Sumber: Indonesia, No. 5, Tahun II, Mei 1950, hlm 258-268.
Pada tanggal 1-10 Mei tahun 1950 Kementerian Penerangan Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta menyelenggarakan pertunjukan sebagian dari lukisan-lukisan dokumentasi usaha pelukis-pelukis Jogja.
Sekarang kita telah berada dalam pernyataan membuktikan kehidupan sebagai bangsa. Tiap-tiap perjalanan untuk mau terus selalu dibuktikan dengan ada jalan berbarengan dari segala cabang kesanggupan manusia. Karena maklum tiap-tiap kemungkinan kesanggupan yang ada pada manusia yang diketemukan pada bangsa lain, ada pula kita miliki. Tiap-tiap usaha itu menjelma dalam bentuk-bentuknya atau susunan-susunannya yang wajar menurut kekuatan persediaan diri yang telah dimiliki selama berjuang menempatkan diri atau merebut kedudukan di tengah-tengah masyarakat atau bangsa. Ini belum akan berarti ada suatu pencapaian yang sempurna. Hasil suatu pencapaian tentu banyak bergantung pula pada pengaruh tempat dan kapan waktu terjadinya dan apa dasar belakang dari pendorongnya. Dan tiap-tiap pernyataannya tentu mesti mengandung sedikit-banyak realiteit yang didukung oleh tenaga-tenaga pelahirnya.
Bahwa seteleng ini hebat dan telah merebut kejuaraan, sudah banyak dibaca dan didengar.
Berikut kita mau menurutkan alam suasana pikiran khalayak yang kita alami selama seteleng, dan disengaja dilihat dari sudut kurang enak. Ini pada saat sekarang sangat penting, karena selama seteleng ini dan suasana pikiran disekitar kejadian ini, ahli-ahli dan khalayak sangat ceroboh dalam melantingkan ucapan dan kepuasan hati dalam suatu pencapaian dan cepat memberi kedudukan yang bukan-bukan lagi pencapaian lukisan.
Pada seteleng ini pelukis-pelukis Jogja hendak menyatakan dorongan realiteit yang didukungnya selama sebelum RIS terbentuk pada penjelmaan seninya. Sudah lama kita dengar dari semenjak lukisan ini disetelengkan di Jogja, bahwa usaha mereka ingin disaksikan oleh khalayak Indonesia. Sebetulnya sebelum aksi polisionil kedua, mana ini alasan yang terbesar menyuruh membikin lukisan-lukisan ini, sudah ada dalam hati kecil dari tenaga-tenaga yang terkemuka dari rombongan ini untuk melihatkan kesanggupan bisa melukis secara “realisme”, seperti umumnya dimiliki tekniknya oleh pelukis-pelukis akademi. Kita harus ingat bahwa pelukis-pelukis Jogja ini, semua tidak lepasan akademi. Dorongan yang mencemeti mereka sampai kesanggupan “realisme” ini, boleh dikatakan karena ada complex yang banyak dibentuk oleh kekurangan penghargaan khalayak pada lukisan-lukisan lama mereka.
Pergolakan batin melawan complex ini sampai bisa menjadikan tehnik akademi jadi milik, itu sangat banyak berbicara dalam alam perasaan pelukis-pelukis Jogja ini, dan tak aneh pula sangat kentara pada seteleng ini, tetapi ini masuk soal kedudukan perkembangan diri pelukis, mana pada tulisan ini kita kesampingkan karena hendak menguraikan bahaya-bahaya yang sangat kentara dalam alam perasaan khalayak yang disebabkan oleh kecerobohan sikap, walaupun sikap-sikap ini telah bertahun-tahun berkumandang dalam alam kesenian/kebudayaan Indonesia baru. Sungguh sedih, kecerobohan ini bertambah hebat karena adanya seteleng ini, disebabkan oleh keadaan-keadaan yang tak terduga akibatnya lebih dahulu, mana ini lebih banyak bersifat psikologis. Juga soal psikologis ini tidak kita kutik-kutik disini, karena ini lebih banyak merupakan bagian masalah dari perkembangan seni lukis Indonesia baru. Buat saat sekarang mensinyalir bahaya-bahaya berikut, kita anggap lebih penting dari pada kemenangan-kemenangan yang diperoleh oleh pelukis-pelukis Jogja. Karena tujuan lukisan ini, ialah supaya dia jadi milik haru khalayak dengan merasakannya secara sehat. Yaitu melihatnya melulu sebagai buah seni, sebagai keindahan atau yang mengharukan semata.
