Sumber: Arena, No. 3, Juni 1946, hlm. 51-52.
Ketika memperoleh artikel ini dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kondisinya sudah dalam keadaan rusak sebagian. Pada halaman 51, sisi ujung sebelah kanan hilang; sedang pada halaman 52, sisi ujung sebelah kiri hilang. Bagian hilang atau tidak terbaca akan diberikan tanda […] Jika memperoleh sumber yang lebih baik, kami akan segera menyempurnakannya. Mohon maaf atas kekurangannya. Terima kasih.
Ia berguna bagi masa sekarang dan yang akan datang. Sekarang seperti kata pengantar dari Kementerian Penerangan Yogyakarta dalam katalog pertunjukan seni lukis dari Gaboengan Perdjoeangan Rakjat Tasikmalaya yang diadakan di Yogyakarta tanggal 1-5 Mei 1946: “…kami percaya, dengan pertunjukan Seni Lukis dibawah pimpinan saudara Affandi itu, penduduk Yogyakarta akan memperoleh keyakinan yang bertambah-tambah tentang keluhuran maksud bangsanya ke arah tujuan membinasakan sifat buruk dan keji dari NICA, untuk mencapai kemerdekaan Tanah Air Indonesia yang 100%… Di masa datang, kalau boleh ia dikata menjadi dokumentasi Nasional maka ia akan berguna sebagai bukti-bukti dalam penyusunan sejarah yang tidak kecil artinya untuk kebangunan semangat bangsa.”
Bagi yang dapat memahami, sejarah menjadi pendorong dan pelajaran. Sejarah perlawanan Diponegoro misalnya, atau Teungku Umar, atau lain-lain pahlawan tanah air lagi, telah menjadi simbol dari pada tiap-tiap perlawanan rakyat Indonesia menentang penjajahan.
Sejarah Indonesia tersusun dari pada catatan-catatan yang tertulis, arca-arca, relief-relief yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita. Itulah gunanya catatan.
Tetapi pernahkah kejadian-kejadian dalam sejarah tanah air kita dicatat sebagai [lu]kisan (schildery)?
Bisa kita mendapat lukisan-lukisan kuno, […]pi lukisan-lukisan itu hanya berupa dongeng-dongeng […] cerita-cerita kuno, dan paling banter dari […]isan-[luk]isan itu kita hanya dapat mengetahui […] arah bangsa kita pada waktu itu ten[…] kepercayaan.
Lukisan-lukisan sejak zaman Raden Saleh […]ga sekarang umumnya mengenai […]andangan dan potret.
Di negeri-negeri lain, kecuali pelu[…] sendiri telah menjadi sejarah atas […j]alanan kesenian bangsanya, mereka […]atat juga sejarah bangsanya dija[…] lukisan. Goya misalnya, pernah […]buat lukisan darah di hari satu Mei, […] melukiskan pengedrelan atas dirinya […] komunis oleh serdadu-serdadu pemerin[…]
Mereka lukiskan peristiwa-peristiwa penting […] mengenai sejarah bangsanya, sekali[…] disana telah ada perkakas foto, […] lebih dulu adanya dari pada […] air kita ini.
[…]bab bagaimana pun juga hasil […]da toestel, perkakas, tak dapat disa[…] dengan hasil yang dibuat oleh […] barengi dengan jiwa membuatnya. […] nyata benar kalau kedua gambar […] lukisan dan foto) kita taruh sebelah menyebelah. Terasa dalam hati kita waktu melihat, bahwa masing-masing gambar itu mempunyai tempat dan pandangan sendiri-sendiri, sekalipun yang digambarnya sama.
Goresan pensil yang berlarat-larat pada lukisan itu akan bercerita apa-apa kepada kita. Inilah sebabnya kami menganggap perlu, perlu dan ingin disamping dengan foto kita catat sejarah tanah air kita dengan cat dan pensil, baik sejarah yang telah lampau, lebih-lebih sejarah yang kita alami.
Kalau boleh lukisan ini dikatakan dokumentasi Nasional, maka itulah harapan kami.
Pernahkah usaha ini diselenggarakan?
Pernah!
Beberapa bulan yang telah lalu di kota ini diselenggarakan pertunjukan lukisan-lukisan, poster-poster, juga lukisan-lukisan yang mengenai peristiwa-peristiwa dalam revolusi sekarang ini buah tangan pelukis-pelukis yang tergabung dalam badan perjuangan PTPI.
Hanya menurut hemat kami hasilnya masih belum dapat dikata memuaskan, masih jauh.
