H.B. ANGIN KURANG BERTANGGUNG JAWAB

Sumber: Siasat, No. 150, Tahun IV, 22 Januari 1950, hlm 7.

Baru-baru ini di Gedung Komidi Jakarta, berkenaan dengan sambutan penyerahan kedaulatan Republik Indonesia Serikat, diadakan pertunjukan revue nasional “Gendrang Indonesia”.

Tentang pertunjukkan belum dapat kita katakan, bahwa seluruh pertunjukan itu sudah merupakan revue. Masih banyak bagian-bagian yang dikemukakan sebagai bentuk selingan, sehingga kesan kita kepada seluruh pertunjukan ialah sebagai rentetan nomor-nomor tarian, musik dan nyanyian yang diselenggarakan berturut-turut sebagaimana kita biasa melihat dalam pertunjukan pesta sekolahan. Menurut keterangan beberapa orang pemimpinnya, semua ini disebabkan oleh terlalu sempitnya waktu persiapan. Tentu ini dapat dijadikan alasan, tapi toh sekalipun usaha itu belum selesai (sempurna), setidak-tidaknya jangan sampai menimbulkan suatu kesan sembrono.

Terutama dalam usaha dekor. Jika ini dikerjakan dengan sungguh-sungguh, banyak sekali dapat memperbaiki dan melancarkan pertunjukan itu. Dalam pertunjukan ini yang menjadi decorator (pengatur dekor) ialah H.B. Angin. Dia adalah seorang pelukis reklame yang banyak berusaha di lingkungan dekor.

Dengan dekornya dalam pertunjukan ini belum bisa kita katakan, bahwa H.B. Angin sudah berhasil menjadikan seni dekor sebagai alat pernyataan keseniannya. Jika kita lihat sepintas lalu, segala sesuatu yang diperlukan dalam pertunjukan selesai dikerjakannya, tetapi apakah syarat dari seorang dekorator hanya sampai kepada memenuhi segala perintah sehingga si pemesan merasa lega hati? Dan kalau ini yang menjadi titik berat, yah, dapat saya pastikan bahwa H.B. Angin hanya seorang uitvoerder saja.

Artinya Dekor
Karena dekor adalah merupakan sesuatu gambaran atau pemandangan, sekalipun digunakan dalam seni drama, soal dekor masih tetap masuk lingkungan usaha seni lukis. Jadi harus ada arti lukisan dalam dekor.

Sebetulnya mulai layar terbuka, sekalipun belum ada seorang pemain kita lihat di atas panggung permainan sudah dimulai. Mulai dengan melihat dekor kita sudah dibawa ke alam perasaan atau lebih luas lagi ke dunia yang dimaksudkan oleh pertunjukan itu.

Jadi titik berat dari sebuah dekor ialah bukan memberi perlengkapan atas kebutuhan stoffage (meja, kursi, tangga, pintu, gorden, dan lain-lain) dari sesuatu pertunjukan. Sebuah dekor harus bisa tampil ke muka pada waktunya apabila dibutuhkan untuk mengadakan suatu intepretasi suasana, dan juga bisa mengundurkan diri pada waktunya, apabila hanya diperlukan sebagai stoffage saja. Dan sebagai tenaga pembangkit suasana sebuah dekor harus merupakan sesuatu lukisan yang merdeka tidak terbatas oleh barang-barang yang diperlukan oleh regie.

Dalam pertunjukan “Gendrang Indonesia” ini H.B. Angin sama sekali tidak ingat kepada totale opname dari sebuah panggung pada tiap pertunjukan. Kadang-kadang oleh permainan lampu dan ketidakcocoknya suasana dekor panggung itu dibagi-bagi dalam beberapa bagian, sehingga si penonton tidak mengerti kemana mata harus dilarikan. Bukankah pada tiap-tiap penglihatan hanya sebuah yang menjadi pusat, dan yang lain-lain itu hanya membantu untuk menguatkan pusat.

Beberapa Contoh
Misalnya dalam tarian Bali; untuk menarik perhatian pada penari yang duduk di belakang, tak usah bagian muka dari panggung digelapkan. Dengan cara begini, panggung terbagi dua: yang gelap dan yang terang. Dan si penonton tidak tahu kemana mata harus dilarikan. Yang gelap tetap memegang perhatian, karena penarinya masih menari dan gamelannya masih berbunyi, hanya suasananya gelap, bahkan lebih menimbulkan perhatian. Penonton masih mau melihat tarian selama mereka tahu, bahwa masih ada yang menari.