Selama ini dalam hati kecil khalayak banyak harapan-harapan, doa-doa kecil, kapan, lekaslah, banyaklah adanya lukisan-lukisan Indonesia yang betul-betul serupa alam nyata. Bukankah selama ini mereka dari semenjak masuk sekolah sampai jadi orang masyarakat berlatih dan berpendapatan, bahwa lukisan yang pantas dapat angka sepuluh dan betul-betul hidup, harus seperti alam nyata. Dan tiap-tiap lukisan yang bertentangan dengan kesenangan bentuk ini, selalu tak mendapat perhatian mereka. Walaupun bagaimana juga suatu lukisan mau dicap modern atau tinggi mutunya, hanya baru mau menerima mereka, kalau lukisan itu ada merupa atau mearah bentuk alam nyata. Kalau dalam ucapan populernya: lukisan itu kalau dilihat dari dekat jelek kelihatan dan kalau dilihat dari jauh bagus kelihatan. Atau garis warna lukisan itu besar-besar dan lepas-lepas sebagai tanda bahwa pelukisnya berjiwa merdeka dan berani.
Pada kali ini, sedang berhadapan dengan “realisme” Jogja ini, khalayak merasa menang dan puas dalam anggapannya apa yang selama ini dianggapnya bagus, karena corak ini menjadi corak atau aliran yang disenangi pelukis-pelukis Indonesia, apalagi kalau corak itu dipelopori oleh yang telah dianggap bapak seni lukis Indonesia baru oleh masyarakat kesenian. Sangat beruntung lagi mereka kalau diketahui, mereka ditemani oleh penganut-penganut filsafat atau gerakan kesenian/kebudayaan modern di Indonesia ini, bahwa mujur dalam keadaannya dunia berhadapan dengan cengkeraman keruntuhan, ahli-ahli filsafat dan seniman-seniman dunia telah kembali ke realisme. Dan dosa-dosanya mereka yang berkecimpung dalam arus corak-corak modern lama, bisa dimaafkan, karena dengan perbekalan itu, dunia perasaan atau pikirannya bertambah banyak dan tentu akan sangat menguntungkan bagi kekayaan dan kekuatan visi tenaga-tenaga tadi. Keadaan yang menguntungkan pengertian keindahan khalayak ini, diperkuat lagi dengan perasaan senang dan aman dari pelukis-pelukis yang selama ini selalu melukis secara “realisme”, dan merasa sekarang terbukti bahwa seninya berjalan di atas rel yang benar, karena banyak pelukis-pelukis yang mencemoohkan dia dahulu, belakangan kembali kepada cara dia melukis. Dengan adanya “realisme” ini juga memberi keuntungan besar bagi ahli-ahli pendidik, bahwa dia tak usah merubah cara-cara mengajar anak-anak sekolah menggambar dari cara-cara yang dipelajarkan oleh sistem pelajaran zaman kolonial dahulu. Suatu keuntungan dengan tak usah memeras keringat pikiran lagi dalam menemui suatu sistem pendidikan untuk menggerakkan daya mencipta dari murid-murid. Dengan seteleng “realisme” ini tentu akan kelihatan kuat pengaruhnya dalam alam perasaan umum, intelek, dan tenaga-tenaga muda dari seni lukis di Jakarta. Dan ada pada tempatnya koran-koran dan majalah-majalah bersorak bahwa Jakarta sekarang sudah jauh ketinggalan dari Jogja. Dan dengan begitu kekalahan Jogja dahulu yang digembar-gemborkan oleh Jakarta pada waktu sebelum polisionil kedua, Jogjakarta jauh ketinggalan dalam ide dari Jakarta, yang katanya ketika itu Jakarta sudah sampai pada aliran humanisme dan monumental, sekarang telah lenyap. Hidup aliran “realisme”.
