CATATAN TENTANG PEREMPUAN DAN KESUSASTRAAN

Sumber: Siasat, No. 359, Tahun VIII, 25 April 1954, hlm 22-23.

Seperti juga kawan-kawan sejenisnya dipelbagai negeri lain di dunia ini, kaum perempuan kita hidup dalam sebuah dunia lelaki. Dalam bahasa Prancis pengertian lelaki dan manusia adalah satu, l’homme. Jadi manusia itu ialah lelaki. Dapat barangkali dimengerti jika pengarang wanita Prancis Simone de Beauvoir yang telah mengarang buku Sex Kedua mendasarkan bukunya itu pada moto yang ia dapati sendiri, Le deuxiéme sexe c’est l’Autre. Kita lanjutkan mengikuti pikiran de Beauvoir maka ia antara lain mengatakan lagi “le problem de la femme a toujours été un probléme d’homme”, karena sejumlah perempuan senantiasa ditentukan oleh kaum lelaki. Bagaimanapun pahitnya bagi kita kaum perempuan, toh kita harus mengerti mengapa Simone de Beauvoir —yang juga seorang perempuan— menyebut perempuan “seks kedua”, karena jenis yang satu ini selalu disebut sesudah jenis lelaki. Biarpun bagi kita “manusia” ialah “manusia”, dan bukan seperti dalam bahasa Prancis dimana kata “manusia” juga berarti “lelaki”, toh kita akui bahwa keadaan itu tidak ada bedanya. Dunia kita ialah dunia lelaki, sejarah kita adalah sejarah yang ditentukan oleh kaum lelaki, dan karena itu emansipasi perempuan sebenarnya ialah emansipasi lelaki. Di waktu itu Nursjamsu memulai penulisan sajak-sajaknya untuk kemudian pindah ke daerah cerita kanak-kanak. Walujati yang lemah lembut menulis sajak-sajak yang lembut dan sebuah roman yang juga lembut. Sampai kita akhirnya menjumpai seorang wanita yang bernama S. Rukiah.

Kemajuan yang dicapai oleh kaum perempuan adalah kemajuan yang dicapai oleh kaum lelaki. Dalam kesusastraan ada suatu hal yang boleh dikatakan sejajar dengan hal ini. Waktu dulu Beecher Stowe mengarang bukunya “Gubuk Paman Tom” maka ia telah mengadakan suatu pembelaan bagi orang Negro. Pembelaannya itu boleh dikatakan suatu pembelaan yang lembek dan sikapnya adalah seolah-olah sikap seorang yang minta sedekah. Tatkala kemudian pengarang Negro Richard Wright menulis bukunya “Black Boy”, sikap minta sedekah ini tidak ada lagi sama sekali. Bukannya mengemis, tapi Wright mendakwa. Hal ini bukanlah terjadi karena bangsa Negro telah menjadi kuat, tapi karena dalam kehidupan orang kulit putih telah masuk suatu kesadaran, bahwa juga orang Negro adalah manusia seperti mereka, hanya warna kulit mereka berbeda. Demikian jugalah halnya dengan perempuan. Kegarangan pada akhir-akhir kurun zaman ini kita perlihatkan, bukan karena tenaga kita telah begitu besar, tapi karena pada kaum lelaki telah timbul kesadaran, bahwa perempuan pun mempunyai kehidupan-kehidupan sendiri dan kehendak-kehendak sendiri. Dan hal ini tercapai selain berkat usaha kaum perempuan sendiri, juga karena ada seorang lelaki ahli ilmu jiwa yang bernama Freud yang mulai membukakan rahasia bahwa kita perempuan juga punya hal-hal yang tersembunyi dan punya nafsu sendiri. Sedang beberapa orang ahli ilmu hayat menyatakan, bahwa kaum lelaki memang bersifat poligami dan kita perempuan monogami, ahli ilmu jiwa Freud menyatakan bahwa keberahian kita paling sedikit sama kuatnya dengan keberahian lelaki. Segalanya ini terjadi diluar segala omong-omong tentang emansipasi. Seorang sahabat yang kenal betul undang-undang dasar kita menyatakan kepada saya, bahwa memang benar di Indonesia ini perempuan punya hak sama dengan lelaki. Ini suatu keuntungan tentu. Tapi dengan kejadian emansipasi itu seolah-olah tidak ada artinya lagi sama sekali, dan disini timbullah dengan nyata paradoks yang besar. Karena serentak dengan pengakuan persamaan itu tiba-tiba ternyata, bahwa kita memang jenis kedua. Sedangkan emansipasi mulai dengan semangat, perasaan, harapan dan barangkali sedikit rancune, ia berhenti dengan perasaan malu. Sebab-sebab akhir-akhirnya toh kita terikat pada tubuh kita sendiri, tubuh yang dalam dunia lelaki ini sering kita rasa asing.

