MASALAH FILM: ANGGAPAN & KENYATAAN

Sumber: Harian Rakjat, 29 Juni 1957, hlm. III.

Film bukanlah kenyataan, tapi ia merupakan reproduksi dari kenyataan. Karena kenyataan itu adalah fragmen-fragmen dari kehidupan yang luas, film menentukan bidang dan batas-batas daerah reproduksinya. Daerah itu punya bidang yang disebut bentuk dan punyai dasar yang disebut tema.

Bidang dan dasar tidak bisa ditetapkan batas buruk baiknya, karena sifatnya relatif dualistis. Sesuatu yang mesra dan baik menurut suatu pandangan, satu orang, satu golongan, belum tentu baik menurut anggapan dan pandangan orang lain. Sesuatu yang dianggap biasa, bisa merupakan sesuatu yang sakral bagi pihak lain. Ini soal tanggapan dan tanggapan ditentukan oleh dasar pandangan hidup, kejiwaan dan kepentingan.

Di sejarahnya bidang ruangan dan dasar itu ditentukan nilainya oleh kepentingan yang berlainan. Yang terang, ruang, dan dasar yang serasi dan baik untuk golongan berkuasa, adalah sesuatu yang pahit buat mereka yang dikuasai. Sesuatu yang baik dan bagus menurut kepentingan yang dikuasai merupakan sesuatu yang absurd ataupun vulgar bagi yang menguasai. Dalam soal ini ukuran selalu bertentangan, dan pertentangan itu ada selama ada pertentangan kelas. Dan pengertian ukuran yang saya maksud senantiasa berkisar pada soal kepentingan masing-masing.

Seni universal, yang berdasarkan humanisme menurut tafsiran sebagian orang adalah bebas dari anasir-anasir pertentangan ini. Saya melihat justru ke-humanisme-annya bertentangan tajam terhadap anasir a-human. Dan perang, penjajahan, penindasan, perkosaan, terhadap hak-hak manusia dalam artian orang seorang dan umum, adalah a-human, menusuk dari seni humanisme tadi.

Tapi memang kebenaran selalu dibalikkan mereka yang tidak suka kebenaran. Dan karenanya tidak jarang kepentingan, egoisme perseorangan, yang terkadang harus ditekan demi kepentingan humanisme yang pokok, dijadikan alasan untuk mencap sesuatu sikap sebagai sikap a-human. Dalam soal ini sama halnya dengan maling yang meneriakkan maling.

Dalam hubungan ini pula penafsiran tentang film dan fungsi film berbeda. Film bisa menjadi hiburan, tapi hiburan itu sendiri punya beberapa pengertian.

Hiburan bagi si kaya, bagi bapak yang punya mobil dan rumah gedong, ialah melanjutkan kenikmatan hidup dalam bentuk lain di gedung bioskop selama dua jam. Baginya yang penting ialah menemui hiburan yang membuatnya lebih birahi pada lapangan pengejaran hidupnya. Ia tidak senang kalau melihat sesuatu yang pahit tentang hidup manusia lain, pahit yang dibenci dan tidak ingin dilihatnya, kendatipun kepahitan yang direproduksi ke layar putih, belum mencapai 2% dari kepahitan yang nyata, kepahitan yang melingkungi daerah hidup si kaya tersebut. Baginya yang penting ialah meninggalkan kenyataan-kenyataan di sekitarnya, dan untuk menemui kenikmatannya sendiri dalam lingkungan yang memandangnya sebagai a-human, dalam artian yang wajar.

Si miskin juga ke panggung bioskop untuk melarikan diri dari kepahitan-kepahitan yang dialaminya langsung, yang menimpa diri dan keluarganya di alam nyata. Ia dilarikan faktor kompensasi ke tempat hiburan film. Ia ingin melupakan tetes air mata dan keringat yang melimpah dalam pertarungan hidup, dalam pemerasan dan penindasan yang dialaminya. Ia ingin melupakan itu dalam suatu mimpi yang gampang diperoleh dengan hanya membayar dua tiga perak. Ia sebenarnya mencari opium untuk menghilangkan rasa sakit, dengan secara tak sadar. Karenanya ia memerlukan hiburan yang membawanya lari ke alam khayal dengan nyanyian-nyanyian tarian-tarian, wanita-wanita cantik, pakaian yang indah, cerita yang bisa bikin ketawa. Kalau mereka begitu adalah wajar sebagai manusia.

