Sumber: Indonesia, No. 2, Tahun II, Februari 1950, hlm 67-76.
Kesenian adalah soal yang subtil, batas-batasnya sangat tak jelas, karena banyak pengertian-pengertian yang tak bisa diterangkan dengan jelas. Tak bisa diterjemahkan dengan kata-kata setepat-tepatnya secara eksak paling banyak cuma bisa mendekati saja sedekat-dekatnya. Faktor lain lagi ialah barangkali bahasa Indonesia sendiri, yang dewasa tengah dalam pembentukan menjadi bahasa kebudayaan. Untuk membicarakan suatu masalah, pengertian masalah itulah yang menjadi tujuan terpenting, kalimat-kalimat hanya sebagai syarat saja, sebagai kendaraan, untuk sampai pada inti hakekat masalah yaitu tujuan tadi.
Tiap orang berpendapat, kesenian itu soal perasaan, sesuatu yang berkenaan dengan perasaan jiwa manusia. Masalah ilmu perasaan dalam segala gerak-gerik hidup. Kesenian ialah satu sikap, satu hasrat yang minta penyaluran, jadi satu aktivitas subyektif terhadap objeknya. Jadi kesenian bukan mencari kebenaran seperti halnya mencari kebenaran mengupas menyelidiki suatu masalah, bukan juga kebenaran seperti sumpah suatu perjuangan, bukan khotbah tentang perikemanusiaan atau tata-tertib kesusilaan. Seni bukan kebenaran menurut keadaan nyata, seperti terlihat di alam keliling. Seni bukan kebenaran menurut logika ilmu pengetahuan eksak. Kesenian mempunyai dunia sendiri, dunia emosi, dan dalam tiap-tiap pernyataannya mengemukakan hukum-hukumnya sendiri. Dasarnya adalah kebenaran emosi, dan tujuan mencari kebahagiaan estetika. Dalam dunia kesenian kebahagiaan estetika itu menjadi cita kesusilaan. Walaupun kesenian itu tak mempunyai batas-batasnya, serta pula sifatnya banyak dalam corak dan ragamnya (veelheid in vormen), namun kesenian mempunyai kesatuannya dalam kebanyakannya (eenheid in haar veelheid).
Aktivitas kesenian mendapatkan sumbernya berkenaan dengan perasaan hidup manusia yang senantiasa bergelora mencari penyaluran. Rasa kesenian terjadi karena perasaan hidup manusia tergerak, akibat psikologis, takjub tatkala suatu kejadian yang tertentu. Kejadian ini merupakan detik persentuhan yang menimbulkan aktivitas. Detik persentuhan ini bisa berupa suatu kejadian: “hebat seru”, “lemah-gemulai” atau sesuatu yang “tragis”, kejadian luar biasa, tapi juga kejadian biasa sehari-hari. Aktivitas yang menimbul ini ditentukan oleh perwatakan pribadi (temperamen) dan juga oleh berbagai kejadian di sekitarnya. Perasaan hidup yang terkena pada seniman bisa mengakibatkan penimbulan ide (produkt) sebagai lanjutan perjalanan aktivitas perasaan hidup. Dengan terjadinya ide ini, sesungguhnya kesenian telah tercipta, hakekat kesenian dalam bentuk konsepsi, ide tadi ialah kesenian, walaupun masih dalam angan-angan masih abstrak, belum ada perbentukannya sebagai bukti. Tinggal lagi sekarang memberi perwujudan, agar tampak sebagai kenyataan (manifesteren).
Pada seniman-seniman intelek semua kejadian ini dialami dengan penuh kesadaran. Dalam hasrat pernyataan emosinya, tiap-tiap garis, tiap-tiap warna diletakkan dengan kesadaran akan kemerdekaan dan pertanggunganjawab yang penuh, dalam membawakan kebenaran emosi ke cita estetika. Tiada barang sesuatu yang ditempelkan begitu saja, dengan tiada alasan. Tiada satu hal yang diadakan dengan tidak ada hubungan soal. Tiap-tiap bagian (detail) mempunyai fungsi dikesatuannya.
