SARI SOAL DALAM FILM INDONESIA

Sumber: Konfrontasi, No. 1, Juli-Agustus 1954, hlm 35-47.

Dalam keadaannya sekarang ini amat sukar untuk mengadakan suatu neraca mengenai perkembangan film di Indonesia terutama karena penulis sendiri sedang terlibat dalamnya dengan secara aktif. Dan jika toh hendak dicoba mungkin hasilnya tidak seobyektif yang diharapkan. Lebih baik dari cabang-cabang kesenian modern yang lainnya, film masih belum mendapat bentuk sebagai suatu pernyataan kesadaran. Hal ini tak perlu mengherankan benar jika diselidiki pertumbuhannya dengan agak seksama.

Jika perkembangan kesusasteraan Indonesia baru ikat-berikat dengan berkembangnya kesadaran politik, maka film boleh dikata tak punya titik pergeseran sama sekali dengan kesadaran itu. Hanyalah pada waktu zaman pendudukan Jepang kelihatan tendensi yang lebih nyata untuk mendekatkan diri kepada perasaan-perasaan kebangsaan.

Semenjak film diperkenalkan di Indonesia, maka yang memegang peranan utama dalam hal-hal perfilman adalah selalu orang asing.

Mula-mula didahului oleh beberapa orang Eropa untuk diteruskan kemudian terutama sekali oleh orang-orang Tionghoa. Meskipun dalam hubungan risalah ini siapa-siapa dan nama-nama orang tidak begitu penting, tetapi pemula-pemula seperti Kruger dan Carli terlalu banyak jasa mereka untuk dilupakan begitu saja. Sudah terang yang menjadi pendorong bagi mereka untuk bergerak dalam lapangan film terutama adalah pertimbangan-pertimbangan komersil disamping mungkin sekali ada juga motif merintis jalan, karena kegemaran. Jika diketahui, bahwa pemain-pemain mereka adalah kebanyakan peranakan Eropa, maka dapat juga dicari disini sambungan kepada stambul dan opera bangsawan yang juga berkembang pada sekitar masa itu (sekitar 1925).

Orang-orang Tionghoa kemudian dengan secara yang lebih sadar menjadikan film sebagai barang dagangan. Pun hal ini tidak usah terlalu mengherankan, karena memang di Indonesia pada umumnya usaha-usaha baru dalam lapangan ekonomi dimulai oleh orang-orang Tionghoa. Tidak terutama karena mereka mempunyai modal yang cukup, tetapi karena mereka memang punya hidung untuk segera menciumi dimana bisa terdapat untung dan tahu pula mengeksploitirnya. Adalah suatu yang typis bahwa hingga tahun-tahun terakhir ini hampir semua tontonan ada di tangan bangsa Tionghoa, tidak saja tontonan film, tetapi juga tontonan-tontonan asli seperti wayang orang dan ketoprak.

Film-film pertama bikinan perusahaan-perusahaan Tionghoa dengan sendirinya mengambil bahan cerita dari masyarakatnya sendiri, mula-mula cerita-cerita dari tanah leluhur, kemudian juga dari masyarakat mereka di Indonesia. Sungguh pun demikian, bahwa penontonnya tidak terutama terdiri dari orang-orang Tionghoa ternyata dari kesukaran yang masih ada sampai sekarang ini pada bangsa Indonesia untuk menonton film-film siluman yang mengambil pokok bahan dari cerita-cerita Tionghoa lama. Disamping itu para pembikin film untuk menarik lebih banyak penonton Indonesia, juga mulai mengambil cerita-cerita Indonesia, meskipun kebanyakan pemainnya masih dari golongan Tionghoa peranakan. Tetapi antara cerita “Setangan Berloemoer Darah” yang bermain dalam masyarakat Tionghoa dan cerita “Njai Dasima” yang menggambarkan sebagian masyarakat Jakarta ada persamaan yang besar, kedua-duanya memang cocok dengan selera penonton golongan babah-babah.

Hal ini terutama disebabkan oleh visi yang sama, yaitu visi regisseur yang buat kedua-duanya adalah orang Tionghoa pula.

Dan jika dipikir, bahwa kebanyakan regisseur di Indonesia sekarang ini masih dari kalangan Tionghoa, maka sudah logis kalau gejala-gejala yang terdapat pada film-film di atas dewasa ini pun masih kelihatan pada film-film Indonesia, yaitu anasir-anasir romantik yang berlebih-lebihan, tragis yang mengalirkan air mata terus-terusan, perkelahian yang seram dan dahsyat, tahayul dan keajaiban dan jika hendak sentimentil janganlah kepalang tanggung. Memang ditilik dari sudut show-business, maka pengusaha-pengusaha Tionghoa itu patut mendapat bintang penghargaan, karena mereka telah dapat memakai resep-resep yang telah diuji kemujarabannya.

Dengan datangnya Mannus Franken seorang sineas Belanda yang telah juga mempunyai nama di negerinya, pada tahun 1934, maka dasar-dasar komersialisme tadi hendak ditumpangi dengan maksud lain yaitu memperkenalkan cara-cara hidup orang Indonesia yang mungkin dapat menarik perhatian orang luaran juga, terutama para penonton di negeri Belanda. Memang film Mannus Franken, “Pareh”, berbeda sekali corak dan gayanya dari film-film keluarga The atau Tan. “Pareh” adalah suatu hasil yang typis dari tangan seorang seniman Barat tentang Indonesia dan karena itu dalam beberapa hal mungkin kelihatannya janggal bagi mata orang disini, tetapi sebagai suatu usaha yang dengan sadar dikerjakan dan oleh tangan yang telah ahli, film semi-dokumenter ini mempunyai arti, juga bagi perkembangan film sesudahnya. Terutama kegagalan, “Pareh” sebagai barang dagangan, tetapi suksesnya sebagai pembuka pikiran-pikiran baru, telah mengilhamkan kepada Albert Balink seorang Belanda lain untuk membikin film “Terang Boelan” dan mempergunakan segala anasir yang telah dipakai dalam “Pareh” dengan memuaskan antara lain pemain-pemainnya Raden Mochtar dan Sukarsih.

