Sumber: Harian Rakjat, 27 Oktober 1956, hlm. III.
Dalam harian “Pedoman” hari Senin, tanggal 22 Oktober 1956, dengan kepala “Dari Ulanova Sampai Atom” sesudah menceritakan tentang balet di teater Bolshoi, saudari menceritakan tentang lukisan-lukisan di museum “l’Ermitage” di Leningrad. Dalam bagian ini saudari berkata:
Saya teringat pada pelukis-pelukis Indonesia kita yang tergabung atau dekat-dekat pada Lekra, segala Hendra, Basuki Resobowo, dan Sudjojono, yang juga suka melukis secara modernistis, dengan kepala orang yang miring, tangan yang kelewat besar-besar dan lain-lain keanehan. Mungkin kalau mereka baca ini dan tahu bahwa orang-orang komunis menganggap aliran-aliran modern ini sebagai seni borjuis, mereka mulai besok akan mulai melukis secara naturalis, seperti di abad-abad ke-17 dan ke-18, seperti van Dyck, atau Goya atau Rembrandt.
Kesimpulan atau sangkaan saudari ini, buat pikiran saya, menunjukkan terang, bahwa saudari agak kurang sekali mengerti tentang Lekra, tentang seni lukis, tentang Hendra, tentang Basuki Resobowo, tentang saya, dan tentang kesenian.
Saudari sangka bahwa kalau di Lekra ada anggota-anggotanya membuat sesuatu, yang hanya hasil dari tiru-tiruan saja, pimpinan Lekra akan mendiamkannya saja? Kami tahu, Saudari Gadis Rondonuwu bahwa sesuatu hasil kesenian yang paling bagus adalah hasil dari kesadaran pribadi seseorang. Tidak ada sesuatu drama, sesuatu tari, sesuatu lagu, sesuatu patung, atau lukisan bisa bagus kalau itu adalah hanya hasil tiru-tiruan saja, atau hasil bukan hasil dia. Hasil yang bukan hasil seseorang seniman adalah tidak benar, tidak wajar dan dengan sendirinya tidak bagus. Ini adalah onani dalam kesenian. Lekra tahu betul-betul Saudari Gadis Rondonuwu, apa kesenian rakyat yang bagus dan apa dari rakyat yang jelek. Begitupun Lekra tahu bahwa ada Picasso yang bagus, tetapi tidak sedikit Picasso juga berbuat kurang bagus. Begitupun dengan Gauguin, van Gogh, Cézanne, Degas dan Matisse. Kami dari Lekra bagian seni lukis cinta sama pelukis Gauguin, van Gogh, Cézanne, Degas dan Matisse. Saudari sangka bahwa semua Gauguin, semua van Gogh, semua Matisse bagus? Tidak, Saudari Gadis Rondonuwu. Ada Gauguin yang kurang bagus, tidak sedikit van Gogh berbuat lemah, apalagi Matisse, yang kemudian sebelum meninggal, banyak berbuat hanya secara metodis. Ini semua Lekra tahu. Juga Lekra tahu bahwa Cézanne hampir tidak pernah punya pekerjaan-pekerjaan yang lemah.
Tidak hanya pelukis-pelukis besar dari abad ke-19 dan ke-20 saja Lekra tahu. Lekra juga tahu, bahwa van Dyck, Goya, dan Rembrandt orang-orang kuat.
Jadi, Saudari Gadis Rondonuwu, kami tahu mana yang bagus dan mana yang jelek diantara hasil pekerjaan-pekerjaan maestro-maestro seni lukis ini.
Jadi, Saudari Gadis Rondonuwu, kalau ada diantara kami, teman-teman kami, dari Lekra atau yang dekat Lekra, kami tidak bosan-bosan dengan jalan langsung atau tidak langsung, kami beri nasehat yang ringkasnya: “Buatlah sesuatu yang cocok dengan pikiran Saudara.”
Jadi kalau pada sesuatu waktu Hendra ataupun Basuki Resobowo punya jalan lain, pergi ke macam tipe Goya dan Rembrandt, asal bisa kami tahu bahwa itu adalah datang dari hati pribadi yang wajar dalam pertumbuhan mereka, mengapa mereka harus tidak kita biarkan? Saudari Gadis Rondonuwu, jangan menyangka, bahwa tipe Goya atau tipe Rembrandt di zaman sekarang akan jelek. Pun belum tentu kalau mentang-mentang sekarang zaman baru, semua yang macam Picasso, Matisse atau Salvador Dali mesti bagus.
Saudari Gadis Rondonuwu, orang-orang macam Hendra dan Basuki Resobowo betul-betul bukan orang-orang yang mau berbuat sesuatu dalam seni lukis mereka zonder kecocokan hati mereka.
