Sumber: Indonesia Raya, Kamis 1 Juli 1954.
Dalam perayaan besar di Venesia yang diadakan dalam bulan Juli tahun ini, Indonesia akan diwakili oleh pelukis Affandi dengan lukisan-lukisannya dan sebuah patung ciptaannya. Eksposisinya di Bienale Venesia ini akan merupakan satu puncak sukses-sukses yang dialaminya selama pelukis Indonesia ini berada di luar negeri, dan merupakan suatu pengakuan kalangan seni lukis di Eropa terhadap dirinya sebagai pelukis dan seniman.
Selama di Eropa, Affandi telah mengadakan eksposisi-eksposisi di Inggris (dua kali), di negeri Belanda (sekali), di Belgia, di Paris, di Sao Paulo di Brazil, dan di Roma (telah dua kali). Sebuah lukisannya sekarang tergantung dalam museum seni lukis di Brussels, Amsterdam, dan India, dan banyak lukisannya sekarang menghiasi dinding rumah-rumah orang berminat pada seni lukis di banyak negeri di Eropa dan di Amerika.
Kritikus-kritikus seni lukis di Eropa pada umumnya penuh pujian pada lukisan-lukisannya malahan seorang kritikus di London sampai menulis bahwa Affandi membawa satu “pemecahan” baru dalam seni lukis dewasa ini. Hingga selama di luar negeri dia telah menjadi seorang duta budaya Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia kemana-mana.
Karena itu, ketika saya telepon dia dari kantor kedutaan Indonesia di Roma minta berbicara, dan suaranya di telepon riang menyatakan, bahwa saya boleh datang dengan segera juga, maka dalam hati saya timbul pertanyaan, apakah Affandi sekarang telah berubah dari Affandi dulu, yang saya kenal di Indonesia?
Dia menyewa sebuah kamar yang amat sederhana dengan keluarga orang Italia, dan ketika saya memasuki kamarnya, segera juga kelihatan Affandi yang dulu, tiada berubah. Hanya sekarang dia tidak sekurus dulu lagi. Akan tetapi cara dia berpakaian, rambutnya, jenggotnya, dan kumisnya yang jarang-jarang, ramah tamahnya, tertawanya, tiada berubah, dan sebentar juga tahun-tahun seakan hilang, dan duduk bercakap-cakap dengan dia dan isterinya dalam kamar itu, seakan-akan bercakap-cakap dengan dia kembali dalam kamarnya di perguruan Taman Siswa di Kemayoran, Jakarta.
Dia meninggalkan Indonesia pada tanggal 20 Desember 1949 berangkat ke India. Di India dia tinggal dua tahun, “Di India saya menemui obyek-obyek yang sesuai dengan pendirian hidup saya,” kata Affandi bercerita, ketika saya minta padanya untuk menceritakan pengalaman-pengalamannya. “Objek-objek yang sukar dicari di Eropa,” dia bercerita seterusnya. “Saya seorang sosialis dalam perasaan saya, dan tendensi-tendensi sosial menggetarkan jiwa saya untuk melukis. Hal-hal yang menggetarkan jiwa saya seperti ini banyak terdapat di India, dan saya juga lebih produktif selama berada di India daripada di Eropa ini.”
Ditanyakan, apakah dia mengalami perubahan-perubahan dalam pandangannya terhadap seninya, Affandi berkata, bahwa selama di luar negeri dia hanya melanjutkan apa yang telah dikerjakannya di Indonesia. “Selama di Eropa,” katanya, “maka lebih jelas terdapat pandangan untuk mengkoreksi diri sendiri, dan lebih jelas pula saya dapat melihat Indonesia dari luar ini.”
Dia bercerita, bahwa Eropa tidak mempengaruhinya sesuatu apa. “Disini.” katanya, “alat-alat lebih lengkap, dan orang dapat bekerja lebih bebas. Dan untuk seniman lebih penting lagi, karena disini cukup bahan-bahan perbandingan dengan pelukis-pelukis lain, hingga dapatlah pelukis berusaha dengan stijl dan visi sendiri untuk mempertinggi mutu seninya agar dapat berdiri bersama-sama dengan yang lain-lain.”
Ditanya pandangannya terhadap seni lukis Eropa Barat dewasa ini, Affandi berpendapat bahwa dewasa ini seni lukis di Eropa Barat masih berputar-putar di sekitar beberapa nama pelukis besar, seperti Picasso, Cézanne, Renoir, dan lain-lain, dengan beberapa kekecualian.
“Saya sering merasa kecewa melihat stelling-stelling pelukis-pelukis di sini,” kata Affandi, “karena kita selalu menyangka, bahwa apa yang dihasilkan orang disini selalu baik-baik saja. Akan tetapi dari apa yang diperlihatkan tidak 1 persen yang sungguh-sungguh baik.”
