Sketsa Henk Ngantung
Sumber: Zenith, Tahun I, No. 12, Desember 1951, hlm. 744-748.
Tashkent adalah ibukota dari salah suatu Republik Sosialis Uni Soviet, yang bernama Uzbekistan, letaknya di Asia Tengah. Sebelum pecahnya revolusi Rusia, jadi pada zaman Tsar, republik ini dinamakan Turkistan, dan adalah negara yang sangat terbelakang, bahkan lebih terbelakang lagi dari Indonesia pada zaman permulaan penjajahan.
Tetapi, beberapa tahun sesudah pembebasan dan menjadi salah suatu republik dari Uni Soviet, maka ia mengalami perubahan dan kemajuan-kemajuan besar di lapangan ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Misalnya, dibanding dengan tahun 1925, maka industri berat sekarang menjadi tiga puluh kali lebih besar dari dulu; sedangkan kalau pada tahun-tahun itu juga rakyatnya masih 98,4 % buta huruf, maka sekarang rata-rata semua dapat menulis dan membaca. Dengan sendirinya dengan pembeberan angka-angka saja belum cukup, untuk mendapat bayangan yang tegas, bagaimana kemajuan-kemajuannya; tetapi sampai tingkat mana nilai hidup suatu bangsa yang negerinya terletak terpencil diatas peta bumi ini, kita dapat saksikan dengan mengambil bangunan-bangunan yang didirikan pada tahun-tahun belakangan ini, sebagai objek pengukurnya.
Karena bukankah dalam bentuk dan corak bangunan, terkandung suatu gaungan (weerklank) yang nyata, dari keadaan, pikiran dan penghidupan suatu masyarakat?
Saya teringat pada waktu saya melihat-lihat bekas-bekas bangunan kuno di kota Roma yang sudah beratus malah ribuan tahun tuanya, seperti Collose Gladiatori, Foro Romano, Trajano, dan lain-lain, sisa-sisa sejarah, yang terhampir di beberapa tempat kota. Semua ini menunjukkan betapa agung dan luas kekuasaan kerajaan Romawi pada waktu itu. Tertarik oleh kebesaran dan kemungkinan-kemungkinan yang terbuka pada kota-kota semacam Roma itu, maka dengan cara tukar-menukar atau bekerja, ahli-ahli dari pelbagai lapangan dan negara-negara di sekitarnya, turut memperbesar dan mengelakkan kota tersebut dengan buah-buah bangunan dan kesenian yang bagus.
Tetapi di balik muka segala kebesaran itu, tampil pula ekses-eksesnya, yang lalim boros dan buas; seperti nampak pada bentuk Collose yang umbang dan perkasa, dimana diadakan “perayaan” yang sangat disukainya; ialah pembunuhan manusia, dengan jalan mengadu dan mengojah-ojah binatang-binatang buas dengan orang.
Dan kalau di Tiongkok, pada zaman kekuasaan feodal, di seluruh kota Peking tidak terdapat rumah-rumah yang dua atau tiga tingkat tingginya, ini disebabkan karena orang-orang dibawahan kaisar, jadi rakyat umumnya tak diperkenankan mendirikan rumah-rumah yang sesama atau lebih tinggi dari istana. Dari beberapa contoh yang sederhana ini, kita dapat simpulkan sendiri bagaimana besar pengaruh suatu keadaan bagi bentuk dan corak bangunan.
Kembali di Tashkent, maka di jalan raya yang dinamakan Alisher Navoiy (ialah seorang pujangga nasional yang hidup dalam abad ke 15) terdapat gedung-gedung yang sangat menarik perhatian saya. Di tempat-tempat yang dulu masih terdapat pondok-pondok buatan bahan lempung, sekarang dengan megah telah berdiri gedung-gedung pemerintahan, teater-teater dan perumahan-perumahan rakyat yang indah dan molek.
Sekalipun bangunan-bangunan tadi, tidak berupa pencakar awan-awan yang berpuluh tingkat tingginya, toh mengesankan pada si penglihat suatu kemegahan yang perkasa. Suatu kebesaran, dengan tidak mengandung sikap angkuh; bahkan kemesraan yang penuh sifat kerakyatan, seolah-olah mengundang tiap-tiap orang yang lalu, untuk menamuinya. Dan tidak heran, kalau di serambi-serambi dari gedung-gedung serupa itu sering terkumpul kelompok-kelompok manusia yang merasa serupa dengan beradanya di rumah sendiri. Motif-motif yang menghiasai peci dan baju kebangsaan mereka, sering nampak di tembok-tembok gedung itu, berupa ukiran-ukiran.
Memandang corak gedung-gedung itu, maka mau tidak kita teringat corak-bangunan pada masa peradaban Islam, sedangkan bentuk pelengkung-pelengkung ada pengaruh zaman Byzantine dan Gothik, …tetapi pada hakekatnya, tetap mengandung zat dan corak nasional!