Bicara tentang emansipasi maka kita telah menjadikan tokoh Kartini sebuah mythe. Tetapi ada baiknya jika kita bertanya sendiri, siapakah yang sebetulnya pelopor emansipasi: apakah Kartini yang pada malam-malam sunyi menulis surat-surat sentimental pada sahabatnya ataukah Tjut Meutia yang dalam kegarangan peperangan di Aceh ikut bertempur melawan musuh negerinya. Orang sering bicara tentang Tjut Meutia sebagai perempuan yang berani, tapi kalau kita tilik tidak menurut wujudnya tetapi menurut apa yang ia perbuat maka Tjut Meutia bukanlah seorang perempuan yang berani, tapi seorang pahlawan yang gagah. Zonder perkataan: perempuan. Dengan demikian Tjut Meutia sebetulnya telah terdahulu dari zamannya. Ia tidak beremansipasi, tapi faktor-faktor yang berada diluar dirinya menyebabkan ia berlaku begitu sehingga ia mengatasi kemungkinan-kemungkinannya sendiri. Kartini tinggal berkurung di rumah. Tapi ia telah berhasil memberi bentuk kepada perasaan-perasaan terpendam dalam hati wanita Indonesia mengenai kemerdekaan dengan kalimat-kalimat yang dimengerti. Dan kemudian jadikan pangkal pertolakan dari apa yang kini disebut emansipasi wanita Indonesia. Disini letak satunya jasa Kartini. Rupa-rupanya ia telah “memperoleh” apa yang ia kehendaki, atau menurut “mythe” yang kita bentuk bersama apa yang ia cita-citakan untuk bangsanya. Dan selanjutnya perempuan-perempuan kita pada bersekolah, pada pandai membaca, pada mempelajari buku aljabar, pada membaca majalah “Life” dan mengenal Max Factor dan akhir-akhirnya sekian kali dalam sebulan kita mengunjungi salon-salon kecantikan dan mengasyiki diri kita dengan memberitakan pelbagai skandal yang kita ketahui. Hanya inikah? Hak-hak yang semata mengenai lahir dan tidak menyinggung hakekat kata itu sendiri. Barangkali ada faedahnya bila kita sekarang memperhitungkan bagaimana para pengarang khususnya pengarang Indonesia menakar tokoh perempuan. Sebab jika benarlah bahwa suatu kesusastraan menggambarkan jiwa suatu masyarakat, maka kita akan bisa pula sedikit banyaknya menangkap jiwa perempuan Indonesia di dalam kesusastraan kita.