Sungguh menggelikan hati dan bodoh perjalanan pikiran yang dianut oleh mereka yang sejalan dengan pengutaran di atas.
Dengan terus-menerus bersitegang dengan cara perjalanan pikiran di atas, percaya tak akan sampai-sampai kita pada kemajuan yang diharap-harapkan, bahwa kemajuan itu betul-betul menurut hasil dari pergolakan kita dalam melontarkan penemuan haru secara intuitif. Dan tetap kita tak akan mengerti apa kelebihan kebahagiaan yang dapat diberikan oleh kesenian, bahwa dia betul-betul harus bisa berbicara, memancarkan perasaan haru dan menempatkan dirinya pada tingkatan-tingkatan pencapaian cita; dan bahwa dia betul-betul berupa suatu kemenangan pula bagi si pelukis sendiri dan bagi si penonton. Dan dalam penemuan haru ini, si pelukis itu saja yang menjadi pihak pemberi apa-apa kepada si penonton. Dan si penonton sedikit pun tak boleh mengharap-harapkan supaya ada perubahan dalam lukisan seperti harapan khayal, “alangkah baiknya si pelukis itu menggambarkan objek itu seperti ini atau merubahnya cara begitu.”
Apakah dengan permintaan boleh dirubah dan boleh memajukan usul dalam lukisan ini, masuk sebagian demokrasi yang dianut sekarang, entahlah. Celakanya, memang sudah banyak di antara jago-jago pelukis Indonesia yang diakui oleh intelek, telah sudi merubah lukisannya menurut permintaan pemberi pekerjaannya. Dan mungkin pula dalam kesenian ini dia berpendirian sebagai tukang dagang seni, bahwa dalam atraksi kesenian, khalayaklah yang menjadi raja atau hakim. Khalayak yang selama ini dibentuk selera keindahannya oleh sang pendidikan dan oleh sejarah, ketumbuhan kemajuan yang pincang. Dengan adanya perjalanan pikiran ini pulalah ada diantara ahli-ahli kesenian/kebudayaan Indonesia sekarang yang berpendirian, bahwa kesenian itu harus dipertanggungjawabkan terhadap khalayak. Ini namanya mengindahkan terbentuknya suatu kesenangan yang dianut oleh massa, dan dengan sendirinya banyak harapan, boleh jadi juga telah sampai bahwa corak Indonesia baru telah diketemukan. Atau corak Jawa seperti ada pula orang mengatakan lukisan yang disetelengkan di sini. Sungguh kan gampang melukiskan dan menemukan corak Indonesia baru. Dan betapa besarnya hati khalayak kalau dia melihat hasilnya andai kata pelukis-pelukis “realisme” dunia melukiskan alam Indonesia, tentu dengan sendirinya pelukis-pelukis itu akan melukis seperti corak Indonesia tadi. Dengan lain perkataan corak Indonesia baru telah sama dengan corak internasional.
Dengan begitu bertambah jauh lagi kita dari hakikat kesenian. Dengan begitu kita cukup mengharapkan dari kesenian asal saja dia serupa dengan bentuk objek. Dengan begitu tak ada lagi jalan terbuka bagi kesenian lain cara menjelmakannya, karena misalnya apakah yang dapat disebutkan realisme dalam musik dan dalam kesenian-keseniannya.