Tidaklah dapat dikatakan, bahwa Albert Balink telah kena pengaruh studio-studio Tionghoa dalam visi membikin “Terang Boelan”, lebih benar kalau disebut bahwa Balink terpengaruh oleh contoh dan sukses film-film Amerika (terutama film-film Dorothy Lamour). Bahwa dia memilih dan memperkenalkan Miss Roekiah di layar putih dengan berhasil, adalah karena jasanya semata-mata dapat menciumi sumber-sumber keuangan, karena Roekiah pada waktu itu telah terkenal sebagai penyanyi orkes “Lief Java”. Kebalikan adalah benar, bahwa Balink atas gilirannya telah mempengaruhi corak film studio-studio Tionghoa, yang kentara benar pada film “Fatimah”, produksi Tans Film Co.

Sampai saat ini boleh dikata peranan yang dipegang oleh bangsa Indonesia dalam pembikinan film barulah terbatas terutama pada pemakaian pemain-pemain saja.

Semenjak tahun 1937 pengaruh film-film Amerika membekas dengan jelas pada hampir semua film-film yang dibikin di Indonesia, malahan bolehlah dikatakan bahwa film-film itu adalah jiplakan-jiplakan yang jelek dari film-film Amerika itu. Saeroen, seorang wartawan yang terkemuka pada saat itu adalah pertama-tama dalam pembikinan cerita film. Kemudian datang Andjar Asmara, pada waktu itu juga wartawan dan telah meninggalkan dunia sandiwara, Lalu berturut-turut Arifin, Suska, Inu Perbatasari, ketiga-tiganya wartawan tetapi tidak asing pula lagi di atas panggung sandiwara. Bolehlah dikata dengan masuknya tokoh-tokoh ini ke dalam dunia film, orang Indonesia mulai turut memegang peranan dalam proses pembikinan film, meskipun perusahaan-perusahaan seluruhnya masih ditangan bangsa Tionghoa.

Mengalirnya tenaga-tenaga dari dunia sandiwara dan wartawan masuk ke dunia film membawa beberapa pembaharuan terutama dalam cerita dan bahasa, terutama kelihatan pada “Noesa Penida” Andjar Asmara, “Panggilan Darah” Suska, “Djantung Hati” Njoo Cheong Seng, “Asmara Murni” Saeroen. Yang dua belakangan ini lebih terkenal lagi karena memakai tenaga dari golongan baik-baik dan terpelajar, yaitu Ariati dan A.K. Gani. Meskipun cerita-cerita di atas mengambil tema dari kehidupan sehari-hari orang Indonesia, tidaklah dia luput dari anasir-anasir yang sudah juga diuji kemujarabannya oleh pembikin-pembikin film Tionghoa sebelum itu.

Hawa baru yang sebenarnya, baik mengenai isi maupun mengenai proses pembikinan film, datang pada waktu pendudukan Jepang.

Meskipun pemerintahan Jepang tidak membawa kemari ahli-ahlinya yang kelas satu, efek dari turut campur tangannya ialah terciptanya pengertian tentang fungsi film yang kemudian akan ternyata berguna sekali bagi usaha-usaha membangunkan film nasional di masa kemerdekaan.

Satu hal hilang sekaligus dari permukaan film Indonesia, ialah corak komersialisme dan amerikanisme, untuk digantikan dengan corak propaganda politik dan kemasyarakatan. Barulah pada masa Jepang orang sadar akan fungsi film sebagai alat komunikasi sosial. Satu hal lagi yang patut dicatat ialah lebih terjaganya bahasa, hingga dalam hal ini kentara apa yang dikemukakan lebih dulu, bahwa film mulai tumbuh dan mendekatkan diri kepada kesadaran perasaan kebangsaan.

Hal ini lebih-lebih lagi terasa di dalam isi film seperti “Keseberang” dimana kesadaran itu menjadi salah satu pokok cerita, meskipun berhawakan “udara Asia Timur Raya”. Pada waktu ini seorang wartawan lain turut aktif terutama dalam menyusun cerita, yaitu Roestam St. Palindih.

Zaman pendudukan Jepang menghentikan aktivitas studio-studio Tionghoa dan memusatkan semua usaha menjadi usaha pemerintah pendudukan. Sedang tenaga-tenaga Indonesia lebih banyak dipergunakan namanya dan di sana-sini nasihatnya daripada diberi kebebasan mencipta, serta pertanggungan jawab yang sesungguhnya.

Masa antara Agustus 1945-Desember 1949 pada hakekatnya tidak membawa perubahan-perubahan baru dalam dunia pembikinan film di Indonesia. Di daerah Republik hampir semua aktivitas dalam pembikinan film cerita terhenti. Yang perlu dicatat ialah usaha-usaha Berita Film Indonesia dibawah pimpinan Sutarto di Solo yang mencoba mengerjakan beberapa film dokumenter.

Di daerah pendudukan Belanda dalam hal ini di Jakarta barulah pada tahun 1948 kelihatan lagi inisiatif untuk membikin film cerita yang dimulai oleh Tan & Wong bersaudara, sebagai suatu gabungan dan lanjutan dari usaha mereka sebelum perang.