Lain lagi halnya pada kesenian dari suku-suku bangsa liar (natuurvolk). Pada bangsa ini semua terjadi dengan tiada sadarkan diri. Semua berlaku secara “dengan sendiri”. Semua berlaku dengan dipimpin oleh aktivitas jiwa yang berada dalam ekstase. Sifat kesenian semacam ini terdapat juga pada kesenian anak-anak. Satu perbentukan kesenian seaslli-aslinya (oerkunst uitingan van den mens).
Kalau kita bicara tentang kesenian, kita menginjak satu segi kehidupan, menginjak lapangan tersendiri, dimana perasaan hidup manusia menjadi gaya kehidupannya, dimana nilai cita susila dipancarkan dalam keindahan perbentukan. Paham “seni untuk seni” memandang kesenian dari sudut kesenian, kesenian sebagai tujuan hidup. Keindahannya adalah keindahan kesenian, tidak keindahan dari sudut prestasi manusia. Paham ini menentukan harga kesenian dari nilai keindahan sebagai kesenian. Indah atau tidak. Kebenaran ini kebenaran emosi (isi) —sampai dimanakah kebenaran emosi— dan kecakapan mempergunakan bahan —perkataan, bunyi-bunyian, warna— untuk alat pemberi perbentukan (teknik). Paham seni untuk seni berpandangan pada aktivitas penciptaan semata-mata, tidak ada pertimbangan untuk mengacuhkan adakah gunanya bagi manusia umumnya. Paham ini sama kedudukannya kalau dibandingkan dengan paham “ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan”. Paham ini dapat diringkaskan jadi satu perkataan pengertian “intelektualisme”. Paham seperti kedua tersebut tadi mendapat tantangan. Harganya disangsikan dengan pertanyaan: Apakah keuntungan yang diperdapat dari paham “seni untuk seni”? Apakah gunanya kesenian itu dalam arti kata yang praktis untuk suatu keperluan. Dalam pada itu mereka berhaluan paham lain lagi “seni tidak untuk seni” —seni untuk masyarakat, seni untuk Revolusi, seni untuk perikemanusiaan— kesenian tidak menjadi tujuan. Kesenian untuk mencapai sesuatu maksud. Paham ini menyalurkan kesenian kepada kegunaan untuk manusia.
Kedua paham ini mempunyai segi bahayanya (ontaarding). Paham seni untuk seni kalau diruncingkan lagi akan hilang dasarnya, menjadi kabur dan hilang sifat kemanusiaannya. Jadi bergantung diawang-awang dengan tiada gantungan. Hilang pula sikap manusia sebagai manusia. Sebaliknya paham kedua kalau diruncingkan hakekat kesenian terancam oleh pengabaian karena pengajaran suatu maksud. Akan hilang hakekat seninya dan menjadi sesuatu yang bukan kesenian. Kedua paham ini merupakan dua garis perbatasan yang pararel jalannya, diantara mana kesenian sehat seharusnya tercipta.
Sampailah kita pada pertanyaan: “Apakah artinya kesenian untuk umum, atau dimana mulai kesenian untuk umum?”
Perasaan seni adalah suatu daya fitri dari suatu tabiat (eigenschap) sama fitrinya dengan orang suka ketawa karena suatu kelucuan, atau menangis oleh hal-hal kesedihan. Perasaan seni adalah pembawaan yang diberikan alam bagi manusia pada kelahirannya. Rasa seni itu kecuali suatu tabiat yang mempunyai perasaan hidup yang halus sekali, sehingga bisa menangkap segala sesuatu yang indah, dalam arti kata kehebatan, atau tragis, dramatik, gracieus, dan lain-lain sebagainya, adalah suatu pembawaan yang rentan (vatbaar) untuk dikembangkan, ditinggikan menjadi sifat-sifat manusia berkemampuan.
