Sumber: Budaya, No. 6/7/8, Tahun X, Juni-Agustus 1961, hlm. 235-238.
Film, sebagai medium kesenian yang paling langsung menyampaikan pesannya kepada publik mengalami perkembangan yang agak seret di negeri kita, yang timbul oleh berbagai sebab. Sebenarnya film merupakan medium yang paling langsung sekali, sehingga tiap-tiap feet pita film yang tampak di layar, langsung pula memberikan respons dari publik penontonnya, yang bagi penonton-penonton film kita respons itu memberikan corak yang tegas berupa sinisme.
Sebutan ‘film Indonesia’, seakan-akan telah sekaligus membawa jawaban yang kurang serius dari si penyebutnya dengan nada yang kurang menyenangkan pula bagi telinga pembuat-pembuat film.
Kritik film makin hari makin bertukar coraknya pula, dan paling belakang ada tanda-tanda tidak adanya kritik film. Resensi-resensi film menukar gayanya ke arah semangat yang janggal sekali, sehingga penulis-penulis resensi film Indonesia di hari-hari akhir ini menukar bajunya, seakan-akan mereka menjadi kolportir atau agen tetap dari perusahaan film. Maksud yang dikandung semula barangkali baik, agar publik kita lebih menyukai film-film nasional dari film-film impor. Agar film-film nasional kita mendapat pasaran penonton yang luas biarpun tidak sekaligus mengharapkan akan menempati box office. Hal ini dari satu segi saja mungkin dapat diterima, tapi segi lain telah dipilih oleh kalangan publik penonton kita yang sudah kritis dan tidak bodoh lagi, tanpa menukar bajunya. Kalangan penonton ini masih memakai baju yang sama: Mereka adalah bangsa Indonesia yang ingin melihat film nasionalnya mempunyai nilai yang tinggi, baik dari segi teknik maupun artistiknya.
Sebutan ‘film nasional’ juga menjadi ejekan dari kalangan yang mempunyai hak respons ini. Mereka, baik secara obyektif dan dengan inteligensinya yang tajam ataupun mereka yang berukuran subyektif dengan segala keprimitifannya, menghubungkan perkataan ‘nasional’ dengan ‘kepribadian bangsa’. Bahkan, mereka ini sadar atau tidak sadar, jauh lebih kritis lagi dengan penilaian “kepribadian bangsa” itu: Mereka menilai manusia-manusia Indonesia yang terlihat di layar putih itu bukan saja yang tampak lahiriah, tapi juga satu sudut dalamnya: yaitu manusia Indonesia yang bagaimana cara berpikirnya lengkap dengan perasaannya. Kelanjutan dari hal itu ialah, bahwa mereka menuntut di layar putih itu suatu gambaran manusia Indonesia yang sewajarnya.
Hal ini semuanya sebenarnya dapat dipahami kalau diingat pula daya imajinasi manusia merdeka dan manusia di alam penjajahan kolonial sudah sangat jauh berbeda, sehingga selayaknya pula tuntutan mereka ini dapat lebih disaring lagi dari segi-segi positifnya.
Seperti kita tidak dapat membenarkan seluruh aspek-aspek yang dikatakan mereka itu, sebaliknya juga kita tak dapat menolak sama sekali ciri-ciri yang benar daripadanya.
Penonton tidak tahu atau tidak mau tahu, umpamanya, bahwa untuk membuat sebuah film bukan saja diperlukan bintang-bintang film. Segi-segi material berupa bahan baku yang kedengarannya sukar didapat sejak akhir-akhir tahun 1960 yang lalu dan awal tahun ini, sama sekali sukar bagi pembuat film sebagai alasan kepada publik: Bahwa film kita dikerjakan dengan alat-alat teknis yang sangat sederhana, bahwa film kita kebanyakan dikerjakan oleh tenaga-tenaga tua yang sudah pantas pensiun. Pensiun dalam cara berpikir dan daya kreatif dalam menghasilkan karya, dan pensiun juga dalam pengertian umur yang sudah lanjut karena sudah linglung atau pikun. Hanya sedikit dari perusahaan film memberikan tempat pada tenaga-tenaga muda. Dan ada pula yang dengan perhitungan bahwa tenaga-tenaga yang bersemangat itu bisa dibayar murah. Kesemuanya ini terjadi jauh diluar jangkauan mata si penonton film.
Kesulitan bahan baku, misalnya, tidak memberi jalan lain sebagai pilihan selain menghemat bahan yang ada, sehingga jika ada hal-hal yang sepantasnya dikerjakan kembali terpaksa ditiadakan. Film yang seharusnya mengutamakan segi-segi artistik mendapat tempat kedua setelah memperhitungkan segi-segi komersil finansial. Jika kemudian hadir pemikiran lain dalam tahun-tahun belakangan ini, mengatasi kelanjutan produksi dengan mengubah sikap menuju film-film hiburan enteng, hal ini sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan kekurangan bahan baku. Segi yang ditempuh oleh karyawan film ke jurang yang menyenangkan sepintas lalu inilah yang belakangan menjadi persoalan yang paling urgen dalam pemecahan kelanjutan produksi-produksi film.