Studio Bidaratjina yang mula-mula kepunyaan ANIF, kemudian Multifilm dan diperbesar dan perlengkapi oleh Jepang, dioper lagi oleh Multifilm mulai pula membikin film cerita di bawah nama South Pacific Film Corp (S.P.F.C.) dengan Andjar Asmara sebagai sutradara.

Pada hakikatnya tidak banyak perbedaan antara “Air Mata Mengalir di Tjitarum” yang dipimpin Roestam Palindih untuk Tan & Wong dan “Djauh Dimata” film Andjar Asmara untuk S.P.F.C. karena kedua-duanya masih tetap mengeksploitasi anasir-anasir resep yang lama. Perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan teknis, kecuali karena alat Multifilm lebih lengkap adalah juga karena pengaruh Denninghoff Stelling seorang kameraman yang telah punya pengalaman dalam lapangan dokumenter dan sekarang juga merangkap jadi produser. Sebenarnya baik Roestam maupun Andjar adalah dari satu sekolah, cuma pada Roestam tampak lebih nyata pengaruh Tionghoa, sedang Andjar tidak bebas karena campur tangan produser Belanda. Bahwa hidung Wong lebih tajam dari hidung Stelling dalam soal-soal komersil terbukti pada sukses filmnya di loket karcis lebih besar dari “Djauh Dimata”.

Penulis risalah ini sekeluarnya dari bui Cipinang, ikut-ikutan dengan Andjar Asmara. Dan waktu Andjar Asmara meninggalkan S.P.F.C. karena sesuatu hal padanya, ditawarkan pimpinan regie “Harta Karoen” yang disadurnya sendiri dari karangan Moliere asli “L’Avare”.

Dalam sejarah film Indonesia ini adalah usaha yang pertama untuk mendekatkan film kepada kesusastraan dan dengan demikian merupakan suatu langkah pertama yang pasti meninggalkan aliran-aliran Tionghoa, maupun aliran ANIF Albert Balink yang telah menjadi konvensional, artinya “Harta Karoen” tidak lagi disusun menurut resep yang sudah dimamah-mamah sebelumnya dan yang sudah diuji sukses komersilnya. Film penulis yang kedua untuk S.P.F.C. lebih lagi menyatakan corak yang menyimpang itu, tidak saja dalam bentuk, tetapi juga dalam isi. Meskipun karena keadaan, tendens kebangkitan manusia Indonesia baru itu tidak sejelas seperti dalam bentuk sandiwaranya, film “Tjitra” adalah yang pertama menjadi pernyataan kesadaran kebangsaan seperti sudah lama kelihatan pada hasil-hasil kesusasteraan, seni rupa dan seni suara. Mungkin karena hawa baru yang tiba-tiba meniup itu telah mengagetkan kebanyakan penonton film Indonesia, hingga “Tjitra” di loket karcis tidaklah merupakan suatu sukses. Hal ini yang menyebabkan pertikaian antara penulis dan produser Stelling yang berakhirnya dengan keluarnya penulis.

Sesudah itu S.P.F.C. melancarkan rentetan produksi yang lebih banyak didasarkan atas perhitungan komersial, dengan Schilling seorang bekas Letnan KNIL sebagai ressieur, meskipun keluar ke masyarakat Indonesia ditonjolkan figur Moh. Said H.J. seorang pemain yang sudah banyak makan garam dalam dunia sandiwara keliling. Film-film S.P.F.C. dalam tingkatan ini tidaklah dapat dikatakan seratus persen mengekor kepada resep studio-studio Tionghoa, terutama karena kedua tokoh yang pegang peranan penting dalam pembikinan film-film yaitu Stelling dan Schilling belum ada pengalaman dari jurusan itu dan mereka pun lebih banyak berpegang kepada film-film Amerika modern. Walhasil, para sutradara Indonesia yang bekerja pada S.P.F.C. tidaklah dapat dikatakan bebas dalam gerak-geriknya, meskipun penulis sendiri sebelum masuk kesana mendapat jaminan dapat bekerja secara merdeka.

Penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda kepada bangsa Indonesia membuka kemungkinan-kemungkinan yang sebelum itu tidak ada, yaitu untuk berusaha sendiri dalam lapangan perfilman. Berusaha sendiri dalam hal ini berarti mengambil inisiatif dan tanggung jawab dalam produksi seluruhnya baik finansial, teknis dan artistik.

Bukan karena itu saja titik permulaan itu mempunyai arti yang besar, tetapi juga karena inisiatif dan tanggung jawab itu berpokok pangkal kepada suatu kesadaran kebangunan untuk menegakkan film Indonesia atas sendi-sendi yang berurat-berakar kepada cita-cita kebudayaan kebangsaan.

Kiranya sukarlah untuk menyangkal, bahwa yang menjadi pelopor dalam hal ini, ialah golongan muda yang juga telah mempelopori usaha-usaha pembaharuan sandiwara di masa Jepang, yang sekarang menggabungkan diri dalam suatu bentuk badan hukum yang sesuai dengan sifat perusahaan film, yaitu Perusahaan Film Nasional Indonesia.