Fungsi kesenian menentang kehidupan mendengar —kehidupan hanya untuk makan dan tidur— untuk sang seniman maupun untuk masyarakatnya. Pekerjaan seni memberi dorongan untuk menumbuhkan serta mengembangkan cita-cita kemampuan dan kemerdekaan manusia, dan berarti juga mempertinggi martabatnya. Serta pula membawakan prestasi manusia ke tingkatan peradaban lebih tinggi lagi dan lebih tinggi lagi. Untuk pekerjaan itu kesenian mendapat panggilannya dan dipekerjaan indah itulah terletak harga kesenian pada umumnya.
Mereka, para ahli kesenian, kritikus kesenian, dengan tinjauan yang seobyektif-obyektifnya serta menyampingkan semua kesukaan seseorang (persoonlijk voorkeur) dengan penyelidikan dan pengetahuan sedalam-dalamnya tentang objek, umum berpendapat, kebagusan suatu buah kesenian kalau berhasil pernyataannya. Artinya cukup mempunyai kecakapan dalam mempergunakan bahan-bahan untuk cita emosinya, perbentukan setepat-tepatnya. Pun nilai kebenaran emosi mempunyai kedudukan menentukan. Keindahannya tidak ditentukan oleh suatu aliran ini atau aliran itu, bukan ditentukan oleh suatu isme tertentu, bukan karena kesenian suatu zaman. Tiap-tiap buah kesenian mempunyai perwatakan sendiri, mempunyai cita keindahan sendiri, dan mempunyai aktivitas sendiri. Sesungguhnya kesenian itu pancaran jiwa si pencipta, yang memancarkan zaman dan masyarakatnya. Karenanya watak-watak kepribadian yang terdapat pada pencipta tentu terpancar pada keseniannya. Adalah suatu kenyataan yang mengherankan, bahwa seniman yang berjiwa besar, terbayang kebesaran jiwanya dalam buah ciptaannya. Begitu juga seniman yang berpribadi atau yang mempunyai tabiat-tabiat khusus lain. Sebaliknya orang lain yang tak mempunyai kebebasan jiwa, tidak akan menciptakan sesuatu yang indah. Demikian juga halnya pada jiwa budak. Jadi sebetulnya soal kesenian adalah soal senimannya sendiri, soal individu. Kesenian yang berharga diciptakan oleh seniman besar. Mereka ini adalah “pencari” dan “pendukung” dari cita kebesaran keindahan perasaan hidup bangsanya.
Kekacauan atau kepalsuan emosi terdapat pada kesenian yang dibikin-bikin, kesenian dekaden, kesenian dilettan, tak kenal kebebasan, tiada pendirian dan tak bertanggung jawab. Kebenaran emosi yang masih samar menandakan bahwa sang pribadi masih dalam perbentukan diri, belum cukup mempunyai kesadaran akan perasaan jiwa sendiri. Pribadi masih berada dalam tingkatan permulaan perjalanan, kalau ternyata masih mempunyai tenaga pertumbuhan. Atau cuma sampai disitu dan berhenti.
Seni hanya bisa didekati, bisa disentuh dengan perasaan hidup. Kehebatan atau keindahan suatu kesenian hanya bisa ditangkap oleh kebebasan jiwa daripada berbagai purbasangka dan kompleks, menghilangkan perasaan subyektif, yang terlalu mengganggu dalam menentukan nilai, memakai perasaan, inteligensi (bukan intelek) dalam mencoba menyelami hakekat. Hasilnya sekarang tergantung lagi dari pengalaman serta ketajaman menangkap.
Demikian dalam pada itu kita tinggalkan saja jalan yang ditempuh oleh kritikus seperti tersebut tadi.