Siapakah atau sudah adakah orang-orangnya yang telah menemui resep-resep corak “realisme” bagi kesenian-kesenian ini? Atau begitu gampangkah resep kesenian ini seperti kita telah menemui resep bagi kesenian/kebudayaan kita yang telah masyhur itu, yaitu mesti berdasarkan Pancasila. Seolah-olah kalau orang dogma-dogma Pancasila ini dicocokkan dengan bahan-bahan bagian dari buah cipta, lantas kalau disusun dia dengan sendirinya tak boleh tidak sudah merupakan keindahan nasional. Kalau tidak memenuhi syarat ini, pasti seni itu bobrok dan rendah dilihat dari sudut kenasionalan. Dengan menyebut-nyebut dogma-dogma tadi, kesenian bisa selamat kedudukannya, dan khalayak tetap akan jauh berada dari lapangan kesenian. Karena dengan adanya dogma-dogma tadi khalayak bisa merasakan betapa beratnya dan tingginya kedudukan seseorang seniman nasional. Coba turutkan: si seniman itu sebelum ciptaannya lahir, dia harus menganalisa, merancang dan menyusun bagian-bagian ciptaannya dengan menjaga supaya dasar-dasar tadi tetap terjalin di dalamnya; dalam menyusun ini dia harus pula mementingkan hukum-hukum kesenian yang dikatakan komposisi, corak, ritme, dan sebagainya.
Jadi terang baru sampai ke tingkat lulus, banyak rintangan yang harus dilalui. Kesulitan-kesulitan ini, soal-soal tinggi muluk ini, tak akan bisa dicapai oleh khalayak, hanya mereka yang betul-betul banyak pengetahuan dan banyak pengalaman dan bakat yang tinggi yang akan bisa mengatasinya. Pujangga-pujangga mana dan buah-buah seni mana yang telah lahir yang berdasarkan Pancasila sesudah gerakan revolusi kita, entahlah. Barangkali belum diketemukan atau belum dalam penyelidikan. Khalayak boleh tunggu dengan sabar.
Nah, sekarang dia telah menemui dalam suatu cabang kesenian, disini dia sedang berhadapan dengan seni lukis, yang kata setengah ahli-ahli kesenian yang telah bercorak Indonesia baru. Apakah telah betul-betul memenuhi syarat-syarat Pancasila, ini belum diselidiki.
Dengan dogma-dogma Pancasila dan ditambah dengan hukum-hukum kebudayaan yang diketemukan ahli-ahli kita, maka terbuka suatu jalan pikiran yang tak usah banyak mengandung pengetahuan, karena pokok soal sudah menjadi gampang dalam hendak memperjelas suatu kedudukan hasil ciptaan. Dengan pikiran gampang ini jelas disodorkan kepada mereka. Mereka tak berhadapan lagi dengan teka-teki atau keragu-raguan dalam menafsirkan keindahan. Bagi ahli-ahli kesenian/kebudayaan kita juga sangat mengentengkan dalam hendak mengutarakan kepada khalayak arti kehendak-kehendak dari kebesaran kesenian dari seniman-seniman yang memenuhi syarat-syarat Pancasila. Ini kita saksikan pula ketika berada dalam seteleng.
