PAMERAN TUNGGAL SUROMO

Sumber: Harian Rakjat, 16 November 1957, hlm. III.

Suromo, yang terkenal dengan cukilan kayunya akan muncul dalam eksposisi tunggal di gedung Balai Budaya dari tanggal 19 sampai 29 November yang akan datang. Sebanyak 60 buah cukilan kayu dan 30 buah lukisan hasil-hasil Suromo selama 8 tahun (1949-1957) dipamerkan disini. Usaha ini adalah sesuai dengan program “Seniman Indonesia Muda” dalam memperkenalkan anggota-anggotanya masing-masing.

Suromo dilahirkan di Surakarta pada 11 Oktober 1919, seorang otodidak yang menjadi anggota Persagi di tahun 1936 di Jakarta.

Sejak 1946 dia menjadi anggota Seniman Indonesia Muda di Surakarta, kemudian pindah ke Jogja. Kemudian sejak 1951 menjabat sebagai Wali Bagian jurusan Seni Lukis dan jurusan Seni Patung pada Akademi Senirupa Indonesia Jogja.

Di bawah ini kita siarkan sambutan S. Sudjojono berhubung akan dilangsungkannya pameran tersebut.

Cukilan

Cukilan mulai dirasakan perlunya pada tahun-tahun revolusi bersenjata, sebab kebutuhan penerangan kepada rakyat mendesak sekali, sedangkan klise logam mahal harganya.

Berhubung dengan keadaan yang mendesak ini maka pelukis-pelukis Seniman Indonesia Muda, yang diperbantukan pada Kementerian Pemuda di tahun 1947 dibawah pimpinan Saudara Wikana dan kemudian Saudara Supeno almarhum, pada bahan kayu sawo untuk dibuat semacam klise.

Kayu sawo yang tua ini terbukti tidak mengecewakan, sebab kerasnya. Dia tahan himpitan pres mesin cetak dan tidak mudah melengkung karena panas dan dingin.

Abdulsalam, Rameli, Soerono dan Suromo bekerja keras ke jurusan cukilan ini untuk poster-poster dan sebaran-sebaran kementerian tersebut di atas. Warna juga bisa digunakan untuknya. Tetapi mencurahkan perhatiannya ke jurusan cukilan berwarna yang sebenarnya belum.

Meskipun demikian cukilan yang monotone, yang berwarna satu, berkembang bagus.

Suromo dengan cukilan-cukilannya terbukti bisa menggunakan material kayu ini sebaik-baiknya. Dengan pisau-pisau rautnya yang tajam itu bisa dia mencapai garis-garis yang dimaksudkan untuk memberi warna hitam pada kedudukannya yang paling tinggi, dari suasana yang bergolak ke irama yang halus dan sedih atau romantis.

Buat pikiran saya, Suromo di Indonesia dalam soal cukilan tak ada bandingannya pada waktu sekarang.

Lima buat cukilan dia sekarang ada terdapat di dua museum Jerman Timur (diantaranya di Museum Berlin Timur).

Mudah-mudahan bangsa kita sudah bisa mengerti menghargai seni cukilan ini. Mengerti kebagusan hitam-putih. Cukilan adalah suatu fenomena yang menggembirakan bagi sesuatu bangsa dan kebudayaannya.

Demikianlah.

S. Sudjojono
Jakarta, 1 November 1957