Kemudian berdiri Perseroan Artis Indonesia (Persari) di bawah pimpinan Djamaludin Malik yang dalam tujuannya juga ingin mendukung cita-cita kebudayaan kebangsaan, tetapi yang dalam praktiknya lebih banyak terbawa arus komersil golongan Tionghoa. Hal ini tidaklah mengherankan benar, karena Djamaludin Malik pada asalnya adalah seorang dagang yang tentunya memperhitungkan segala sesuatu juga dari sudut itu. Dengan mendapat bantuan dari beberapa pembesar dan instansi pemerintahan berdiri pula Kino Drama Atelier dipimpin oleh Huyung (Hinatsu Eitaro) yang pada waktu pendudukan Jepang memegang rol penting dalam menekan usaha-usaha bebas yang berdiri di luar itu. Apakah Kino Drama Atelier dapat digolongkan dalam grup yang mendukung cita-cita kebudayaan kebangsaan tadi, akan kita tinjau nanti dalam membicarakan hasil-hasil usahanya.

Dengan pengoperan badan-badan pemerintahan dari tangan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, juga Multifilm dan S.P.F.C. sekarang menjadi milik negara dengan nama Perusahaan Film Negara.

Periode baru dalam sejarah film Indonesia ini dimulai dengan film Perfini “Darah dan Doa”, menurut sebuah karangan Sitor Situmorang menceritakan suatu fragmen dari revolusi rakyat Indonesia menentang kembalinya penjajahan Belanda, yaitu perjalanan dan pengalaman Divisi Siliwangi dari Jawa Timur kembali ke kantong-kantong di Jawa Barat waktu clash ke-2 yang lebih terkenal dengan nama “The Long March”. “Darah dan Doa”, mempunyai arti penting dalam perkembangan film Indonesia selanjutnya, bukan saja karena dia buat pertama kali memakai tema cerita yang hangat dan dengan begitu mempunyai harga sebagai dokumen sejarah (pemberontakan Madiun, mars divisi Siliwangi ke Barat, pemberontakan D.I., penyerahan kedaulatan), tetapi terlebih lagi karena film itu hendak melukiskan perkembangan watak manusia Indonesia dalam revolusi. Bolehlah dikata bahwa ini adalah usaha pertama untuk menggambarkan manusia Indonesia dalam lingkungan pergolakan-pergolakan besar yang berlaku di dalam dan di luar dirinya secara agak mendalam. Dengan apa yang disebut aliran Albert Balink atau aliran golongan Tionghoa, film ini tak ada hubungannya, demikian juga dia bukanlah film propaganda Jepang seperti film P.F.N. “Untuk Sang Merah Putih” yang dibikin oleh trio Stelling, Schilling, dan Said, yang juga ingin menggambarkan perjuangan gerilya.

Film Perfini yang pertama itu dibikin dengan tiada perhitungan komersil apa pun, tetapi semata-mata didorong oleh rasa idealisme. Reaksi masyarakat bermacam-macam, pihak tentara di beberapa daerah malahan melarang pemutaran film tersebut. Ini adalah suatu pengalaman baru dalam pembikinan film yang aktual di Indonesia, karena dia akan mempunyai efek yang tidak begitu baik dalam perkembangan film Indonesia selanjutnya.

Efek ini terasa sekali dalam film Perfini kedua “Enam Djam di Jogja” yang pembikinannya, hingga diawasi dengan teliti sekali oleh segala pihak yang bersangkutan, hingga kebebasan untuk mencipta pun terbatas. Langkah yang sudah dimulai dengan “Darah dan Doa” ternyata tak mungkin diteruskan disebabkan sikap pihak resmi (sensor) yang mulai memperlihatkan giginya dan sikap masyarakat yang seolah-olah tak ingin melihat kenyataan baik atau jelek yang berlaku dalam lingkungannya digambarkan dengan nyata-nyata dan rupanya sangat tipis kulit terhadap segala rupa kritik, meski konstruktif sekalipun. Pada masa inilah Kino Drama Atelier membikin film “Antara Bumi dan Langit”, karangan Armijn Pane yang menggemparkan karena… dalam film itu akan dimasukkan sebuah adegan ciuman. “Antara Bumi dan Langit” yang diselesaikan di bawah pimpinan Huyung dalam pemilihan pokok cerita memang aktual dan orisinil (persoalan masalah Indonesia), tetapi dalam penggubahan skrip tetap mengarah kepada aliran komersialisme seperti kelihatan baik pada Balink, Stelling, The, Tan, atau Wong. Pada hakekatnya dalam bentuk sandiwara sekalipun “Antara Bumi dan Langit” telah melakukan beberapa konsesi terhadap selera penonton banyak karena sex-appeal dan nyanyi-nyanyiannya, seperti pernah ditulis sendiri oleh Armijn Pane bahwa memang disengaja memasukkan ke dalamnya rempah-ragam film-film Amerika: avontuur, spanning, romantik, tragis, nyanyian, dan lain-lain.

Sampai kemana pengolahan itu berhasil tak kunjung ketahuan karena film itu terlebih dulu sudah habis dipotong-potong sensor, hingga akhirnya Armijn Pane sendiripun tak mau lagi bertanggung jawab mengenai isinya. “Antara Bumi dan Langit” mempunyai arti karena turut dalam penyelenggaraannya seorang sastrawan yang telah mempunyai nama dalam lapangannya dan karena itu memang merupakan suatu perkuatan barisan yang sudah dimulai lebih dulu oleh Perfini.

Figur Andjar Asmara muncul kembali penulis cerita “Sedap Malam” untuk Persari meneruskan tradisi “Djauh Dimata”, tanpa teknik Multifilm yang sudah lebih maju. Periode 1950-1951 menunjukkan tendensi populernya cerita-cerita yang bermotif kehidupan gerilya atau yang bersamaan dengan itu: “Inspektur Rachman” (P.F.N.), “Bunga Bangsa” (Persari), “Djembatan Merah” (Bintang Surabaja). Satu hal yang patut dicatat ialah bahwa perusahaan Bintang Surabaja sebagai terusan usaha Keluarga The pun sekarang mengambil motif perjuangan rakyat Indonesia sebagai bahan cerita, meskipun pengolahannya tidak mengalami sesuatu perubahan.