Dan saya heran mengapa saudari menghubung-hubungkan Lekra dengan orang-orang komunis. Kalau saya orang komunis dan juga orang Lekra ini toh boleh, ini toh biasa, dan sama biasanya dengan saya orang komunis, tetapi juga saya orang Indonesia. Begitupun sama biasanya kalau Basuki Resobowo yang bukan orang komunis, tetapi juga orang Lekra. Di Lekra ada orang-orang komunis, tetapi tidak sedikit juga ada orang-orang bukan komunis. Saudari Gadis Rondonowu juga boleh masuk Lekra. Lekra betul tidak berbahaya, saudari Rondonuwu. Masuklah! Dan yang terang kami tidak akan mengekang saudari. Apalagi kalau saudari punya pendirian yang khusus Gadis Rondonuwu, kami suka sekali, kalau betul zuiver individual. Jangan saudari individualistis! Ini kami berat untuk cocok, sebab buat Lekra: Individu itu diakui, tapi massa rakyat faktor besar sekali. Massa rakyat tidak bisa maju, kalau individu dikekang. Tetapi sebaliknya kalau hanya beberapa individu saja yang boleh maju, terang massa rakyat akan tidak maju. Kami tidak punya semboyan:
Merdeka kaya, merdeka melarat.
Merdeka maju, merdeka terbelakang.
Dan sekarang kalau yang mengantar saudari tidak suka lukisan-lukisan “modern” itu, ini hak dia, bukan? Dan kalau seluruh rakyat Uni Soviet tidak suka lukisan-lukisan “modern” itu juga, pun rakyat ini berhak berbuat dan berpandangan demikian. Dan kalaupun pelukis-pelukis Uni Soviet tidak suka melukis macam Matisse atau van Gogh atau Picasso, buat saya tidak aneh. Sebab, kalau mereka melukis macam Picasso, van Gogh, atau Matisse, mungkin tidak laku. Dan kalau pelukis-pelukis di sana takut tidak laku, ini tidak aneh. Sebab, tidak laku berarti tidak punya duit. Tidak punya duit berarti tidak bisa beli apa-apa. Tidak bisa beli apa-apa berarti mati. Dan mati terang mereka tidak mau. Mereka mau hidup. Dan kalau hidup, mereka kepingin mengabdi rakyat. Dan buat pelukis-pelukis di sana mengabdi rakyat dianggap tidak jelek. Jadi buat pelukis-pelukis di sana, orang-orang di sana, apalagi orang-orang komunis, mengabdi rakyat suka sekali. Dan yang paling aneh, menurut pengalaman saya, rakyat di sana matanya lumrah, pun pikirannya tidak aneh-aneh. Di sana tidak ada orang mengorganisir balapan cium-ciuman, atau kawin di dalam air. Begitupun mata mereka. Mereka sederhana sekali, sesederhananya macam orang diudik kita. Mereka tidak mengerti itu ada mata di punggung, atau gambar hidung disikut, atau bibir merah di atas kening. Buat mereka punggung itu tidak ada matanya, dan hidung biasanya di muka orang, macam bibir merah biasanya dibawah hidung tidak dikening. Tengok Saudari Gadis Rondonuwu, mereka sederhana sekali. Dan celakanya Saudari Gadis Rondonuwu, rakyat yang pikiran dan matanya tidak aneh ini, punya kekuasaan. Dan kekuasaan yang mereka miliki ini mereka pakai untuk mencari kebahagiaan mereka bersama. Dari itu kalau ada pelukis yang mau aneh (di Eropa Barat, apalagi di Indonesia, orang mau aneh itu betul tidak sedikit) di Soviet ini akan tidak laku.
Mari kita pikirkan agak tenang, Saudari Gadis Rondonuwu. Apakah buat pikiran saudari kalau orang menggambar secara naturalistis atau secara realistis itu mesti jelek? Saudari Gadis Rondonuwu, kalau saudari saya potret: hidung saudari persis macam hidung saudari, mata saudari persis macam mata saudari, rambut saudari persis macam rambut saudari, kening saudari, alis, kuping, leher, bibir, dahi dan dagu saudari persis macam kening, kuping, leher, bibir, dahi dan dagu saudari; pun kilau mata saudari persis macam kilau mata saudari, juga senyum saudari persis macam senyum saudari, pendeknya muka dan pribadi saudari persis macam muka dan pribadi saudari juga, apakah potret macam ini saudari katakan jelek? Kalau betul-betul ini persis, Saudari Gadis Rondonuwu, saya tidak percaya kalau saudari akan berkata: jelek. Tapi mungkin saudari akan berkata: “Persisnya mungkin persis, tetapi belum tentu keseniannya bagus.” Saudari Gadis Rondonuwu, memang keseniannya mungkin tidak bagus, meskipun saya tidak percaya kalau saya yang buat potret saudari keseniannya jelek. Ini boleh kita coba, tetapi saudari harus janji dahulu berani bayar banyak. Umpamanya toh jelek kesenian potret yang saya buat itu, tetapi saudari boleh pilih antara potret saudari yang persis tapi keseniannya jelek, dengan “potret” saudari yang mata saudari dibuat di atas hidung atau hidung saudari yang bergigi kuning, tetapi keseniannya bagus. Diantara dua lukisan ini saudari pilih mana? Saya tidak percaya saudari pilih “potret” yang belakangan ini. Tetapi mungkin juga saudari toh pilih yang belakangan ini. Kalau benar demikian, saya sebagai anak-anak di Jakarta akan berkata, “Kok mukanya gituan?”
