MASA NINA BOBOK SUDAH LEWAT, “NINA BANGKIT” YANG BERLAKU

Sumber: Bintang Timur, Kamis 9 Oktober 1958, hlm III.

Lagu-lagu lama dan alam Indonesia baru berlainan seperti siang dan malam. Semangatnya baru, mental baru, intonasi baru, cita-citanya, tekadnya baru. Kalau tadinya nama lagu: Asmara Meraju, sekarang: Sorak-Sorak Bergembira; tadinya: Sungai Serayu, sekarang Satu Nusa, Satu Bangsa; tadinya: Kampung Nan Djauh Dimata, sekarang: Rebut, Rebut Irian Barat; tadinya: Sehidup, Semati, sekarang: Pemuda Siap Panggul Senjata! dan lain-lain sebagainya.

Tadinya banyak lagu-lagu nelayan, buruh dok dan kapal, lagu prajurit, lagu upacara. Masing-masing dalam masyarakat disukai menurut lapisan masyarakatnya. Menurut selera masing-masing, kepentingannya masing-masing. Sesudah Revolusi, lagu-lagu menerjemahkan alam rasa dan cita-cita seluruh bangsa, yaitu cita-cita untuk bebas merdeka dan makmur bersama. Tidak lagi tertinggal pada alam rasa orang seorang tentang nasib rayuan sukma! Semasa penjajahan, lagu-lagu menerjemahkan keindahan alam, diciptakan oleh perseorangan sebagai ideal-ideal atau impian. Cuma satu-satu ada terdapat bertekad pejuang, patriot mau melepaskan belenggu penjajahan, Belanda maupun Jepang. Disinilah tempatnya lagu-lagu Supratman senafas dengan kebangkitan, berseru merdeka! Akhir masa Jepang mulai menunjukkan kesadaran, corak sifat serta isi yang berlainan dari yang sebelumnya. Lagu-lagu yang menempatkan diri pengarangnya dalam alam rasa kebangsaan, alam rasa memperjuangkan kemerdekaan bangsa, seperti heroisme dalam lagu Pembela Tanah Air oleh Cornel Simandjuntak. Seolah pertanda akan tercipta tradisi musik bergaya baru, mempersiapkan masa merdeka, menempuh kancah Revolusi.

Tuntutan Zaman Baru

Masa Revolusi sesudah proklamasi tahun ’45 mempunyai tuntutan, menagih lagu yang lain sifat isinya, lagu baru yang tekadnya baru, bentuknya baru, sanggup mendukung pengalaman baru orang seorang. Menuntut lagu yang tadinya belum ada. Cornel Simandjuntak dan L. Manik dianggap perintis, pendiri gaya bangsa merdeka. Merekalah yang pertama melahirkan lagu yang mengesan tentang tanah air yang satu, wajib digalang agar tetap kekal, merdeka, adil, dan makmur. Juga lagu cinta Pertemuan Bahagia, berpokok kepada syair buatan Sanusi Pane, Usmar Ismail, dan lain penyair patriot bangsa. Lagu-lagu itu disenangi orang di dalam dan di luar negeri. Sorak-Sorak Bergembira; Satu Nusa, Satu Bangsa; Halo, Halo Bandung!; Tanah Airku Indonesia. Alam pikiran lagu itu mencerminkan sikap percaya diri. Kepentingan orang seorang tiada terpisahkan lagi dari nasib seluruh bangsa, nasib umum seluruh masyarakat. Dan sebaliknya nasib bangsa menjamin terpelihara nasib pribadi, kepentingan orang seorang. Memperjuangkan nasib baiknya bangsa, nasib baik untuk tiap warga Indonesia. Perasaan pribadi terasa dekat, tiada terpisahkan dari lukisan hidup nusantara. Mendukung perasaan yang luas dan besar. Tekadnya antara warga dan negaranya, malahan antara diri dalam hubungan masyarakat dunia, semua umat manusia; antara rakyat dan perikemanusiaan dalam masyarakat makmur, adil, dan damai.

