysis for training purpose).
Sebagai ilustrasi bisa saya sebutkan bahwa yang ada di sana jelas bukan saja penyelenggaraan aktivitas artistik seperti aktivitas-aktivitas pentas dan semacamnya, melainkan juga aktivitas pertama non-aktivita yang selalu ada pada show manajemen dan sebagainya.
Jelas jumlah dan jenis tugas-pekerjaan yang ada di sana sangat terlalu kompleks dan rumit (complicated) untuk diserampangkannya, seperti biasa kita orang Indonesia, kecuali kalau taman itu hanya boleh berusia kurang dari lima tahun.
Kedua, hasil job analysis tersebut jelas sangat bermanfaat sebagai landasan kebijakan dalam penarikan tenaga kerja. Dan tentang ini saya menyarankan agar supaya penarikan tenaga kerja ini bersifat terbuka (diumumkan seluas-luasnya) sekalipun spoil system tetap dipertahankan terutama untuk penarikan tenaga-tenaga manajer.
Selanjutnya suatu seleksi sangat diperlukan sehingga tamannya memiliki tenaga-tenaga kerja yang efektif.
Ketiga, latihan-latihan kerja bagi para karyawan di sana mutlak diperlukan, sehingga taman bukan saja akan merupakan tempat yang menyenangkan bagi tiap-tiap pengunjungnya, tapi juga merupakan tempat yang siap segala-galanya untuk menerima setiap misi kesenian ataupun grup-grup kesenian yang mengadakan pertunjukan di sana.
Agar bisa dicapai penghematan waktu dan biaya, saya kira job training dengan satu metode tertentu dapat diselenggarakan dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama dan untuk beberapa jenis pekerjaan dapat juga diadakan setelah jam kerja.
Akhirnya saya mengingatkan juga bahwa bersikap terbuka terhadap perkembangan yang terjadi pada jalannya organisasi taman itu, berarti juga bersikap tekun mengikutinya dan menanggulanginya secara militan.
Sekali lagi saya ingatkan, bahwa sadar atau tidak, penyelenggaraan taman ini merupakan ujian yang mencemaskan bagi kita semua.