Kalau dipandang […]urusan seni lukis, gambar-gambar […] dekat kepada gambar-gambar reklame […] kalau kita melihat motifnya, misalnya “Pembakaran Ambarawa” kita hanya melihat sebuah gambar pemandangan, fantasi rupanya, di tengah-tengah terkumpul beberapa rumah yang mengepul-ngepulkan asap; sunyi dari pada suasana Ambarawa pada waktu itu.
Kekeliruan yang dapat kami rasakan dalam penyelenggaraan yang pertama ini ialah bahwa kawan-kawan ini telah bekerja diluar kepala atau mencontoh foto, sedang teknik belum dapat dikuasai benar.
Kita tidak boleh menganggap bahwa kebagusan sesuatu lukisan itu hanya bilamana motifnya dapat bersesuaian. Bagi pelukis mesti bertanggung jawab atas harkat seninya. Inilah kalau kita mengharap agar lukisan-lukisan kita nanti tidak cuma menjadi barang tontonan sebentaran saja. Inilah pula kalau kita memang tidak puas sejarah kita ini hanya dicatat dengan foto saja.
Pertunjukan kedua di kota ini adalah sebuah tangan dari pelukis-pelukis yang tergabung dalam perjuangan rakyat Tasikmalaya. Hasilnya telah mendekati yang dimaksud, meskipun ada beberapa lukisan yang menyerupai gambar-gambar ilustrasi.
Dalam pertunjukan ini kami kenal tenaga-tenaga pemuda dari Bandung, kami kenal person dan cara bekerja dari kawan-kawan pelukis dari kota dingin ini. Mereka melukis tidak diluar kepala, tidak juga menganggap bahwa melukis itu cukup “Begitu saja sudah!”. Mereka keluar rumah bersama marhaen terjun ke dalam kancah api menyala yang tengah membakar kotanya. Mereka saksikan sendiri lukisan-lukisan dan alat-alatnya hangus terbakar bersama rumahnya. Dua orang kawan pelukis telah mati dalam menunaikan dharmanya…
Lukisannya dipertunjukkan ke lain-lain daerah. Di Yogyakarta lukisan-lukisan itu mendapat sambutan yang meriah, menarik minat dan menggembirakan beribu-ribu orang, membuat setengah orang menepuk dada sambil berkata: “Lihatlah kesenian kita!!”
Tetapi orang tidak tahu, bahwa dibalik kegembiraan itu pelukis-pelukisnya kepayahan. Payah karena bukan tidak mempunyai tenaga dan semangat, tetapi payah karena kekurangan alat-alat menggambar. Hatinya sakit, pekerjaannya canggung.
Kepayahan ini, ditambah pula kemerdekaan melukis diluar kerap terganggu, terasa benar baik oleh kawan-kawan yang tergabung dalam Seniman Indonesia Muda di Madiun maupun tergabung dalam Golongan Seni […] Masyarakat di Yogyakarta, dua golongan yang benar-benar bertanggung jawab atas perjalanan seni lukis Indonesia.
Berkali-kali ikhtiar telah dijalankan tetapi tiap kali itu pula selalu kan[…] ditengah jalan. Cita-cita untuk melu[…] kejadian-kejadian penting yang terjadi da[…] sejarah tanah air dewasa ini selalu ting[…] cita-cita saja.
Mudah-mudahan kalau Indonesia kelak […]punyai museum lukisan tidak n[…] kosong oleh lukisan-lukisan yang mengenai […]istiwa-[…]istiwa penting dalam revolusi kita […]karang ini, sehingga tidak usah anak cu[…] kelak menanya-nanyakan.
“Ya, kita masih akan berikhtiar, […]pun kita telah makan dengan lauk […] dan buah mlandingan,” kata seorang te[…]. Memang, meskipun akhirnya kita terp[…] menjadi kaum buruh dari sebuah […] gambar bangsa asing, untuk melanju[…] pekerjaan.
Sebenarnya kesukaran ini dap[…] […]hindarkan oleh yang bertanggung […] atas kekurangan-kekurangan yang dibutuhkan […] dengan tidak memakan banyak […] pemusatan tenaga dalam memper[…] kemerdekaan tanah air sekarang ini. […] berapa negeri lain kami lihat usaha […] malah mendapat bantuan dari peme[…]. Sebab kalau usaha ini senantiasa […] saja maka masyarakat juga kelak […] akan merasai kerugiannya.
Hendak dimulai?
Sebelum Kasib!!
Dullah, Yogyakarta, Juni […]