Kepercayaan dan Optimisme

Seruang yang terkandung dalam lagu-lagu baru itu ialah kepercayaan akan kemenangan kekuatan-kekuatan baik dalam hidup, menumpas maut, mengutuk kemusnahan dan keruntuhan mempertahankan peradaban. Isi lagu itu mengungkapkan pikiran-pikiran maju yang hidup di dalam masyarakat baru, Masalah hidup dan manusia. Orang tiada lagi memencil, tetapi merasa diri anggota tim nasional dan universal. Tidak pesimis lagi seperti dulu, tetapi optimisme hidup bernegara, dan tuan rumah dalam negara dan sejarah bangsa. Cita-cita yang nyata di hadapan mata, heroisme kepercayaan masa depan yang besar, memperjuangkan hidup untuk lebih berbahagia. Dan untuk itu siap mempertaruhkan raga dan jiwa.

Tadinya dalam nada minor sekitar ratapan hati “jauh dimata”, duka nasib di perantauan, jauh dari kampung halaman. Urat akarnya nostalgia, rindu akan buaian klan sanak saudara dalam lingkungan yang sempit, hyper individualistist. Kini dalam alam merdeka, telah bangkit dengan tanggung jawab patriot bangsa nusantara. Berbeda jadinya seperti siang dan malam buta.

Berabad-abad bangsa Indonesia dalam sengsara dan derita tekanan jiwa akibat penjajahan Belanda dan Jepang, mencegah tumbuhnya pribadi murni, tiada toleransi melihat hasrat patriot, malahan melihatnya sebagai momok yang satu saat pasti menamatkan sejarah kolonial dan fasis Jepang. Kebangkitan nasional pasti mengakhiri kedudukannya yang dipertuan besar sedangkan rakyat melarat dan minggir-minggir. Lagu-lagu baru itu senantiasa lukisan pejuang yang sanggup mengatasi penderitaan pribadi, asal tergalang kemerdekaan, membela proklamasi tahun 1945. Tidak lagi yang melukiskan hanya cinta sejati dan janji setia teguh berdua. Tidak lagi yang beriba-iba hati, tetapi optimis dan serius. Lagu-lagu yang baik dilahirkan oleh profesional komponis yang berpribadi teguh, jujur, dan teknologis pandai. Kecintaan sungguh-sungguh si komponis, membuat lagunya tahan uji. Banyak ragam corak isinya, memelopori kekayaan tradisi musik Indonesia merdeka.

Pribadi Indonesia

Inilah patron yang terpenting dalam perkembangan musik di Indonesia; kecintaan kepada alam tanah air dan rakyat Indonesia, kecintaan kepada kemerdekaan pribadi yang bebas, kecintaan kepada hidup, percaya diri akan kejayaan masa depan rakyat Indonesia. Tradisi daerah lagu pribumi, guru terbaik bagi kader komponis baru dengan teknologisnya yang diperolehnya dari peradaban dunia, baik itu Bach, Debussy, atau Howard Hanson, Virgil Thomson, William Schuman atau Aaron Copland, Aram Khachaturian atau Carl Orff. Pribadi Indonesia memperkaya dirinya dengan pengalaman dari dalam dan luar Indonesia, demi kekinian dan masa depan bangsanya. Teknologi dunia diperolehnya dalam Sekolah Musik dan Conservatorio. Tetapi tugas yang utama baginya ialah menjelmakan kekayaan pribadi Indonesia dibidang musik dari kehidupan Indonesia yang cinta damai dan bersahabat; dengan semua bangsa dibawah kolong langit ini. Baginya bukan soal Barat dan Timur, notasi dan instrumentarium. Semua ini dikuasai melalui massalisasi, sosialisasi, musik dalam masyarakat, maupun profesionalisasi mutu dan nilai yang dipersiapkan Conservatorio Indonesia. Jiwanya tetap berdiri megah sebagai pribadi nasionalnya dalam pergaulan luas antara bangsa-bangsa. Hanya satu musuhnya, yaitu kolonialisme. Musuh besar yang akan ditumpasnya sampai hilang dari muka bumi Indonesia, sekarang dan besok. Sebab dalam kolonialisme tak ada tempat bagi pribadi kreatif nasional. Dalam kolonialisme, Indonesia tak boleh mempunyai muka dan wajah sendiri. Masa nina bobo sudah lewat. Nina bangkit yang berlaku. Dan dalam kemerdekaan ini komponis Indonesia ambil peranan, peranan tokoh patriot bangsa.