Patokan: “nasional dan indah pada bentuknya, —sosial dalam isinya,” berupa pokok pegangan bagi ahli-ahli bangunan Uzbek. Dengan dipenuhi kedua syarat ini, maka rakyat tidak menghadapi bangunan-bangunan tadi, sebagai suatu benda museum yang boleh dilihat saja, tetapi sesuai dengan tingkat dan sifat hidup mereka semua itu dianggap sebagai suatu kebutuhan dan bagian penghidupan yang tak dapat dipisahkan.
Selain manfaatnya sebagai kebutuhan masa, maka dalam caranya memilih, mengatur bagian-bagian, dan menempatkan ornamen-ornamen pada lowongan-lowongan dengan senyampang, nampaklah daya dari ahli-ahli bangunan Uzbek, untuk menyempurnakan seni bangunan mereka.
Bahan-bahan inspirasi yang mendorong mereka untuk mencapai hasil-hasil seperti diatas ini, ialah terutama dari bekas-bekas kota kuno Samarkand. Keindahan kota ini, sering mengingatkan kita pada cerita-cerita “1001 malam”; dan yang aneh lagi bahwa, adanya kota ini baru diketahui waktu pemerintah Soviet bersama dengan ahli-ahli sejarah kuno, mengadakan penggalian-penggalian di tempat-tempat dimana sedari ratusan tahun, hanya merupakan lautan pasir melulu.
Bagian besar dari kota, yang dibuat selama kekuasaan raja Tamerlane ini, masih sempurna, dan nyata pengaruh Islam pada waktu itu. Sesuai dengan kemewahan dan tradisi kaum bangsawan, maka terwujud impian-impian mereka yang perlenteh itu, justru karena hidup diantara ahli-ahli bangunan dan seniman-seniman besar dan artistik, hingga kota ini tidak merupakan museum saja, tetapi juga suatu sumber yang tak habis-habis dan membosankan bagi ahli-ahli Uzbekistan, untuk memperoleh sari-sari bentuk nasional bagi bangunan-bangunannya yang baru.
Jadi bentuk dan corak nasional (kuno) tetap dipertahankan, malahan diperbaharui dengan jalan menambah atau mengurangi dimana perlu, selaras dengan perkembangan masyarakatnya yang berdasar sosialisme.
Ukiran-ukiran yang dulu hanya menghiasi pintu-pintu gerbang istana dan ruangan-ruangannya, tetapi juga ornamen-ornamen yang terdapat di kampung-kampung seperti di depan rumah, pagar dan pakaian rakyat, sekarang terukir atas pualam atau batu tembok dan mengelokkan gedung-gedung pertemuan rakyat, teater-teater, sekolah-sekolah, dan dengan cara sederhana perumahan-perumahan buruh.
Bentuk menara, kalau tidak ditempatkan sebagai tugu di depan gedung-gedung besar, sesudahnya dihiasi dengan ornamen-ornamen, dengan tegang dan megah mendukung pelengkung-pelengkung serambi, atau sebagai pemecahan suatu vlak yang lebar di bagian luar, hingga pada gedung seluruhnya tidak ada bagian-bagian yang umbang.
Dan kalau dulu, huruf-huruf tulisan Arab, mengisi dengan merupakan hiasan bagi lowongan-lowongan tengah, atau huruf-huruf dinding di bagian dalam, atau tiang-tiang lebar dari serambi, maka huruf-huruf itu diganti dengan motif-motif yang serba ragam coraknya, sebagai hasil sujian, menurut garis-garis pokok tertentu, yang berbentuk bersegi-segian, bulat, dan lurus.
Interior-interior dimana kita dapat saksikan hiasan-hiasan seperti di atas ini, ialah di gedung teater Alisher Navoiy, yang disiapkan sehabis Perang Dunia ke-2, dan didirikan secara kolektif. Teater yang sangat mesra dan agung ini selainnya mempunyai ruangan pertunjukan yang sangat luas, terdiri dari beberapa ruangan lagi, yang masing-masing mempunyai stijl dan hiasan tersendiri.
Tiap ruangan dengan corak dan rupanya, mewakili daerah-daerah di Uzbek, yang dikerjakan oleh ahli-ahli dan seniman-seniman dari daerahnya masing-masing.
Misalnya ruangan “Boechara”, terdapat ukiran-ukiran atas dasar cermin yang meliputi seluruh vak-vak dinding, dengan motif-motif yang khususnya berasal dari Boechara. Pembuatnya ialah Muratov, seorang “pemahat kuno” yang ternama dan pernah dihormati dengan Stalin-price. Lihat berikutnya, ruangan-ruangan “Kara-Koem” dengan ukiran-ukiran yang dibuat atas batu pualam yang sangat halus, serta ruangan “Alisher Navoiy” sendiri, yang minta pusat perhatian si pengunjung, karena ruangan ini terutama terdiri dari lukisan-lukisan dinding, yang dibingkai oleh ornamen-ornamen pualam putih, serta menceritakan keindahan dan kebesaran sajak-sajak pujangga nasional yang besar secara terlihat.