Ide, yang semula dikandung barangkali adalah demikian: Dibuatnya film-film ringan hiburan ini berdasarkan selera umum yang diduga sudah terlampau lelah karena faktor-faktor ekonomi yang menimpa sehari-hari sehingga mereka kurang suka kepada film-film yang mengemukakan problem-problem berat. Tapi, dibuatnya film-film demikian ini bukan saja dimaksud melayani selera publik yang sudah payah, tapi juga melayani selera dimaksud melayani selera publik yang sudah payah, tapi juga melayani selera produser yang mengharapkan uang masuk. Uang masuk yang lebih jitu ini kemudian diusahakan mengimbangi film murahan ringan hiburan sebagai “batu loncatan” ke arah membikin film-film yang serius, dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai hasil seni.
Ide ini pada sebenarnya masih bisa diterima kalau hal itu dilakukan sebagai batu loncatan.
Tapi kemudian ide itu bukan saja berubah bentuk, tapi berubah fundamennya dari dan menuju mencari uang semata. Disini pula saatnya lahir film-film rongsokan, dibikin tergesa-gesa agar dapat melayani bioskop yang sedang menganga menunggu pasaran pula, bukan saja dibikin untuk menghemat waktu, tapi juga menghemat uang tapi sebaliknya mengharapkan banyaknya masuk uang. Usaha mempertinggi saja belum ada. Usaha ini baru sampai pada taraf ‘hak hidup’ film nasional, yang sedang mengalami bahaya dalam pemasukan uangnya. Taraf ini lantas bertolak belakang bentuknya, menjadi semacam kerja paksa atau adu lomba di kalangan pengusaha film dengan memakai perkataan ‘nasional’ sebagai kedok, sedang ciri yang dipakai oleh sebagian besar mereka ini adalah ciri-ciri perekonomian liberal yang kapitalistis memasukkan uang sebagai tujuan.
Suatu skenario yang sebenarnya harus sudah matang ketika diadakan script-conference —yaitu semacam perdebatan dalam membicarakan suatu skenario yang akan difilmkan— sewaktu-waktu putusan dari script-conference yang sudah jitu menjadi banci atau berubah warna atas kemauan pihak produser yang cuma melihat mata uang sebagai mangsanya.
Sesungguhnya script-conference adalah salah satu gejala yang paling penting dalam pembikinan film. Suatu perdebatan yang matang mengenai suatu film yang akan dibuat, suatu pemecahan segi-segi lahir dan batin suatu cerita, segi-segi artistik yang terutama, sudah merupakan bahan yang sudah lengkap. Pembuatan film setelah ini tinggal lagi merupakan proses kelanjutan saja berpedoman pada script-conference yang sudah jitu itu.
Agaknya hal ini diabaikan, ataupun jika diperhatikan kemudian menjadi suatu pro forma belaka. Ini mungkin dikarenakan adanya kultus diri sendiri dalam diri karyawan-karyawan film yang menggampangkan persoalan, sebab berkaca pada sifat rutin membikin film sebagai yang ditempuh selama ini. Membikin film bukan lagi jadi kerja kreatif yang melahirkan kreasi-kreasi dengan pemikiran baru, tetapi ulangan-ulangan pengalaman sebagai penghemat waktu. Sebab pemikiran-pemikiran gaya baru memakan waktu pula. Ini bukan saja karena kultus diri-sendiri, tapi sebagai dikatakan di tengah-tengah tadi, bahwa karyawan-karyawan itu kebanyakan adalah tenaga rutin yang sudah impoten dalam menciptakan ciptaan-ciptaan baru. Bukan saja impoten, tapi juga tidak ada usaha untuk mengobati penyakitnya itu.
Lebih lahap dari itu, suatu skenario yang sudah selesai, diubah dalam waktu sedetik, bukan disebabkan pengetahuan baru, tapi karena dianggap tidak bisa dilaksanakan cuma karena pengetahuannya memang cuma sampai disitu saja. Lebih jelek lagi, perubahan itu mempunyai motif yang lebih lapar: Mengharap dapat imbalan jerih payah daripadanya.
Aspek-aspek merasa diri sudah sempurna sebagai old-crack, ditambah aspek-aspek kelaparan yang berhubungan dengan hidup sehari-hari, dicampuradukkan menjadi aspek-aspek ‘seni baru’ dalam hal mencipta, suatu ‘seni baru’ yang terletak disebuah jurang yang dalam dengan istana megah yang jauh dari perasaan rakyat banyak yang tinggal di bukit-bukit di atasnya. Kebanyakan mereka ini bukan lagi berdiri di tepi jurang, tapi sudah masuk ke dalam jurang.