Bolehlah dikatakan, bahwa periode di atas adalah seolah-olah periode kebangkitan bagi pengusaha-pengusaha Indonesia dalam mencari bentuk bagi film-film yang bersifat kebangsaan.

Gara-gara yang ditimbulkan oleh tindakan-tindakan sensor dan pihak-pihak resmi terhadap film-film seperti “The Long March”, “Antara Bumi dan Langit”, dan lain-lain, antara lain menimbulkan kegelisahan di kalangan Perfini yang lalu membikin film fiksinya yang pertama, “Dosa Tak Berampun”, sebuah saduran dari lakon sandiwara Jepang “Ajah Pulang”. Pada hakekatnya ini adalah eksodus yang pertama dari pokok-pokok cerita aktual yang disebabkan oleh guntingan sensor yang makin tajam. Sungguhpun demikian “Dosa Tak Berampun” sebagai suatu ciptaan ternyata mendapat sambutan yang baik sekali, tidak saja karena tekniknya yang mulai mendekati kesempurnaan, tetapi juga karena pengolahan skrip dan regie yang jauh lebih lancar dari film duluan.

Sementara itu beberapa figur baru muncul dalam lingkungan P.F.N. antara lain Kotot Sukardi dan Bachtiar Effendi. “Si Pintjang” film Kotot Sukardi yang pertama sebagai regisseur mempunyai arti penting karena pemakaian anak-anak sebagai pemain dengan secara efektif. Tetapi rupanya Kotot Sukardi belumlah dapat melepaskan dirinya sama sekali dari genggaman karangan-karangan sandiwaranya di masa pendudukan Jepang yang sangat bersifat propagandistis (“Turut Sama Amat”) hingga merusak tendensi sosial yang ingin dimajukannya dalam “Si Pintjang” itu.

Bachtiar Effendi yang sudah punya pengalaman terlebih dulu tidak saja di atas panggung, tetapi juga dalam perusahaan film Shaw Bros (Singapura) memulai karirnya pada P.F.N. sebagai regisseur sebuah film propaganda “Djiwa Pemuda” yang mengajak pemuda-pemuda pejuang kembali ke dalam masyarakat yang sedang membangun. Tema “kembali ke masyarakat” menjadi aktual.

Persari membikin “Hidup Baru”, sedang Perfini sambil memperkenalkan seorang regisseur muda D. Djajakusuma membikin “Embun”. Sedang pada “Hidup Baru” figur bekas pejuang itu dibawa ke dalam suatu drama percintaan, pada “Embun” figur itu digambarkan pergolakan jiwanya dalam hubungan meninggalkan medan pertempuran dan memasuki masyarakat yang aman-damai. Disamping itu “Embun” punya harga sebagai pelukisan masyarakat desa yang realistis karena gambaran adat istiadat dan kepercayaan yang masih hidup. Tetapi di dalam soal ini pulalah film ini berurusan dengan sensor hingga tambah meyakinkan para produser-produser, bahwa jalan yang seaman-amannya adalah menghindarkan diri dari mengambil pokok-pokok cerita yang realistis. Dan ini bolehlah dianggap sebagai suatu penutupan periode produksi film-film Indonesia yang mungkin tadinya kalau diberi lebih banyak keleluasaan mencipta akan membawa akibat-akibat yang baik bagi perkembangan film dewasa ini.

Pemotongan-pemotongan terhadap film “Embun” mempunyai efek yang langsung terhadap sendi-sendi perusahaan Perfini dan salah satu usaha mengatasi krisis itu ialah pembikinan film yang semata-mata bersifat hiburan dengan tidak mengambil resiko akan mengalami kerugian pahit seperti pada “Embun”. Hasilnya ialah film musik “Terimalah Laguku”. Produser-produser lain, terutama produser-produser Tionghoa menjadikan hal ini sebagai alasan untuk kembali melanjutkan programnya yang lama, yaitu mengambil cerita-cerita yang “aman”. Periode 1952 hingga saat ini merupakan masa yang tidak begitu cemerlang bagi film-film Indonesia. Tidak saja karena hal-hal yang disebut di atas, tetapi juga karena bebasnya masuk film-film Malaya, Filipina dan India ke Indonesia. Ditilik dari sudut perkembangan film di Indonesia yang pada hakekatnya sudah lebih maju dalam konsepsi dan variasi pemetikan tema cerita, pemasukan film-film impor itu mengembalikan sejarah ke masa sebelum perang. Film-film Filipina terutama mencari kekuatan kepada cerita-cerita gaib, ajaib, dan tahayul, film-film Malaya berspekulasi dengan insting-insting penonton yang paling rendah dibuai pula dengan nyanyian-nyanyian dan cerita-cerita yang sangat sentimentil, sedang film-film India memakai kedua anasir tersebut secara lebih spektakuler lagi. Dalam perjuangannya untuk bertahan hidup, produser-produser Indonesia dari segala golongan mencoba menempuh segala jalan yang halal dan yang haram, mencontoh, menjiplak dan infiltrasi seperti yang dilakukan Persari ke Filipina, dengan “Rodrigo de Villa”. Perjuangan sengit secara komersil telah dimulai. Sukses film semata-mata cuma diperhitungkan berapa hari bisa bertahan di Rivoli. Dalam hubungan mempertahankan diri ini Perfini keluar dengan “Kafedo” suatu cerita yang mencoba mempersatukan dichtung und wahrheit dalam suatu fiksi. Sekalipun perusahaan pemerintah yang pada hakekatnya bukanlah bertujuan komersil, juga P.F.N. ikut dalam perlombaan itu dengan film-film seperti “Sekuntum Bunga di Tepi Danau”, “Meratjun Sukma”. Sementara itu Gerakan Artis Sang Saka yang berlindung di bawah P.F.N. memperkenalkan seorang tokoh baru yang ternyata punya bakat yang baik, yaitu Basuki Effendi. Filmnya yang pertama “Pulang” yang tidak begitu memperhitungkan faktor-faktor komersialisme tadi disusul oleh “Rentjong dan Surat” yang lebih sadar dicocokkan kepada selera penonton biasa. Usaha-usaha Sang Saka sampai saat ini ditulis dapat dikatakan merupakan perkuatan terhadap usaha-usaha golongan Perfini, dan adalah suatu menara harapan di tengah-tengah kekalutan komersialisme. Banjir film-film Malaya dan Filipina terhenti dengan adanya peraturan pemerintah yang mengharuskan buat pemasukan tiap film dari Manila atau Singapura harus diekspor tiga film Indonesia. Sungguhpun demikian pembatasan ini bukanlah berarti berhentinya perlombaan tadi, malahan tendensi menunjukkan bahwa dia akan lebih menghebat lagi dengan segala akibatnya, yaitu tambah merosotnya nilai film Indonesia yang telah mencapai derajat yang agak baik di sekitar tahun 1951.