Penyair atau pengarang memberikan penghargaan yang macam-macam terhadap perempuan. Tapi pengharapan yang mereka berikan ini banyak tergantung kepada bencana oleh perempuan yang mereka telah temui dalam kehidupan mereka. Juga ahli-ahli filsafat besar seperti Kant tidak terkecuali. Bukankah dia yang mengatakan “Der Mann ist eifersüchtig,wenn er liebt; die Frau auch ohne dass sie liebt” atau dengarkan apa arti perempuan bagi seorang yang lain yang mengatakan, bahwa perempuan ialah “kekandasan Tuhan yang kedua”. Karena itu hati saya juga tidak sedih lagi apakala saya mendengar penyair Masefield mengatakan “Women were liars since the world began” atau Meredith yang mengatakan, “I expect that woman will be the last thing civilized by man”. Tapi untunglah tidak semua penyair seperti ini dan dapatlah saya puaskan hati perempuan saya pada André Breton yang menganggap perempuan “puisi” atau pada Claudel yang membisikkan “abdi Tuhan”. Mereka berikan hasil intuisi, tapi kadang-kadang hasil ini memberikan kepada kita gambaran dalam pikiran umum (kadang-kadang juga hanya dalam pikiran pengarang) tentang perempuan. Maka Marah Rusli dalam bukunya “Siti Nurbaja” memperlihatkan kepada kita bagaimana orang masa itu kira-kira menduga hati perempuan. Siti Nurbaja modern dalam zamannya. Ia telah boleh pergi ke gunung Padang untuk bermain-main dengan pemuda yang kemudian jadi kekasihnya. Tetapi sesuai dengan kehendak-kehendak jiwa yang romantis maka Siti Nurbaja tidak dapat kesempatan untuk kawin karena ia mati diracun Datuk Maringgih. Siti Nurbaja kenal perasaan orang bercinta, dan Marah Rusli memperlihatkan itu. Tapi bagaimanapun juga cara Siti Nurbaja merasa, bercinta dan mengukur terjadi menurut sesuatu tuangan yang tertentu. Dalam zaman yang begini cepat masa penerbitan Siti Nurbaja rasanya telah lama lampau. Tapi jika kita bandingkan “tuangan” yang terdapat pada Siti Nurbaja dengan tuangan yang ada pada kita, apa banyakkah bedanya. Saya takut, saya harus menjawab ini dengan tidak. Memang muka telah banyak berubah dan bedak juga mereknya banyak yang lain, tapi selebihnya kita tiada jauh beranjak dari tempat kita semula. Penukaran kulit ini barangkali hanya karena dalam masa dalam kesusastraan Indonesia —dalam buku “Salah Asuhan” karangan Abdul Muis— perempuan Indonesia tiba-tiba tidak lagi mempunyai syarat, dan sebagai barang-barang yang sudah ditinggalkan mode kita berusaha menyeret diri sampai baru kembali. Hal ini berlangsung sampai kepada “Lajar Terkembang” kepunyaan Takdir Alisjahbana. Armijn Pane kemudian memberikan kebebasan, tapi toh ia tidak tahu benar apa yang sebetulnya ia mau mulai lakukan dengan perempuan yang ia gambarkan ini. Sebagai penutup, rombongan kita sampai pada Achdiat Karta Mihardja yang mengarang “Atheis”. Bagi pengarang ini seorang perempuan ialah, semacam mahluk yang berkain dan yang sekali-kali terbuka kainnya sehingga kelihatan betisnya yang putih. Pengarang-pengarang perempuan Indonesia sebelum perang seperti Selasih misalnya juga memberikan gambaran yang tak banyak berbeda dari gambaran yang diberikan pengarang-pengarang lelaki. Kita tentu tidak boleh lupa kepada buku “Andang Teruna” karangan S. Djauhar Arifin. Gadis yang ada dalam buku ini yang mau mencium kekasihnya di stasiun saya kira adalah salah seorang cucu atau anak dari perempuan Indonesia yang tak memenuhi syarat lagi dalam buku “Salah Asuhan”.