Karena cara berpikir itu sama sekali sudah jauh dari ciri dan cara berpikir manusia Indonesia yang sederhana, mereka ini melahirkan karya-karya yang dinamakan “kepribadian nasional” adalah “kepribadian golongan elit nasional yang jauh dan terlalu silau dari pandangan mata biasa manusia Indonesia.”
Respons publik penonton bukan terletak pada soal apakah suatu perusahaan film menghasilkan film hiburan ringan atau film kelas berat. Respons mereka, seperti dikatakan semula, ditujukan tepat-tepat pada masalah manusia Indonesia yang bagaimana yang dipindahkan ke layar putih oleh film-film Indonesia.
Barangkali ada dugaan dari karyawan film kebanyakan itu, bahwa manusia Indonesia yang mayoritasnya bukan kaum elit, tidak punya humor dan hal-hal yang bisa menjadikan penghibur yang dapat diambil dari kehidupan mereka. Seakan-akan, humor dan kesenangan hidup hanya dimonopoli golongan minoritas kaum elit yang sudah jauh sekali dalam menenggangrasa kaum terbanyak dari manusia Indonesia. Jika ada kelihatan kaum terbanyak dari manusia Indonesia yang sederhana hidupnya itu, dalam film mereka jadi wakil-wakil yang menggelikan dan menyedihkan atau kebodohan yang berlebihan untuk mencari sumber tertawaan belaka.
Kalau kita sebentar melihat beberapa film-film Jepang, yang diproduseri oleh karyawan-karyawan yang sadar, film-film Jepang belakangan ini bukan saja menunjukkan pandangan yang luar biasa dalam melukiskan suatu realisme kehidupan manusia Jepang, tapi bersamaan dengan itu ada pula ciri heroisme yang militan, seakan-akan menjelmakan suatu kebutuhan lain: semacam ekspansi kerohanian cara baru dengan moral manusia Timur yang tinggi itu.
Pandangan yang realistis inilah yang diminta oleh banyak orang selama ini terhadap film Indonesia. Manusia Indonesia baru, lahir dan batin, mewakili nasib golongan yang terbesar dari rakyat Indonesia dan bukan mewakili segolongan kecil saja.
Disamping itu, amatlah disangsikan bahwa sebagian besar sutradara Indonesia mempunyai pengetahuan yang agak mendalam tentang cabang-cabang kesenian lainnya. Pengetahuan seni rupa, misalnya, menambah artistik komposisi, bentuk dan cahaya dalam pengambilan suatu adegan. Pengetahuan musik, memelihara ritme dari suatu gelombang cerita. Pengetahuan sastra menambah erat hubungan cerita dalam bentuk fisik dan psikisnya, membawa acuan dan arah pemikiran. Dan pengetahuan directing sendiri, sehingga tidak berbekal pengetahuan rutin belaka, mengulangi suatu yang sudah usang. Jarang ada terdengar di telinga kita sutradara film Indonesia mempunyai penasehat artistik, kecuali belakangan kedengaran adanya penasehat militer sehubungan adegan-adegan perang.
Tapi, disamping hal-hal yang mengecilkan hati itu, masih ada juga usaha yang lain, sebagai misal mengambil cerita-cerita yang dilahirkan oleh sastrawan-sastrawan kita untuk difilmkan. Ini tetap tidak akan merubah kekecilan hati itu, jika sekiranya tidak lebih dahulu diperhitungkan dengan pemecahan yang matang, sebelum membuat film dan ketika membuat film itu berdasarkan pegangan manusia Indonesia dengan kemanusiaan bangsa Indonesianya sebagai darah, daging, dan hati yang tercakup oleh pita-pita film di atas layar putih.
Agaknya bisa dipertimbangkan, bahwa perlu adanya suatu tim.
Suatu tim yang terdiri dari: penulis cerita/skenario, sutradara, editor, penasehat artistik, juru kamera, dan produser.
Tim ini benar-benar suatu tim yang kompak, bukan saja dalam citarasa, tapi juga dalam cita-cita dan tanggung jawabnya sebagai karyawan dan budayawan. Tim ini bukan pula satu tim borongan, dimaksudkan bukan beberapa bidang yang diborong oleh satu tangan, sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk mengoreksi diri dan hasil karya.
Dari karyawan film ada dikatakan, bahwa membikin film tidak semudah membikin tempe. Perkataan inilah yang harus dipegang benar-benar sesungguhnya membawa jawaban: Semoga saja, yang dikerjakan adalah film. Dan bukan seperti senda gurau orang banyak: Yang dibikin adalah film tapi jadinya adalah tempe.
Sinisme demikian cukup sumbang adanya.