Seterusnya, ruangan-ruangan “Samarkand”, “Surgan-Daria”, “Tashkent”, “Fergana”, dan lain-lain yang masing-masing meminta perhatian tersendiri. Pendek kata, tidak kelebihan kalau seluruh gedung ini, luar dan dalam, mulai dari loteng sampai lantainya, merupakan suatu pameran ukiran-ukiran yang tak membosan-bosankan. Gedung serupa di atas ini, selain untuk pertunjukan seni balet, opera, musik dan lain-lain juga digunakan untuk pameran-pameran, ceramah-ceramah, pelajaran dan pelbagai liburan bagi rakyat. Kalau saya baru kemukakan satu-dua gedung saja, sebenarnya di seluruh kota Tashkent masih banyak bangunan-bangunan bagus, yang minta perhatian; lihat misalnya Gedung Perwakilan Rakyat yang tertonjol atas taman luas, penuh kembang-kembangan dengan serba warnanya, dan sekolah buruh-tambang, serta lain-lain gedung umum lagi, yang tak perlu saya terakan satu persatu disini.
Pada umumnya, dari bangunan-bangunan, maupun yang sudah ada dan yang masih dikerjakan, saya mendapat kesan, bahwa dilihat dari sudut corak bentuk, gedung-gedung baru ini pada seluruhnya dikuasai oleh suatu irama, suatu garis tertentu. Tidak ada garis-garis yang bimbang, pun tidak yang abstrak; bahkan corak bentuk baru yang tercapai oleh susunan dan rantaian garis-garis tertentu itu, merupakan bayangan yang nyata, bagaimana tegas dan penuh gaya perkembangan suatu masyarakat yang hidup atas dasar-dasar sosialisme hingga merupakan manusia baru di dunia ini.
Jadi bangunan, selain berisi memenuhi dan menyempurnakan kebutuhan hidup manusia, juga bermutu seni yang tinggi dan indah. Memang, semua itu adalah hasil dari perembukan bersama di antara pemuka-pemuka rakyat (yang terbanyak) dengan ahli-ahli bangunan dan seniman-seniman pada umumnya; dan pada khususnya pemuka-pemuka penduduk kota Tashkent dengan ahli-ahli keluaran akademi “Schusev”, yang seterusnya bekerja sama dengan “self-made-arsitek” rakyat, yang masih terlekat pada pendapat dan tradisi-tradisi nenek-moyangnya, dengan belum dipengaruhi oleh “teori-teori luaran”; jadi masih asli dan bersifat kerakyatan tulen.
Cara-cara merancang dan mengerjakan itu, menunjukkan pada kita betapa besar kesadaran dan ketulusan dalam daya mereka, untuk melahirkan sesuatu yang dapat memenuhi segala kebutuhan dan cita-cita masyarakatnya dari segala lapisan dan golongan. Dibawah pengawasan dan kegiatan arsitek-arsitek, dibantu oleh seniman-seniman, pemahat-pemahat patung yang dengan sungguh dan penuh kesabaran membuat buah-buah ukiran yang sangat halus itu, dengan didukung oleh bantuan massal dari pihak buruh yang berangan-angan agar lekas terwujud impian mereka bersama; maka segala pekerjaan, mulai dari si perancang hingga si penyapu ampas, melakukan pekerjaannya dengan lancar, penuh gembira dan tanggung jawab; karena mereka sendirilah, akan merasa buah keringat dan mengecap segala keindahan dan kenikmatan itu.
Lancar dan bertanggung jawab; kedua sifat ini Nampak dalam buah-buah pekerjaan, dan bahwasanya bangunan-bangunan agung, maupun di Uzbekistan khususnya, dan di Uni Soviet dan negara-negara demokrasi rakyat umumnya, dibuat dalam waktu yang singkat, sering mengagumkan. Saya akui bahwa kemajuan-kemajuan di lapangan teknik dapat memungkinkan itu; tetapi hal ini bukan alasan pokok.
Penting ialah, bahwa semua pekerja dapat bekerja dengan gembira karena penghidupan dan kemungkinan-kemungkinan maju bagi mereka, sudah terjamin.
Dan yang penting juga, bahwasanya seorang arsitek, betul-betul pekerja… seorang pencipta dan pembangun sesungguhnya, yang cinta pada vaknya, tetapi terutama cinta pada rakyatnya; dan bukan seorang pedagang (pencatut) alat-alat bangunan saja, yang bersembunyi di belakang kedok “ahli bangunan”…!