Ahli-ahli kesenian kita itu cukup melihat seteleng sepintas lalu. Dibelinya katalog, dia masuk, duduk kira-kira lima menit, melihat sebentar keliling, lantas pulang, tiba di rumah mengetik dan besok keluar karangan yang panjang lebar dengan penjelasan-penjelasan yang memenuhi hukum kesenian. Ada pula yang datang hanya untuk menemui pelukis-pelukisnya dan bertanya tentang aliran-aliran ini dan itu dan pendirian-pendirian dari pelukis-pelukis lantas pulang, karena isi seni seteleng itu sudah dalam kantongnya dan besok keluar karangan yang hebat-hebat yang mengatakan kesenian Indonesia sudah maju, sudah sampai, harus diterima dengan gembira. Ada lagi yang melihat ke kiri ke kanan, dan besok keluar karangan yang dipetik dari buku yang mengenai aliran seperti diseteleng, karena menganggap hakekat perjalanan seninya toh sama dengan apa yang tertulis di dalam buku. Ada pula yang datang, sesudah melihat sekejap mata, lantas mengucapkan, “O, seni lukis Indonesia sudah begini bentuknya, syukur sekarang dia mulai sehat, tapi sayang masih berwarna Barat.” Dan banyak contoh-contoh yang kita ketemukan cara-cara mengambil sikap enteng yang ditimbulkan oleh seteleng “realisme” ini. Dengan tak sadar (bagaimana barang akan bisa sadar), seteleng ini betul-betul ikut mengacau suatu perjalanan kesenian yang sehat, mana ini belum kentara terasa oleh khalayak. Yaitu menurut pengertian kesenian yang betul-betul dilahirkan oleh perasaan yang diakibatkan oleh kedudukan kita di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan dunia. Bahwa perasaan itu tak terhilang banyak ragamnya dan sifatnya yang ulung bahwa dia tak bisa diucapkan, tapi dia bisa banyak bicara, kalau dia telah merupakan suatu bentuk; dan bahwa bentuk ini tak bisa ditetapkan mesti menurut syarat-syarat tertentu, dan dia harus merdeka dalam pengambilan bentuk. Dan penimbulan rasanya mungkin tak terbilang banyak pula ragamnya, meskipun bentuknya sangat sederhana sekali. Mungkin pula tak sedikit pun merupakan seperti alam nyata. Bahwa kesenian itu bukan karena dia ada menggambarkan misalnya suatu pemandangan yang luas, seperti laut, hutan, alam, lantas kekuatan fantasi diri yang memberi terjemahan bagi arti kebesaran kata itu. Dia bukan pula menuliskan kepada khalayak bahwa bentuk yang ada pada dia itu, inilah kesenian yang memenuhi syarat-syarat kedaerahan atau kenasionalan. Dia hanya bisa bicara sebagai seni saja, dan tidak bisa berbicara selain dari itu, misalnya secara filsafat, psikologi, politik kebangsaan dan sebagainya. Dia dapat berbicara begini, lain tidak manusia yang dihadapinya juga mempunyai perasaan baru, yang dibentuk oleh kehidupannya dan oleh cara dia menjalankannya di tengah masyarakat dan dalam waktunya yang tertentu. Dan bahwa karena inilah banyak diketemukan pada kesenian-kesenian dunia, bentuk-bentuk yang sangat berlainan.
Kita ambil beberapa contoh kesenian yang berada di tengah-tengah kita dan beberapa yang berada di sekitar kita.
Ambil wayang. Tak boleh tidak ini masuk kesenian yang tinggi. Bentuk-bentuk wayang itu berlainan dari daerah ke daerah. Tetapi tetap dia menimbulkan perasaan yang sama. Perasaan yang tak bisa ditafsirkan dengan ucapan kata, walaupun dia banyak menimbulkan perasaan yang mistik. Kita bertanya, apakah bentuknya seperti alam nyata? Apakah wayang ini tak bisa pula kita sebutkan masuk aliran realisme? Kedudukan kebenarannya, realiteitnya dalam alam perasaan senimannya bersamaan dengan alam perasaan khalayaknya. Disini mereka bersama-sama memeluk kepercayaan yang sama, dasar dari kehidupannya. Tetapi ini bukan berarti bahwa bangsa lain yang mempunyai perasaan kesenian tak sanggup merasakan keindahan wayang, mungkin perasaan mistik tidak timbul pada dia.
Ambil motif-motif kain batik. Semua diambil dari alam nyata, tapi sedikitpun tak serupa bentuknya dengan alam nyata. Karena banyak wanita yang bisa memisahkan mana kain batik yang bagus dan yang jelek. Dalam hal ini tak pernah mereka bertanya, kenapa begini-begitu kain batik itu. Suatu contoh yang jitu untuk membuktikan bahwa kesenian itu bisa diterima menurut seharusnya. Dia diterima karena indahnya. Dan kita merasa bertambah lama bertambah senang padanya.