Meskipun bagaimana dibolak-balik pembikinan film cerita adalah suatu industri, hal ini tak dapat disangkal lagi. Menghubungkan suatu cita-cita kesenian kepada faktor-faktor perdagangan bukan saja merupakan suatu pekerjaan yang kelihatannya hampir tidak dapat dilakukan, tetapi juga dapat membahayakan kepada kedua-duanya. Ketekunan serta kesanggupan untuk mencoba dengan segala jalan memadu kedua-duanya menjadi sesuatu yang harmonis tidak saja memerlukan keberanian, tetapi juga keyakinan. Masing-masing membawa penyakitnya sendiri-sendiri yang harus diperbaiki dan diselesaikan secara sendiri-sendiri pula. Menarik kesimpulan dari uraian panjang lebar di atas, masalah film perlu ditilik dari sudut teknik sinematografi serta kesenian drama, sebagai alat komunikasi kemasyarakatan dan sebagai proyek industri. Sejarah perkembangan film Indonesia sampai sekitar tahun 1950 sedikit sekali atau hampir tak ada menunjukkan kesadaran untuk menaruhkan perhatian yang lebih mendalam terhadap soal-soal dalam golongan pertama. Jepang telah memberi contoh tentang penggunaannya sebagai alat komunikasi modern yang efektif yang kemudian diteruskan secara kecil-kecilan oleh B.F.I. Pengusaha-pengusaha Indonesia yang timbul sejak penyerahan kedaulatan hanya dapat memetik dari pengalaman-pengalaman pembikin-pembikin film Tionghoa mengenai film sebagai proyek industri. Karena itu, pada hakekatnya orang-orang film Indonesia baik dalam menguasai teknik sinematografi dan kesenian drama atau dalam pemakaian film sebagai alat komunikasi maupun dalam eksploitasi film sebagai proyek industri adalah pada tingkat permulaan sekali. Maka kuranglah adil rasanya dalam mengukur dan menimbang hasil usaha mereka dalam segala aspek di atas dipakaikan nilai-nilai yang umum bagi film-film dari negara-negara yang sudah jauh lebih maju.

Jika memang masih hidup cita-cita untuk membangunkan film Indonesia atas sendi-sendi yang baru, yang berurat-berakar kepada cita-cita kebudayaan kebangsaan, maka haruslah ada penyelidikan kembali tentang aspek-aspek yang dikemukakan di atas. Penyelidikan itu tidak dapat hanya dikerjakan sambil lalu saja, tetapi haruslah dibimbing oleh perasaan menghargai dan menempatkan film itu pada kedudukannya yang sebenarnya sesuai dengan peranan yang dimainkannya dalam kehidupan manusia dalam masyarakat modern. Sudah terang politik film pemerintah seperti sekarang ini tidak akan membukakan jalan-jalan yang diperlukan seperti sudah berbukti dalam uraian sebelum ini, politik sensor Kementerian P.P.K. meskipun mungkin tidak begitu maksudnya telah ikut mematikan inisiatif untuk membikin film-film yang realistis dan telah ikut memberi alasan kepada produser aliran golongan Tionghoa untuk lari dari alam kenyataan ke alam fantasi, dongeng, sampai-sampai ke dunia koboi-koboian. Pihak sensor membenarkan sikapnya dengan mengemukakan, bahwa tindakan mereka hanyalah merupakan kristalisasi dari apa yang hidup di kalangan masyarakat sendiri. Contoh-contoh juga sudah membuktikan, bahwa apa yang disebut “kalangan masyarakat” itu kadang-kadang cuma terdiri dari beberapa gelintir manusia yang kebetulan tidak setuju dengan visi yang dikemukakan pembikin film. Memang, disinilah pula letak bahayanya, bahwa sensor bukannya merupakan badan penimbang yang berdiri bebas, tetapi justru terikat oleh segala aliran yang terdapat dalam masyarakat.

