Sumber: Budaja Djaja, Tahun VI, No. 66, November 1973, hlm. 645-649.
Sebegitu jauh perkembangan seni batik tradisional hanya dipandang oleh sebagian masyarakat, diklasifikasikan sebagai seni fungsional. Artinya lebih banyak diutamakan nilai pakainya daripada pertimbangan-pertimbangan estetisnya. Fakta ini tidak seluruhnya benar karena kenyataan membutkikan bahwa: Banyak ditemukan keindahan serta keunikan meskipun dalam sekian banyak jumlahnya yang sama. Batik tradisional dapat kita bedakan, yaitu: batik “cap” dan batik “tulis”.
Ditinjau dari segi pengolahannya batik “cap”, materi, proses dan lain sebagainya sama dengan pembuatan batik “tulis”. Bedanya terletak pada hasilnya walaupun bahan cap yang berukuran berkisar 15 x 15 cm dan “canting” sebesar jempol ibu jari tangan itu sama-sama terbuat dari tembaga. Hasil batik cap dapat lebih banyak mengingat segi praktis pengerjaannya, sedangkan batik tulis karena dikerjakan satu demi satu dari garis hingga bidang maka hasilnya pun relatif lebih sedikit. Kedua-duanya terjadi pengulangan secara massal dalam satu corak. Lebih banyak dikata sebagai seni repetitif. Tapi ini tidak berarti bahwa unsur kreatif ditiadakan sama sekali.
Seperti kita ketahui bahwa seni batik tradisional adalah menghirup dan memungut pola-pola yang sudah ada di masyarakat yang turun-temurun untuk dihasilkan kembali tanpa mengalami perubahan. Dalam hal ini berjalan juga turun-temurun hingga datang corak baru yang disebut kreasi baru.
Kalau batik tradisional yang masa depannya atau kegunaannya nanti setelah jadi atau dihasilkan untuk bahan sandang berkembang biak di kota-kota di Jawa misalnya Yogyakarta, Banyumas, Surakarta, Madura, Cirebon, Pekalongan dan Jakarta, dan lain-lainnya. Jumlah perusahaan penghasil batik (sekarang banyak yang gulung tikar) di Jawa Tengah saja berkisar 6.000 buah (Majalah Tempo, Jakarta, 9 Oktober 1971). Dan Yogyakarta dengan Balai Penelitian Batiknya di tahun sekitar 1960 mengumpulkan pemuka-pemuka seniman (seni rupa) dan ahli batik guna meneliti kemungkinan diciptakan pola-pola baru yang kreatif sejalan dengan perkembangan zaman. Tim itu terdiri dari antara lain: Bagong Kussudiardjo, Abas Alibasyah, Kuswadji Kawindrosusanto dan Soelardjo.
Di sekitar tahun 1973, Soelardjo selaku pengusaha batik dan ahli dalam proses pembuatan batik bekerjasama dengan Kuswadji Kawindrosusanto selaku ahli sungging atau desain batik mulai mengadakan eksperimen merubah pola-pola tradisional, dan tahun 1965, 2 sampai dengan 6 Agustus Soelardjo dan Kuswadji mengadakan pameran di Sonobudoyo Yogyakarta dan menyusul di Jakarta.
Bila dibandingkan dengan sebutan “kreasi baru” yang sebetulnya hanya merubah bahasa bentuk yang bebas saja, batik kreasi baru Soelardjo-Kuswadji di kala itu masih menunjukkan masa “transisi” dari tradisional ke pola-pola modern atau bebas, meskipun pewarnaan kadang-kadang masih mencekam menghalangi kebebasan itu.
Bertolak dari pameran tersebut Soelardjo, Bambang Oetoro, Soemihardjo terus menggali pola-pola baru dan kebebasan dalam desain. Pelukis Bagong Kussudiardjo, Kuswadji berkecimpung langsung menggabungkan diri dengan Soelardjo, disusul Abas Alibasyah dan Amri Yahya menggabungkan diri pada Soemihardjo juga Soelardjo. Sedangkan Bambang Oetoro (Yogyakarta) dan Mardianto (Jakarta) diam-diam berjalan sendiri kendatipun nantinya pelukis Oesman Effendi dan Mustika ikut menentukan kehadiran Jakarta dalam dunia seni lukis batik.