Mengenai pendidikan akademi seni lukis, Affandi bercerita, bahwa pertama kalinya dia memasuki sebuah akademi, hatinya berdebar-debar, akan tetapi segera juga dia masuk sebuah kelas yang sedang belajar, maka dia melihat, bahwa cara-cara yang dipergunakan tidak banyak bedanya dengan cara-cara yang telah dilakukan orang di Indonesia. “Hanyalah cara mereka lebih teratur organisasinya,” tambah Affandi. “Banyak saya kecewa karena persangkaan saya lebih dari apa yang saya lihat,” katanya.
“Saya lebih suka pada seni lukis sekarang, daripada seni lukis yang tergantung dalam museum-museum tua,” katanya. Bagi dia, kesenian sekarang lebih penting. “Di Brazil seni lukisnya miskin, seni lukis Meksiko dapat diterima akan tetapi seni lukis Amerika Serikat, saya belum bisa terima, karena masih berupa tweedehands dari Eropa. Meksiko belajar dari Eropa tapi memperlihatkan ide sendiri.”
Ketika ditanya aliran seni lukis yang diikutinya, Affandi tertawa dan berkata, “Sebagai seorang pelukis saya tidak perduli aliran-aliran, terserah pada orang yang melihatnya. Di Eropa semua kritikus-kritikus menggolongkan saya pada aliran ekspresionisme, dan belum pernah saya disebut sebagai seorang impresionis, sebagai saya disebutkan di Indonesia.”
Dia bermaksud akan kembali ke Indonesia dalam bulan Agustus tahun 1954 dan cita-citanya ialah kembali ke Jogja untuk meneruskan cita-citanya, “vrije academie”. “Setelah melakukan penyelidikan di India dan di Eropa,” kata Affandi, “maka apa yang telah kami mulai dahulu adalah di atas dasar yang baik, hanya kini organisasinya harus disempurnakan.”
Dia bermaksud untuk menyelenggarakan cita-citanya ini di Jogja. “Saya tahu di Indonesia saya tidak akan mendapat penghargaan seperti yang diberikan orang di Eropa ini,” katanya tertawa, “akan tetapi saya harus bekerja untuk bangsa kita dengan apa yang ada pada saya.”
Sayanglah ketika berkunjung ke kamarnya, saya tidak mendapat kesempatan melihat-lihat lukisannya yang baru, karena dikirimkan lebih dahulu ke Venesia. Di dinding hanya tergantung sebuah lukisan yang besar. Dalam kamar yang gelap-gelap sampai tidak ada kemungkinan melihatnya dengan cermat, akan tetapi segera juga dapat dilihat tehnik melukis Affandi yang penuh dengan getar-getar jiwa yang bergolak berapi-api. Pemandangan alam di Italia Selatan itu seakan hendak meloncat lepas dari dinding.
Selanjutnya Affandi menyampaikan keluh kesahnya, bahwa banyak surat-suratnya minta tolong pada PP & K sama sekali tidak mendapat perhatian ataupun dibalas. “Saya sering dikritik kawan-kawan,” katanya, “karena selalu mengadakan steleng-steleng melalui kedutaan-kedutaan RI dan kawan itu berkata bahwa saya jadi propagandis buat Indonesia. Soalnya bagi saya lain sekali,” Affandi menerangkan, “selama Indonesia memerlukan supaya dia dikenal oleh dunia lebih baik lagi, maka lukisan-lukisan saya selamanya tersedia untuk maksud memperkenalkan negeri kita kepada dunia. Akan tetapi saya tidak melukis untuk ini: Inilah syarat yang saya pegang buat diri saya sendiri.”
“Seniman tidak bisa melepaskan dirinya dari masyarakat,” kata Affandi menjawab pertanyaan, “dan karena itu maka saya tidak bisa menerima apa yang dinamakan seni abstrak. Meskipun saya mengakui, bahwa diantara seniman-seniman abstrak itu ada orang-orang yang sungguh serius dengan seni abstrak mereka. Picasso bagi saya belum abstrak sesungguhnya. Akan tetapi saya tidak menghalang-halangi mereka yang hendak melakukan seni abstrak, ini semua terserah pada masing-masing seniman, asal jangan orang main ikut-ikutan belaka.”
Kemudian Affandi mengajak saja makan-makan di tempat dia dan isterinya berkemah, di luar kota Roma. Dengan begini ongkos lebih murah, katanya. Dia kemudian menitipkan sebuah surat minta bantuan ongkos-ongkos pulang pada Menteri PP & K, dan yang telah saya sampaikan pula pada Menteri PP & K. Moga-moga Saudara Mohamad Yamin jangan lupa hendaknya pada Affandi, duta budaya Indonesia ini.