Ambil seluruh sejarah kesenian timur. Hampir tak ada yang menurut susunan bentuk alam nyata. Tetapi apakah lukisan-lukisan itu tak dapat dimasukkan dalam realisme, sebagai tanda kebenaran dari penjelmaan alam perasaan penciptanya dan dari mereka yang hidup dalam masyarakat pencipta pada ketika itu?
Dan begitu pula banyak diketemukan pada kesenian bangsa-bangsa lain di dunia ini, bentuk-bentuk yang berlainan dari alam nyata, tetapi cukup realistis kalau dilihat hasil itu dari sudut alam pikiran bangsa-bangsa itu.
Memang bentuk-bentuk kesenian itu dalam perjalanan sejarah, untuk gampang memisah-misahkan atau membeda-bedakan diantaranya dibagi dalam golongan “isme” ini dan “isme” itu. Tetapi ini soal memberi nama. Dan melihat kemauan dari pemberian nama ini, “realisme” Jogja ini harus dimasukkan dalam aliran “naturalisme”, karena banyak mengambil bentuk alam nyata.
Pendek kata, sebenarnya bentuk kesenian itu banyak bergantung pada sikap, cara menjalankan dan kemajuan hidup dari bangsa, atau sangat banyak berhubungan dengan instruktur dari masyarakat ketika itu, baik dalam bentuk susunan nyatanya, walaupun dalam susunan alam pikiran dan perasaannya. Dan siapa diantara senimannya yang realistis dalam mencipta seninya, ialah yang betul-betul menjalankan kehidupan penuh dalam masyarakatnya, yang selalu bermotor dengan suatu cita membangun, dengan selalu memperhatikan ketumbuhan hidup dan menganggap kemungkinan-kemungkinan baru yang diakibatkan oleh kehidupan pada ketika itu. Ini sangat banyak meminta pertanggunganjawab dan pengulangan mengoreksi kedudukan diri, dengan selalu menitikberatkan tujuan ideal pada buah usaha. Ini sungguh bukan soal gampang.
Dia umumnya sangat banyak melalui jalan martelaarschap.
Bahaya yang ditimbulkan oleh seteleng ini, seperti yang kita utarakan di atas, ialah bahwa perhatian terhadap sesuatu itu sangat dipergampang dan umum sering lupa kepada pertanggunganjawab atas suatu sikap. Banyak hal yang hanya cocok dengan kedudukan diri sendiri saja, lantas pendapat itu digeneralisir harus didukung oleh orang lain. Dan bahwa ini hanya berupa kemenangan bagi kedudukan diri sendiri, dan belum tentu akan menguntungkan kemajuan tenaga-tenaga lain. Hakekat dari kemajuan hanya bisa dan boleh disodorkan kepada orang-orang lain, kalau dia berbentuk atau berdasarkan kehidupan ketika berhadapan dengan akibat-akibat dari kemajuan atau pergolakan pikiran atau bahaya yang diakibatkan oleh kehidupan. Ini umum berupa latihan dan membawa tenaga-tenaga itu untuk hidup penuh di tengah-tengah masyarakatnya. Bentuk apa yang akan dilahirkannya itu hanya bergantung pada kekuatan inteligensi tanggapannya saja. Dan ini tidak bergantung pada bentuk yang harus memenuhi syarat-syarat begini/begitu.
Soal istilah dan analisa-analisa dari kesenian, tidak akan habis-habis dibicarakan dan juga tak akan cukup karangan mengatakan mana atau apa yang dikatakan kesenian itu, apalagi pada waktu sekarang, mana yang harus dikatakan kesenian Indonesia baru itu. Waktu sekarang, dimana soal kemajuan dan kesejahteraan umat manusia menjadi perhatian dunia dan kewajiban menyelenggarakannya diserahkan kepada seluruh bangsa. Ini realisme dunia.