Tapi buat seniman yang mengambil film sebagai podium, sebagai tempat mencurahkan ekspresinya, tidaklah ia merasa memenuhi tugasnya jika ia hanya memberikan obat orang mabuk dari mimpi sebentar, tidaklah cukup jika ia hanya membuat orang lupa pada penderitaannya sedikit. Dokter juga tidak pernah memakai opium untuk mengobati si sakit. Opium hanya untuk menghilangkan perasaan sakit, tapi obat yang sebenarnya bukan pada opium, malah terkadang pada operasi, pada sesuatu yang sakit, yang pahit. Bukanlah dokter itu dokter, jika ia hanya mengobati hal-hal yang pokok. Dan tidaklah si seniman, sebagai manusia yang merasa terpanggil oleh unsur-unsur yang mengikat rohani dan jasmaninya, panggilan humanisme, merasa memenuhi tugas, selagi ia tidak menunjukkan sesuatu yang dapat mengobati, menyalurkan ke jalan yang menuju humanisme tadi. Ada kalanya obat dan jalan itu pahit dan kasar sekali, ada kalanya dengan jalan sederhana. Soalnya bergantung pada penyakit pada persoalan pada bidang dan dasar yang hendak dimasuki. 

Orang terkadang merasa kaget dan dikejutkan dengan suatu hasil seni, apabila jika hasil itu bertentangan dan asing menurut lingkungannya sendiri. Yang bodoh akan menolak dan menutup pintu hatinya untuk menelaah seterusnya. Baginya hasil yang begitu tidak masuk buku dan dianggapnya vulgar dan segala macam, dan tertutuplah dirinya oleh pagar yang dipasangnya sendiri, untuk nilai-nilai dan corak lain. Rugilah dia sebagai manusia karena tidak hendak mengenal kehidupan yang luas, lebih luas dari yang diimpikannya sendiri. Kalau ia berkuasa maka bukan tidak mungkin ia mengeluarkan larangan dan perintah untuk memberantas atau merusak hasil yang demikian.

Dalam lapangan pemikiran pun demikian, sampai ada penemu yang disuruh minum racun karena ia mengemukakan suatu pikiran yang bertentangan dengan hukum yang berlaku, dan yang akhirnya ternyata pikiran penemu itu adalah benar. Memang menyatakan kebenaran adalah sesuatu yang paling berat dan sukar. Sukar karena tiap orang menilai kebenaran bukan dari segi human, tapi dari segi kepentingannya, kedudukannya orang-seorang.

Dan pernyataan seni pun tidak luput dari hukum yang begitu. Kendatipun sesuatu pernyataan seni mencapai temperamen yang wajar menurut ukuran seni itu sendiri, namun ia akan ditolak jika melanggar bidang-bidang kepentingan-kepentingan dan kebiasaan mereka yang tidak bisa meluaskan pandangannya lebih dari lingkaran diri sendiri.

Tidak heran jika kebudayaan dan kesenian adalah suatu pencerminan dari kelas yang berkuasa. Sebaliknya golongan yang kenyataan-kenyataan hidupnya difragmentir ke dalam bidang dan dasar reproduksi itu, tentulah akan membenci pula menemui dirinya, lingkungannya, suasananya yang pahit dalam bahan reproduksi itu. Tapi suatu hasil film bukan hanya reproduksi mekanis, ia punya kekuatan-kekuatan untuk menyalurkan perasaan ke arah kesadaran yang lebih jelas, lebih padat.

Dalam soal ini fungsi reproduksi film adalah membawanya kepada kesadaran, keinsyafan akan diri sendiri, yang meminta penyelesaian, meminta kesadaran dan tanggung jawab. Kalau bentuk film tersebut merupakan sesuatu reproduksi yang memberikan dorongan orang ke arah kesadaran dan pengenalan diri sendiri yang meminta penyelesaian, maka golongan yang kepentingannya bertentangan dengan dasar-dasar tersebut pastilah akan menolaknya dan menuduh si seniman yang mencipta, sebagai seorang yang tidak bertanggung jawab, vulgar, dan sebagainya.

Tapi ia lupa bahwa hasil yang ditolaknya itu betapa pahitnya pun baginya justru mengandung anjuran-anjuran ke arah humanisme, dan menentang keadaan serta kenyataan yang a-human. Maka dipakailah segala alat untuk menghukum, menindas, hasil cipta si seniman, tanpa kesadaran bahwa penindasan itu membawa kesadaran orang yang lebih besar, akan kekuatan kelasnya, sekarang dan nanti.

Jakarta 1957