Dalam zaman Jepang kita perempuan sama-sama berjual kain jelamprang dan merasa dunia kita makin menyempit. S. Rukiah di kanan-kiri menghadapi konflik dengan kenyataan, dan dari pengarang perempuan ini telah lahir sebuah roman kecil yang bernama “Kedjatuhan dan Hati” (Penerbitan Pustaka Rakjat). Berbeda dengan pengarang-pengarang wanita lain yang lebih lagi pengarang atau penyair dari pada perempuan, maka Rukiah lebih lagi perempuan dari pengarang dalam buku ini. Ia telah menulis bukunya dalam bentuk sebuah pengakuan, pengakuan dari kekandasannya sendiri, dari cinta perempuan yang tidak mau mengenal lain dari kekasihnya.

Dalam pengakuannya ia tetap tegak sendiri, lepas dari suasana yang ada di sekelilingnya dan semuanya ia kemukakan dalam suatu suasana yang puitis. Beberapa bagian dari karangannya mengingatkan kita kepada sebuah mimpi. Sekiranya kita tidak diganggu oleh beberapa tembakan yang bulus seperti kalimat: “Baik kita belajar praktis di dalam romantik kita” dan penjelujuran beberapa kata-kata Belanda yang mengeluar dari nada tulisan Rukiah sendiri atau beberapa lambang yang dipakai terlalu berlebihan —seperti kata “merah”— maka dapatlah dikatakan buku ini sangat bening, jujur, dan adalah ia sesuatu hasil tangan perempuan yang memperlihatkan kejadian besar yang berlangsung dalam dadanya yang sempit, dalam tubuhnya yang bagi perempuan itu sendiri suatu kediaman asing. Tema Rukiah sangat bersahaja. Seorang gadis dalam hatinya mula-mula berjanji akan kawin dengan orang yang berada (karena pengaruh ibunya), tetapi kemudian lagi berjanji dalam hatinya, bahwa ia tiada akan kawin jika tiada dengan percintaan. Ia coba yang kedua, disini ia bertumbuk dengan kenyataan yang keras dan dengan jiwa lelaki yang dikuasainya oleh pikiran dan perhitungan. Ia suci dalam percintaannya dan baginya percintaan ini adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi. Waktu ia merasa bahwa penghargaannya ini tidak disertai orang lain, ia berkata: “Semua bagiku tak ada yang berarti. Revolusi, gerilya nasionalis, Sukarno, komunis, penjara, apa itu buatku selain dari janji kita habis, dan hari pertemuan kita dikhianati dan dihancurkan? Aku benci.” Ia katakan semua dengan berani dan dengan tiada tenggang-tenggang dan dengan kebebasan jiwa emansipasi dalam hakekatnya? Jawaban saya kembalikan kepada yang membaca. Gadis ini kemudian kawin dengan seorang saudagar (janjinya yang pertama), karena saudagar ini sangat baik hati. Ia beroleh seorang anak. Tapi anak ini adalah anak kekasihnya yang pertama. Dengan demikian ditanggungnyalah keberatan kedua, karena untuk selama-lamanya ia harus menipu suaminya yang baik. Pada suatu hari kekasihnya kembali dan melihat bahwa anak itu adalah anaknya. Tetapi kekasihnya ini tidak lagi mau menerimanya, karena itu ia cium budak kecil itu di atas mulutnya dan ia pergi. “Aku dukung anakku, kesayanganku, penggantinya. Aku lari, ke rumah, ke kamar, dan kupeluk ia di tempat tidurku, serta kutekankan bibirnya ke bibirku bekas bibir yang tadi, dengan tangisan tersedu-sedu.” S. Rukiah telah membukakan suatu dunia yang tersembunyi dan akhirnya ia sebagai perempuan menganggukkan kebenaran yang sebelum itu telah dibukakan di negeri lain. Apakah ini emansipasi?

“Kedjatuhan dan Hati” ini adalah hasil kesusastraan Indonesia yang telah menggambarkan dengan lincah kehidupan yang terdapat dalam diri seorang perempuan. Banyak sedikitnya ia telah menolong kita untuk menyatakan sampai kemana perempuan Indonesia sekarang.