Sumber: Siasat, No. 165, Tahun IV, Minggu, 7 Mei 1950, hlm. 3.
“Apa ini sudah lapar?” bertanya Sersan Karta pada anak buahnya.
“Payah, Pak,” jawab seorang prajurit.
“Tidak tahan lagi nih,” sahut prajurit yang lain.
“Saya ada sebuah obat yang manjur sekali untuk lapar. Didalam perang yang baru lalu belum pernah dipakai,” cerita pula Sersan Karta.
Prajurit-prajuritnya memandang masa bodoh saja.
“Tidak percaya, nih. Tunggu dulu,” bertanya seakan-akan hendak meyakinkan Sersan Karta pula.
Lalu dia buka perlahan-lahan sapu tangannya. Didalamnya tersimpan “obat manjur” itu. Sepotong ubi kering, yang mesti dibagi-bagi lima iris… Mereka semua lalu ketawa…
Demikianlah sebuah scene (pemandangan) dari film Perfini, produksinya yang pertama “Long March Siliwangi”, yang telah dimulai pengambilannya (opname) sejak awal bulan April.
Mereka mulai bekerja dengan mengadakan pengambilan film diluar studio. Pekerjaan ini dalam istilah mereka disebut “location”. Tempat-tempat yang dipilih ialah daerah Purwakarta, Subang. Pemandangan-pemandangan yang diambil ialah perjalanan tentara Siliwangi di Jawa Barat.
Dilukiskan pula pertempuran-pertempuran yang mereka lakukan dengan tentara Belanda (pasukan macan loreng), penyerbuan atas sebuah desa D.I., serangan yang dilakukan oleh sebuah pesawat terbang capung (pipereub) Belanda atas pasukan Kapten Sudarto dari Divisi Siliwangi tersebut, sambutan rakyat di desa-desa yang mereka lewati, dan terjalin di tengah segala itu kisah penghidupan pemuda-pemuda Indonesia dalam revolusi dengan duka dan sukanya, dengan cita-cita dan kekecewaan, dengan keperwiraan dan kelenaan jiwanya.
Didalam melakukan pengambilan luar ini Perfini mendapat sokongan dari pihak tentara. Mereka yang mengadakan pertempuran di dalam film itu adalah prajurit-prajurit tentara sebenarnya, yang pernah turut bergerilya di daerah itu. Rakyat pun turut membantu. Lurah desa Taringgul misalnya dengan suka rela mengumpulkan rakyatnya buat bermain di depan kamera, dan kenyataan-kenyataan ini makin menambah sifat semi-dokumenter dari film “Long March Siliwangi”.
Sesungguhnya, regisseur Usmar Ismail tidak takut-takut mempergunakan orang-orang yang sekalipun tidak berpengalaman untuk dijadikan peran atau aktor di dalam filmnya. Saya tidak tahu apakah Usmar dengan sadar dibimbing oleh patokan, yang lebih 20 tahun yang lalu ditegaskan oleh Pudovkin di dalam bukunya yang kesohor “Filmregie und Filmmanuskript.” Regisseur Rusia itu antara lain berkata: “Seorang aktor didalam film-film saya berarti tidak lebih dari sebuah sapu atau sebuah cerek kopi.” Dengan ucapan demikian Pudovkin menganggap tidak utama segala “permainan” dan “perbuatan pura-pura” di muka kamera.
Bahkan konon kabarnya Eisenstein menambah lagi ketegasan ucapan di atas. Dia berkata, bahwa seorang tua harus dimainkan oleh seorang tua, seorang Tionghoa oleh seorang Tionghoa sebenarnya, dan seorang buruh harus dapat dimainkan oleh buruh sejati. Kesimpulan dari patokan kedua ahli film Rusia tersebut ialah tidak diperlukan lagi pemain-pemain tulen, enyahkan saja aktor profesional!
Di dalam film “Long March Siliwangi” cuma terdapat satu aktor profesional yakni Raden Ismail. Itupun di dalam peranan yang tiada seberapa besar. Selebihnya aktor-aktornya dan aktrisnya terdiri dari “orang-orang baru”, terutama dari barisan pelajar dan mahasiswa.
Memang, percobaan ini menarik perhatian sekali. Memang dibandingkan dengan lain-lain film Indonesia dengan pemain-pemainnya yang terdiri dari orang-orang sandiwara terlihat perbedaan yang besar dan yang menguntungkan pada film Usmar.
Nampak sebuah kesegaran, nampak bagaimana rakyat dan tentara itu bermain secara sewajarnya (natuurlijk), tidak dilebih-lebihkan. Tetapi ada juga bahayanya!
Diwaktu melihat latihan scene Sersan Karta dengan anak buahnya, sebagai yang diceritakan pada permulaan coretan ini, maka saya mendapat kesimpulan betapa payahnya prajurit-prajurit ini dan Sersan Karta (yang dimainkan oleh seorang pelajar berasal dari Sumbawa) mendukung peranannya.
Suasana humoristis yang menjadi sari scene tersebut tidak dapat dikentarakan benar sebaik-baiknya. Sehingga nampaknya prajurit-prajurit itu canggung permainannya. Agaknya diambil secara “close-up” akan nampak kekakuan yang dimaksud itu.
Tapi pada sementara itu haruslah diakui, bahwa efek yang dicapai oleh Usmar, justru dengan mempergunakan tentara, rakyat, dan pelajar sebagai tiga unsur yang mendukung permainan dalam filmnya, lebih-lebih yang mengenai Massenregie, sangatlah tinggi adanya, hingga meninggalkan kesan megah. Penulis yang berkesempatan melihat hasil pengambilan-pengambilan sebanyak 3000 kaki dari lokasi di Purwakarta dan Subang meramalkan, bahwa “Long March Siliwangi” baik di dalam teknik fotografinya, maupun dalam permainan umumnya akan tercatat sebagai film Indonesia yang terbaik dari tahun 1950.
Dan melihat scenes pertempuran yang benar-benar dilakukan berkat bantuan tentara Siliwangi sendiri, yang diberikan sepenuhnya dan dengan spontan, maka boleh pula dikatakan, bahwa film ini akan dicatat kelak sebagai film peperangan Indonesia yang pertama.
Tapi diatas segala itu adalah lebih penting lagi, bahwa “Long March Siliwangi” memberikan didepan kita sebuah episode dari perjuangan rakyat Indonesia untuk kemerdekaannya. Dan karena itu dapat diduga, bahwa perhatian masyarakat pastilah akan besar dan hebat adanya.