Begitu pula apa yang ada di alam perasaan atau haru bangsa Indonesia, itu tak akan ada orang yang bisa menyelidiki dan menganalisanya secara hebat-hebatan. Bahwa soal kesenian ini sangat sulit kelihatan, itu tak usah terlalu dipusingkan. Yang penting asal kita tahu bahwa kita ada pula mempunyai perasaan haru, dengan mana kita bisa mendapat menambah kebahagiaan hidup. Bertambah banyak kita mau memahami kehidupan ini, ini diperoleh kalau mau aktif dalam menjalankannya, akan bertambah banyak kekayaan haru kita. Begitu juga berlakunya pada seniman-seniman. Bedanya dengan khalayak, si seniman mempunyai bakat dan daya mencipta dan kepaksa harus bisa menyampaikan perasaannya dengan perantaraan seninya. Dan penyampaian ini tidak hanya berlaku untuk dilihat dalam lima-sepuluh menit saja. Maklum lukisan itu dibikin tidak hanya akan dipertunjukkan buat selama waktu itu, senimannya mengharapkan supaya dia bisa dipertontonkan buat selama-lamanya. Sangat mengherankan, seorang ahli tempo-tempo cukup dengan tak usah melihat lukisan dari seorang seniman, tetapi dia bisa banyak menulis tentang seniman itu dan keseniannya. Kita tercengang kalau seorang yang diakui ahli kesenian/kebudayaan Indonesia baru kalau melihat seteleng lukisan cukup melihatnya seperti memeriksa erewacht tentara. Sungguh membahayakan sikap congkak dan perasaan telah sampai maju jauh dalam pengertian kesenian/kebudayaan. Sikap-sikap tadi yang telah berupa anggapan seni itu mudah dan bukan lagi seni itu soal indah dan jelek dan bagaimana kedudukannya dalam kemajuan keindahan pada waktunya atau pada zamannya. Mereka tak akan mengerti bahwa kesenian itu juga merupakan sebagian sejarah dari hidup total dari bangsanya dan dari dunia.
Bagi kita ini realisme yang sebenarnya, karena dia betul-betul mengikuti jalan kesengsaraan dan kebahagiaan yang dibekaskan oleh kemajuan sekarang. Dengan pengertian ada selalu pertentangan yang diakibatkan oleh kemajuan, maka kita tak akan mengenal perhentian dan perasaan telah sampai dalam kehidupan.
Realisme dalam buah usaha hanya soal pancaran sinar dari pribadi tenaga pelahirnya saja. Dan sekali-kali bukan harus berbentuk alam nyata. Dia sedikitpun tak bisa diselimuti dengan dalil-dalil atau dengan tunjangan-tunjangan kritik yang bagus atau dengan nama-nama perkumpulan atau dengan nama ideologi. Percayalah mana diantaranya yang jujur dan bersungguh-sungguh dan bertanggungjawab, itulah yang akan menang.
Permintaan kita lain tidak supaya ahli-ahli dan khalayak sadar bahwa seteleng Jogja ini hanya berupa insiden dalam perjalanan seni lukis Indonesia dan pengakuan realisme itu hanya berupa soal benar tidaknya intern pelukis-pelukisnya dan sedikitpun tak boleh disamaratakan dengan pengambilan cara melukis. Mungkin besok pelukis-pelukis Jogja ini merubah atau pindah ke cara lain lagi (maklum pengaruh baru telah pula merasuk ke dunia harunya), dan mungkin dengan cara baru itu mereka lebih realistis.
Pada khalayak diharapkan supaya rajin berlatih, melihat lukisan, merasakan dan menjalankan pergolakan hidup sekarang (yang mau menuju ke kesejahteraan bersama), supaya dia juga bisa realistis pula nanti berhadapan dengan kesenian bangsanya.