Jika sensor toh dianggap perlu, maka haruslah dia mempunyai ukuran pertimbangan sendiri dengan pedoman-pedoman yang tegas yang tak dapat ditarik-ulur sebagai karet. Kiranya dapatlah dipahamkan dengan mudah, bahwa suatu penciptaan yang jujur haruslah berdasarkan kepada keadaan-keadaan yang benar, dan tak dapat dibangunkan atas khayalan dan fantasi belaka, hingga, mengakibatkan pelukis yang mencang-mencong (verwrongen). Dapatlah pula dipahamkan sukarlah akan tercapai suatu kreasi yang spontan, jika segala tetek-bengek yang datang dari pikiran-pikiran golongan-golongan masyarakat yang picik harus menjadi pertimbangan yang memutuskan. Meskipun mungkin maksud sensor ingin melindungi para produser dari gangguan-gangguan, protes-protes, dan jeritan-jeritan golongan-golongan masyarakat pada hakekatnya tindakan-tindakan preventif itu telah mempunyai akibat sebagai senjata makan tuan, yang jika diteliti dengan benar ternyata merupakan penghalang-penghalang besar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang betul menjamin kemerdekaan berpikir dan menyatakan pendapat, seperti sudah juga tegas tertera dalam U.U.D. Republik Indonesia. Pada hakekatnya film sebagai juga pers berhak mendapat dan berlindung di bawah jaminan itu dan kebalikannya tiap orang atau golongan dalam masyarakat berhak untuk menyatakan pendapatnya atau protesnya tentang segala sesuatu yang dianggapnya salah atau telah menyinggung nama baiknya. Tetapi buat itu undang-undang negara telah mengadakan saluran-saluran tertentu pula. Sikap sensor seperti sekarang ini amat menyukarkan kedudukan orang-orang film yang mempunyai cita-cita, malahan lambat-laun akan menggelincirkan mereka ke dalam aliran komersialisme dalam bentuk yang sejahat-jahatnya.

Soal penyensoran itu menjadi lebih pelik lagi, karena keinginan badan-badan pemerintahan lain untuk turut campur pula dengan mempergunakan kekuasaan-kekuasaan yang ada pada mereka. Affair Perfini-Toho, dimana Menteri Luar Negeri Sunarjo mendesavueer putusan Panitya Sensor yang telah menyetujui cerita film yang akan dibikin, adalah suatu contoh yang maha tepat campur tangan badan-badan pemerintahan itu memperkecil kesempatan hidup yang sudah kecil juga karena masalah-masalah komersil, bagi orang-orang film yang bersungguh-sungguh.

Jika dalam soal sensor ini pemerintah mencekik inisiatif pencipta-pencipta film yang serius, di dalam soal-soal pembangunan peralatan maupun negara, pemerintah melakukan politik yang monopolistis yang mensentralisir segala usaha ke dalam lingkungan P.F.N. dengan hampir tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan pengusaha-pengusaha partikelir. Bagi pemerintah tentu saja bukanlah suatu masalah yang besar untuk membiayai dan mendatangkan peralatan yang selengkap-lengkapnya. Bukan itu saja pemerintah dengan secara leluasa dapat mendatangkan ahli-ahli dari luar negeri baik atas biaya sendiri maupun atas biaya Unesco atau T.C.A. dan dengan secara bebas pula dapat mengirimkan orang-orangnya belajar ke Amerika, Eropa, atau Jepang. Beberapa orang dari pihak partikelir yang pada saat karangan ini ditulis karena kapasitasnya mendapat kesempatan dikirim keluar negeri atas biaya pemerintah, sekembalinya harus mengadakan kontrak kerja buat sekian tahun, hingga pengusaha partikelir tersebut bolehlah gigit jari saja, karena tak sanggup mengirim mereka itu atas biaya sendiri.

Jika penulis dalam risalah ini mengemukakan beberapa sari soal dalam film Indonesia, maka hal itu memanglah tidak berlaku bagi Perusahaan Film Negara. Ikut disebabkan politik pemerintah yang monopolistis itu, tetapi juga karena kesukaran-kesukaran keuangan maka latihan para ahli teknis dan kreatif pada perusahaan-perusahaan Indonesia bukan pemerintah terpaksa diselenggarakan secara primitif saja. Kekurangan tenaga ahli ini merupakan halangan yang bukan sedikit bagi memperbaiki nilai film. Lebih lagi dari cabang-cabang kesenian lain penguasaan mekanik dan teknik adalah syarat yang terpenting bagi penciptaan film yang baik, seperti juga penggunaan peralatan yang agak lengkap. Miskinnya dan tidak menariknya film-film Indonesia bagi penonton terpelajar dewasa ini disebabkan oleh tidak terpenuhi syarat-syarat yang di atas. Dan kembali lagi kepada lingkaran tak berujung tadi, untuk memenuhi syarat-syarat itu perlu modal yang cukup, yang tak dipunyai oleh umumnya pengusaha-pengusaha Indonesia.

Orang sering mengambil bandingan-bandingan dengan film-film Italia yang dikatakan murah pokoknya tetapi sekedar untuk menghilangkan salah paham, kiranya dikemukakan, bahwa film “Pentjuri Sepeda” Vittorio de Sica tak kurang dari 100.000 dolar (kurang lebih 2.500.000 rupiah) ongkos produksinya, sedang rata-rata buat sebuah film Indonesia dikeluarkan tak lebih dari Rp 350.000.

Walhasil kurangnya modal yang berarti tidak cukupnya peralatan dan belanja produksi serta kurangnya tenaga ahli baik dalam lapangan teknik maupun dalam hal-hal kreatif menyebabkan mutu film Indonesia belumlah setinggi yang diharapkan orang.