Asal mula dari seni rupa hilang dalam kabut sejarah purba. Pernyataan kesenian yang paling tua (oer) terdapat pada suku-suku bangsa liar (natuurvolk) tersebar di seluruh dunia, dimana mereka hidup. Macam pernyataan kesenian pada suku-suku bangsa ini, yang masih hidup di tengah-tengah rimba di Amerika, Afrika, Asia, dan Australia, termasuk pernyataan kesenian manusia semula (oerkunstmanifestatie van het mensdom). Bentuk kesenian ini kita anggap sebagai aksioma, sebagai anak tangga tingkatan pertama, di atas mana tingkatan perjalanan perkembangan selanjutnya berada. Dengan demikian, kita kenal dalam sejarah kesenian, berbagai-bagai pertumbuhan yang terbagi menjadi periode, yaitu periode sesudah kesenian primitif dari suku bangsa liar.
Periode Zaman Kuno: Kenian Egypte, diteruskan oleh kesenian Hellena dan kemudian diteruskan oleh kesenian Romawi.
Periode Zaman Pertengahan: Dengan surat-suratnya: Kesenian primitif, Romani, Gothik.
Periode Zaman Baru: Kesenian naturalis-sentimentil, Klasisisme, Romantik, Impresionisme.
Periode Zaman Sekarang: Aliran Neo-Impresionisme, Ekspresionisme, monumental, Zakelijkheid baru.
Demikian tersebut catatan ringkas sejarah perkembangan kesenian berturut-turut dan berpindah-pindah tempat di Eropa. Dalam sejarah, berbagai aliran (geestestromingen, gevoelensstromingen) yang tersebut tadi merupakan gelombang arus, yang mendatang dan berlalu, pasang dan surut, ganti-berganti. Satu aliran mempunyai waktu berlaku sendiri. Zaman klasik disusul dengan datangnya gelombang Romantik. Periode ini umumnya mempunyai suatu perjalanan pertumbuhan tertentu: tanda-tanda datangnya, periode kelahiran, pembentukan diri, berkembang, surut, dan kemudian kelenyapan. Aliran perlarasan senantiasa ganti-berganti, kesenian terus hidup, dalam arti kata senantiasa berubah-ubah corak, menurut bakat alam perasaan dan pikiran serta masyarakat. Tingkatan tertinggi dari proses suatu periode adalah sebagai puncak prestasinya, puncak nilai periode dan juga sekalian sebagai tanda-tanda akan kesurutannya, dan akan lenyap kembali dalam sejarah. Gelombang yang kemudian datang didukung oleh satu angkatan yang telah jemu, mual dengan arus jiwa (geestesstroming) atau semangat yang sudah terlalu lama dianut orang sebagai cita penghidupan. Angkatan kemudian sudah sebal dengan tradisi-tradisi usang yang tidak lagi memberi dorongan menggerakkan perasaan hidup jiwanya. Angkatan mencari angin baru. Udara baru untuk mendapatkan kebesaran hidup kembali. Sejarah berlaku terus. Gelombang hidup baru menumbangkan gelombang tradisi lama. Tradisionalisme senantiasa ditentang, didesak dan ditumbangkan oleh progressivisme.
Sampai kita pada pertimbangan untuk menentukan arti dua pelukis: Raden Saleh dan Raden Abdullah. Kedua pelukis yang hanya tinggal namanya saja, pelukis di zaman penjajahan Belanda. Ia mempunyai cukup prestasi dalam dunia seni lukis. Apa lagi yang tersebut pertama, bahkan lebih dari cukup. Ciptaannya cukup memancarkan jiwa pribadi serta zamannya. Ia mempunyai bakat dan kecakapan untuk mendukung cita keindahan hidup. Ia dapat mengembangkan diri, sehingga dapat mencapai tingkatan yang agak lumayan dalam seni lukis. Tapi karena keadilan masyarakat keliling terlalu gelap, atau bagaikan tanaman tidak mendapatkan tanah yang mendapat sinar matahari, maka ia adalah sebagai pelita yang mau hidup, tak mau mati karena hembusan angin. Ia sebagian besar adalah hasil dari zaman “Pra Indonesia”, seniman dari zaman itu. Bedanya dengan seniman angkatan sekarang ialah: seniman angkatan sekarang mempunyai kebesaran dan tanggung jawab tentang kesatuan bangsanya yang senasib sepenanggungan (kesadaran nasional), kesadaran mana tak terdapat pada kedua pelukis tersebut di atas.