Kalau Soelardjo, Soemihardjo, maupun Bambang Oetoro belum berani atau tabu melepaskan dari ikatan-ikatan pewarnaan sebagai perlambang ciri khas batik Indonesia seperti warna biru, cokelat atau soga dan putih, serta “isen” yang disebut: uwer, cecek, gringsing, dan lain-lain, maka Mardianto sekitar tahun 1966 telah melepaskan ikatan-ikatan itu. Mardianto boleh dikata sebagai pelopor dalam melepaskan diri dari kungkungan ikatan-ikatan tertentu dalam hasil seni batik tradisional.
Kalau tadinya Bagong Kussudiardjo, Abas Alibasyah bertindak hanya sebagai desainer dalam artian hanya menggoreskan canting, kuas, dan lain-lain tanpa memikirkan proses selanjutnya, disamping ketidakpuasan dalam materi yang terpenting adalah ingin lega atau puas dalam mengolah batik itu sebagai media baru dalam seni lukis di samping dengan media-media lainnya. Mereka melepaskan diri dari ikatan-ikatan tradisi maupun dari Soelardjo-Soemihardjo.
Kasus ikatan-ikatan tradisi dan dalam suatu lukisan dengan media batik ini memancing perdebatan pro dan kontra. Beberapa pelukis yang mungkin di kala itu belum menyelami seni lukis batik yang digarap oleh pelukis hingga finishing touch, menyamakan dengan batik dalam bentuk lukisan yang dikerjakan secara tradisional sehingga menyimpulkan: Melukis dengan media batik menghalangi dan mematikan kreativitas. Menurut Dan Soewaryono yang penting bukan terletak pada tersendat-sendatnya tetapi kehadirannya si pelukis dalam karyanya yang menggunakan media batik itu dapat dipertanggungjawabkannya sendiri, seperti seorang pemahat mengerjakan relief yang dibantu oleh asistennya, seorang arsitek menyelesaikan bangunannya dibantu oleh pekerja. Demikian juga di bidang seni musik, seni tari. Dan dalam perkembangan seni lukis kontemporer dunia nama Vasarely, bapak seni lukis optik juga bekerja sebagai yang kita kerjakan dalam processing seni lukis batik.
Meskipun kedua belah pihak tersebut seolah-olah ada kontradiksi yang tajam, pihak yang satu menghendaki unsur-unsur lama yang dianggap esensial dan estetis sebagai ciri kepribadian, dilain pihak menghendaki ingin maju ke depan selaras dengan kondisi dan perkembangan zaman seni rupa masa kini. Tetapi secara sadar atau tidak, keduanya sedang dalam proses mencari identitas asli lukis batik Indonesia kontemporer, dengan melakukan penglihatan kembali pada bekas-bekas peninggalan seni rupa (batik) nenek moyang yang jauh berselang, seperti yang dikemukakan oleh Dan Soewaryono (dalam esainya berjudul “Mencari Identitas Seni Rupa Indonesia Kontemporer”, Harian Indonesia Raya, Senin, 5 Juli 1971), antara lain:
“Dan dari sekian banyak teori konsepsi seni yang mencoba menemukan identitas seni rupa dalam zaman tertentu, terdapat satu atau beragam aliran yang melakukan penglihatan kembali pada bekas-bekas peninggalan seni rupa nenek moyang di masa yang jauh lampau.
Demikian pula kenyataan tersebut ditemukan juga kini pada para pemikir dan pelaksana seni rupa Indonesia kontemporer, baik mereka yang berada di kitar ruang-ruang akademi, maupun yang diluarnya. Ada yang menghendaki pengetrapan kembali unsur-unsur esensial yang terdapat dalam karya-karya seni masa lampau dan ada pula para pemikir seni rupa yang tetap ingin maju ke depan selaras dengan kondisi dan situasi seni rupa Indonesia dewasa ini.”