Tidak saja masalah sensor yang dikemukakan tadi menjadi penghalang tenaga-tenaga kreatif, tetapi juga faktor penonton yang pada hakikatnya akan membiayai ongkos produksi punya kekuasaan yang menentukan. Pada umumnya penonton Indonesia belumlah dapat memberi nilai dan penghargaan kepada prestasi-prestasi teknis dan kreatif. Kesempurnaan teknik mereka anggap lumayan karena sudah dimanjakan oleh film-film Amerika terutama, meskipun kesalahan penyelenggaraan akan lekas mereka ketahui. Kesukaran penonton itu berbagai ragamnya buat tiap daerah dan bermasa-masaan, sukar sekali untuk menduganya dari semula. Bagi golongan produser Tionghoa sekalipun yang telah punya pengalaman puluhan tahun faktor penonton masih tetap merupakan suatu teka-teki.

Salah satu tema cerita yang sudah diuji akan menjadi kesukaan penonton Indonesia di masa ini ialah motif Assepoester. Pokoknya ialah adanya seorang gadis atau pemuda melarat dan miskin ditindas oleh orang kaya yang berkuasa, tetapi akhirnya si pemuda atau si gadis itu membalas tuba itu dengan air susu. “Miskin”, “Bawang Merah Bawang Putih”, “Putri Solo” adalah sukses-sukses gemilang di loket karcis. Beberapa syarat lain yang harus dipenuhi ialah supaya si gadis meskipun melarat hendaknya tetap ayu, rumahnya janganlah terlalu buruk dan hendaknya cukup romantis dan sentimentil. Melawan selera penonton dengan membabi-buta niscaya akan mengakibatkan kebangkrutan bagi si produser. Diktatoriat dari pihak penonton inilah yang membikin produser yang bercita-cita menjadi ubanan. Tambah lagi diktatoriat itu adalah diktatoriat dari golongan mahluk yang belum dewasa alam pikirannya. Memang tiap negara yang punya industri film sendiri harus menghadapi masalah penonton tetapi tingkatan kecerdasan penonton umum bagi tiap negara tidak sama. Bagi negara-negara yang sudah maju tingkat itu tentu lebih tinggi dari negara seperti Indonesia dimana 80% penduduknya masih buta huruf. Maka masalah itu bagi Indonesia makin tambah sulit untuk menyelesaikannya.

Sebuah film dapat dibikin melulu dengan mengambil ukuran penonton biasa yang rata-rata umur akalnya kurang lebih 10 tahun dengan mengabaikan mereka yang sudah dapat berpikir dengan lebih masak. Tetapi jika hal ini diteruskan, maka akan terdapatlah jurang yang makin akan melebar antara film Indonesia dan kaum cerdik-pandainya, seperti halnya di India dan Filipina. Jika lagi sebuah film ditujukan untuk makanan para intelegensia saja, maka adalah itu satu yang sangat berat resikonya, karena mungkin tidak saja film itu belum tentu dapat mencukupi kebutuhan intelek mereka, tetapi juga mungkin hasil usaha itu cuma akan dapat penghargaan dari sebagian mereka saja.

Pada hakikatnya usaha satu-satunya yang dapat dikerjakan dalam keadaan sekarang ialah membikin film yang dapat dipahamkan oleh rakyat banyak, tetapi tidak terlalu menghina kepada perasaan intelek kaum terpelajar. Untuk mendapatkan sintesa perlu juga keberanian, karena masih tetap ada resiko akan tergelincir antara keduanya. Dalam hubungan ini dapat disebut film Perfini yang terakhir “Krisis” yang merupakan suatu eksperimen yang berharga untuk diikuti hasil akhirnya.

Pada satu pihak dari politik yang masih negatif sampai sekarang, Pemerintah seolah-olah meremehkan masalah film, di pihak lain dari tindakan-tindakan sensor badan-badan kekuasaannya yang lain pemerintah membesarkan pengaruh film. Dan sementara itu melihat rencana besar-besaran yang diperuntukkan bagi P.F.N. kelihatan tendensi pada pemerintah untuk merangkum segala soal perfilman ke dalam satu usaha yang monopolitis sifatnya.

Meskipun demikian usaha-usaha orang per seorang seperti Mr. Maria Ulfah Santoso dan Walikota Sudiro yang telah memelopori pengambilan inisiatif membikin peraturan supaya semua bioskop di Jakarta diharuskan memutar film Indonesia patut disambut dengan penghargaan. Tetapi yang masih dihentikan ialah penyelesaian secara integral dari masalah film dalam hal-hal produksi, distribusi, dan exhibisi yang memintakan dari pemerintah suatu politik yang aktif berdasarkan atas sendi-sendi negara yang demokratis.

Karena Indonesia dengan penduduknya yang 80 juta jiwa adalah tempat yang subur bagi perkembangan film sebagai alat komunikasi, sebagai hiburan ataupun sebagai pernyataan kesadaran kebudayaan kebangsaan dan sebagai proyek industri. Dewasa ini hanyalah kira-kira 15 dari film yang diputar di bioskop-bioskop yang berjumlah kurang lebih 600 itu bikinan dalam negeri, hingga tiadalah dapat diduga besarnya kemungkinan-kemungkinan film Indonesia di masa depan. Mempergunakan kemungkinan-kemungkinan itu tidaklah terutama terletak kepada pengusaha-pengusaha Indonesia yang pada umumnya masih lemah dan masih perlu perlindungan itu, tetapi terlebih lagi terletak kepada kesadaran pemerintah yang harus berwujud dalam suatu politik yang progresif seperti telah dimulai oleh Walikota Sudiro. Hanyalah dengan jalan demikian film Indonesia akan mempunyai arti kemasyarakatan dan kebudayaan di hari-hari yang akan datang.