Soal ini sama halnya seperti dalam soal kesadaran nasional. Kesadaran nasional mempunyai pandangan ketatanegaraan modern, mempunyai pandangan hidup luas, serba pernyataan modern. Pendukung-pendukung seni lukis dari satu generasi sekarang ini pada umumnya mempunyai pandangan hidup, visi, serta pernyataan modern, mempunyai tanggung jawab dalam kesadaran kenasionalan. Yang nyata saja mereka memakai cara-cara perbentukan internasional, seperti halnya pada cara perbentukan dipakai oleh bangsa-bangsa yang telah modern. Tentang emosi seni lukis Indonesia tidak dapat disangkal kebenarannya, tentang ini lebih gampang dibuktikan dengan perasaan para ahli, daripada dibuktikan dengan kata-kata. Orang tidak dapat mengertikan. Orang hanya dapat merasakan kebenarannya. Perkataan yang sekiranya dapat diketemukan ialah: aktivitas tentang pencipta harus berlaku dengan fitri serta daya pendorong sebagai akibat perwatakan. Kebenaran emosi seni lukis Indonesia adalah keadaan jiwa yang sesungguhnya
Seni lukis Indonesia tidak mengkopi seni lukis Barat. Tradisi kesenian Eropa banyak mempengaruhi pembentukan cara-cara yang kini menjadi cara-cara internasional. Sebaliknya lagi cara-cara Eropa banyak juga terpengaruh oleh cara-cara bukan Eropa, yaitu cara-cara dari suku bangsa berwarna (Tiongkok, Jepang, Mesir, Negro, bangsa Asia Kecil, dan lain-lain). Jadi tuduhan bahwa cara internasional sekarang ini sesungguhnya adalah cara-cara Barat tidak beralasan. Memang seni lukis Eropa banyak pengaruhnya. Tidak hanya pada seni lukis Indonesia saja, tetapi juga seni lukis negeri-negeri bukan Eropa lainnya. Soal pengaruh mempengaruhi dalam kebudayaan adalah keadaan yang biasa, tidak apa-apa. Sebab prinsip kesenian seperti sudah tersebut di atas: kebenaran seni dijamin oleh kebenaran emosi. Kalau kebenaran emosi meningkat menjadi ide, terciptalah kesenian. Hakekat kesenian telah ada. Pertanyaan timbul, pertama: adakah kebenaran emosi, dan pertanyaan kedua: adakah kebenaran emosi tadi meningkat menjadi ide dalam jiwa Indonesia? Ini semua ada pada seni lukis Indonesia modern. Tinggal lagi soal manifestasi, agar tampak dalam perbentukan yang nyata. Dalam perbentukan kita banyak memakai cara-cara yang lazim dipakai oleh pelukis sedunia. Ini soal sekunder yang tidak mengenai hakekat seni. Sampailah kita ke kesimpulan tersebut di atas tadi, pada visi kita tentang seni lukis Indonesia.
Kalau kita berpaling ke muka, kita dihadapkan dengan seni lukis dunia. Dalam gelanggangnya hanya mereka yang serba berkelebihan (uitblinkers) yang dapat turut. Mereka yang mempunyai kelebihan kesadaran serta pertanggung jawab dan bakat dalam perasaan hidup manusia Indonesia dan kebudayaannya.
Solo, Januari 1950