Saudari Gadis Rondonuwu, jangan sekali-sekali saudari katakan bahwa saya tidak mengerti Matisse, van Gogh, Cézanne, Picasso. Saya suka pada kesenian mereka, tetapi ini bukan berarti bahwa kesenian mereka itu tidak individualistis. Dan memang kesenian mereka, kesenian individualistis, kesenian yang lahir di masyarakat siapa lu-siapa gua. Di masyarakat itu, oleh sebab sistem kelas yang memerintah adalah sistem borjuis, sistem siapa lu-siapa gua, maka kebudayaannya pun adalah berbentuk siapa lu-siapa gua juga, yang berarti bahwa keseniannya pun kesenian siapa lu-siapa gua. Dari itu tidak heran kalau ketika di Paris pernah diadakan suatu eksposisi internasional, orang mengeluh karena tak ada kesatuan coraknya diantara gedung yang satu dengan gedung-gedung yang lain, atau diantara arca-arca yang ada dengan gedung-gedung yang harus dihiasi oleh arca-arca tersebut. Juga di majalah-majalah Elsevier pernah Joseph Csaky, seorang pematung dari Paris, mengetahui kekurangan stijl, atau lebih tepat lagi, ketidakadaannya kesatuan stijl di Eropa Barat sekarang ini. Juga di kalangan pengetahuan rasa kesatuan ini tidak ada. Seorang sarjana tidak lagi mau perduli kemana hidup akan pergi, sebab tugas dia adalah kerja dalam pengetahuan saja. Pengetahuan dan hidup sudah tak ada lagi hubungannya. Teori dan praktek renggang. Yang berteori, berteori terus. Ini pengetahuan, ini spesialisasi. Mereka sudah lupa bahwa pada permulaannya pengetahuan adalah senjata untuk mengenakkan hidup.
Dalam masyarakat siapa lu-siapa gua ini pecahlah sebenarnya hubungan orang yang satu dengan orang yang lain. Tiap-tiap orang mau hidup sendiri-sendiri, tiap-tiap orang mau untung sendiri-sendiri juga. Orang berlomba-lomba. Siapa cepat dapat, siapa tinggal gagal. Yang cepat dapat makin lama makin lebih banyak dapat lagi, dan yang gagal makin lama makin ludes tinggal di bawah-bawah kolong jembatan dingin dan akhirnya mati. Kata-kata kasih sayang hanya ada di gereja-gereja saja. Pun si seniman tidak luput dari “penyakit” ini. Dia pun terlepas dari hidup biasa. Konflik antara dia dan masyarakat timbul. Dia mempertahankan diri. Terpelanting di menara gading. Bencinya kepada si kaya bukan kepalang. Hidup di sekitar dia berantakan. Dia tak sanggup secara praktis memecahkan masalah-masalah hidup. Dia jadi tipe Laurens. Dia lari. Surga dicarinya. Lari ke “Tahiti”. Lari ke “Bali”. Dia benci sama industri. Benci sama listrik. Benci sama apa yang dinamakan modern. Dengan hati yang iba dia melihat orang-orang di “Bali” hidup sederhana, hidup tak berduit, hidup melarat. Tapi tetap juga tak bisa memecahkan masalah-masalah hidup di sekitarnya, sebab tak pernah terlatih, sebab lebih baik melukis, sebab harus ada spesialisasi, sebab harus cari kebagusan yang abadi. Pun politik mulai dibencinya. Apa yang tidak dibencinya? Cuma dirinya sendiri sekarang; cuma hasil dari pencarian dalam seni lukisnya sendiri, cuma pandangan hidupnya sendiri, cuma warnanya sendiri, dan cuma individualitet-nya sendiri. Aku! Aku! Aku! Aku ingin bebas sebagai awan putih di langit biru, berarak-arak, berganti-ganti tak berbentuk. Begitu isi hatinya, begitu hidupnya, begitu tindakannya, begitu keseniannya. Begitu individualismenya.
Orang-orang macam van Gogh, Cézanne, Gauguin, dan Picasso adalah pencipta-pencipta yang terbaik dari abad ke-19 dan abad ke-20 ini. Mereka bukan orang-orang yang harus kita benci. Mereka adalah anak-anak rakyat yang punya dasar-dasar kemanusiaan dalam hati sanubarinya. Tetapi mereka macam perahu-perahu layar, yang harus berlayar ke sesuatu jurusan, tetapi ketika menghadapi angin yang jelek, terpaksa sampai ke sesuatu titik yang agak lain dari tujuan semula. Mereka adalah hasil dari garis resultante yang dibuat oleh kedua kekuatan yang masing-masing bertentangan: kekuatan yang progresif dan kekuatan yang reaksioner.
Demikian sajalah Saudari Gadis Rondonuwu, selamat bekerja.
Wassalam.
S. Sudjojono
Jakarta, 25 Oktober 1956