Begitu pun dalam babak penyelenggaraan nyanyian seperti Bengawan Solo dan lain-lain. Di sini terlalu menyolok kehidupan totale opname dari sesuatu panggung. Di atas panggung ada dua pertunjukkan. Pertunjukkan slides dan pertunjukan nyanyian. Kalau tidak ada siluet orang tampil ke muka yang bernyanyi barangkali penonton tidak begitu gelisah, sebab sudah biasa melihat slides advertensi di bioskop sambil mendengarkan lagu-lagu. Untuk mendengarkan nyanyian saja slides-nya terlalu meminta perhatian dan gambarnya membosankan seperti gambar-gambar advertensi bedak Virgin atau firma Lim Tjoei Keng.

Komposisi Tak Diperhatikan
Tentang komposisi pun H.B. Angin tidak begitu memperhatikan. Misalnya dalam nyanyian bersama, karena tinggi rendahnya orang-orang yang bernyanyi tidak teratur, pecah garis komposisi yang dibuat oleh barang-barang dekor seperti tangga, gong, dan layar sehingga kesan penonton hanya melihat orang berderet-deret menyanyi bersama. Dalam keadaan semacam ini sebetulnya seorang dekorator harus berani bertindak untuk mengadakan perubahan tidak hanya melever barang-barang yang dipesan.

Begitu pun dalam tari payung. Tarian payung ini sebetulnya dapat kita gunakan untuk memperlihatkan ritme dan komposisi warna, tetapi H.B. Angin lalai dalam soal ini. Karena masing-masing berpakaian sesukanya, kadang-kadang yang berpakaian warna keras lari semuanya ke kanan, sehingga di sebelah kiri kosong tidak ada warna. Ini pun kewajiban dekorator untuk membantu menyusun komposisi warna.

Kurang Berani
Dekor yang dapat dikatakan sempurna dalam pertunjukan ini ialah: dekor tarian balet sekalipun konvensional. Kita sering melihat tiap-tiap penyelenggaraan tari diberi dekor layar polos dengan neutrale tint.

Kalau H.B. Angin agak bercita-cita dan berani. Bisa dia memperlihatkan ciptaannya dalam penyelenggaraan kroncong Kemayoran. Bentuk pertunjukan kroncong Kemayoran toh sudah merupakan operette, mengapa layar dekornya tidak ada keberanian untuk lepas dari bentuk naturalisnya?

Memang umumnya di Indonesia ini soal dekor masih pada tingkatan alat. Ia lebih berat mengarah pada barang-barang keperluan regie daripada mengejar kepada sesuatu bentuk yang mempunyai nilai keindahan. Banyak pertunjukan yang saya lihat dan ada beberapa pelukis yang sudah menempatkan diri di lingkungan dekor, tetapi belum ada hasil mereka yang menunjukkan apa dekor itu. Mereka baru sampai bekerja membikin layar.

Mungkin mereka tertekan oleh kehendak pengusaha sandiwara. Tentu dekorator tidak bisa melebihi program regie, tetapi ia bisa mengadakan usul-usul dan perubahan-perubahan sebagai pertanggung jawab atas pekerjaannya. Jadi harus ada usaha bekerja bersama antara dekor, regie, dan pengusaha sandiwara.

Kapan?
Dalam pertunjukan “Gendrang Indonesia” ini belum dapat dikatakan bahwa H.B. Angin sudah berhasil dalam usaha dekornya. Ia masih banyak melalaikan syarat-syarat pertama dari sebuah dekor, sehingga dapat kita katakan ia kurang bertanggung jawab.

Selanjutnya kapan akan ada sebuah dekor yang bisa menunjukkan sesuatu bentuk keindahan yang dapat membuat suasana pertunjukan lebih bersemarak. Tiap-tiap bentuk keindahan tidak saja membuat orang-orang lebih baik daripada semulanya, tetapi alam kelilingnya pun turut baik. Dan ini saya yakin dapat tercapai apabila ada uluran tangan dari pengusaha sandiwara berupa memberi kesempatan yang luas dan dari pihak dekorator tentunya juga harus ada pertanggungan jawab dari kesanggupannya atas dasar pengetahuan yang sungguh-sungguh.

Jakarta, Januari 1950