Terlepas dari pro dan kontra yang disebutkan di atas antara lain di Yogyakarta dan Jakarta telah lahir seni lukis yang menggunakan media batik. Mereka lahir dari dua kategori yaitu dari mulanya mereka memang pelukis (yang mengerjakan lukisan mereka dengan media cat minyak dan lain-lain) dan yang kedua adalah tadinya mereka pengusaha batik. Yang pertama antara lain Abas Alibasyah, Bagong Kussudiardjo, Amri Yahya, Mudjitha, Nasjah Djamin, Damas, V.A. Sudiro, Tino Sidin, dan lain-lainnya dari Yogyakarta; Mustika dan Oesman Effendi dari Jakarta menghendaki pengolahan dari awal hingga akhir ditangani sendiri dan tidak bahkan menentang kehadiran sebuah lukisan dengan media batik dengan nama dua orang atau lebih. Bagi mereka “isen” dan “pewarnaan” bebas, apakah akan mengambil dari yang sudah ada karena yang terpenting bagi mereka pertanggunganjawab individu. “Isen” itu bagi mereka merupakan sebagian dari cara untuk menimbulkan tekstur selain peremukan pada parafin (Jawa: wonogiren). Bagi tokoh-tokoh kategori yang kedua, mereka ingin tetap mempertahankan ciri khas batik itu, tanpa ditawar-tawar lagi, karena itulah disebut baik.
Untuk menyimpulkan tulisan yang berupa sketsa ini penulis ingin mengungkapkan persamaan seni lukis dengan media batik dengan media cat lainnya, sehingga seni lukis dengan menggunakan media batik dapat dikategorikan dalam seni lukis dan bagian dari seni rupa.
– Desain, pewarnaan dalam melukis dengan cat minyak, yang menggunakan alat-alat seperti: kuas, palet, sendok, siwur, dan lain-lain dengan teknik percikan, lelehan, dan sebagainya, dapat juga dilakukan dalam media batik.
– Dalam menciptakan berbagai bentuk desain bebas, abstrak atau katakanlah non figuratif pada seni lukis dengan media cat minyak dan lain-lain dapat dilakukan juga pada media batik.
– Tekstur dalam cat minyak, akrilik dan lain-lain dapat dicapai dengan penempatan “isen” yang kreatif (“isen” tidak perlu terikat dengan pola-pola lama atau yang sudah ada).
Sedangkan perbedaan yang menyolok antara media batik dan cat lainnya adalah: Dalam proses melukis dengan cat minyak dan lain-lain, kita langsung dapat melihat hasilnya sedangkan dalam media batik harus mempunyai kontinuitas yang tajam dalam menjadikan keutuhan suatu karya seni. Tetapi keutuhan itu pun tidak mutlak dipikirkan dari awal, karena pelukis modern terkadang dalam atau sedang melukis itulah dia menemukan obyeknya.
Jadi terjadi suatu surprise dalam melukis dengan media batik adalah pula merupakan kenikmatan batin tersendiri pula. Kadangkala kenikmatan yang hilang pada media lain dapat dicapai dalam media batik. Dalam hal ini tersendat-sendat atau memakan waktu lama bukan soal, yang penting kepuasan si pelukis dan pertanggunganjawab individunya sebagai pelukis.
Kesimpulan penulis ialah:
– Seni lukis dengan media batik dapat disebut seni lukis batik dengan persamaan-persamaan di atas.
– Seni lukis dengan menggunakan media batik telah berada di tengah kita, secara sadar atau tidak kita telah menerimanya, seperti halnya kita tidak memperdebatkan mengapa cat minyak, akrilik dan lain-lain kita pakai dan kapan masuknya di Indonesia.
– Tinggi mutu suatu karya seni (lukisan) bukan terletak pada bahan apa yang digunakan tetapi bagaimana realisasi kehadiran si pelukis itu dalam bentuk lukisan.
– Dalam suatu karya seni (lukisan) dalam hal ini seni lukis batik hanya terdapat nama satu orang meskipun dikerjakan lebih dari satu orang (kecuali bila disebutkan sebagai karya kolektif).
– Dengan adanya seni lukis batik, derajat batik Indonesia ikut terangkat.
Ceramah Amri Yahya di Taman Ismail Marszuki pada tanggal 23 September 1973.