RAGAM HIAS DI INDONESIA

Sumber: Siasat Baru, No. 640, Tahun XIII, 16 September 1959, hlm. 3-5.

Salah satu sifat yang unik daripada setiap ragam hias ialah bahwa ia tidak pernah muncul sebagai hasil seni rupa murni (fine art), akan tetapi selalu sebagai hasil seni pakai (applied art), dimana ia kerap kali merupakan bagian yang esensial daripada berbagai perkakas dan benda-benda untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan apresiasi yang umum terhadapnya dari setiap golongan masyarakat, tanpa mengenal perbedaan jenis, tingkat, pandangan, kebangsaan, bahkan kepercayaan sekalipun. Ia terlepas dari segala fitnah dan prasangka, sedangkan perbedaan selera terhadapnya tidak pernah menyinggung.

Kenyataan bahwa ragam hias terdapat dimana-mana dan pada setiap zaman, bahkan pada orang primitif sekalipun, tidak sedikit memperkuat bukti atas anggapan, bahwa kebutuhan primer tidak saja meliputi sandang-pangan, akan tetapi juga meliputi kebutuhan rohani, suatu kebutuhan yang sifatnya sangat pelik, yang terang dalam pernyataan lahiriahnya berbeda-beda dari zaman ke zaman. Walhasil, kehadiran ragam hias pada benda pakai menunjukkan, bahwa manusia pada dasarnya menginginkan harmoni antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Sekaligus pula hal ini merupakan tantangan untuk paham intelektualisme yang terlalu menitikberatkan kepada rasio, yang dianggap sebagai faktor segala-gala, yang pada hakekatnya mengingkari arti keseimbangan antara kedua kebutuhan itu, yang begitu fundamental untuk pembentukan manusia yang berbudi-pekerti luhur.

Berlainan dengan seni rupa murni, yang —terutama akhir-akhir ini— begitu banyak mendapat tantangan, maka ragam hias tidak pernah mendapatnya, sekalipun ia mempergunakan bentuk yang “seaneh-anehnya”, sebagai hasil deformasi, stilasi, dan sebagainya, bahkan sampai kepada bentuk abstrak sekalipun, kendati orang dengan sibuknya bertentangan menyatakan pro dan kontra terhadap suatu aliran dalam kesenian, ketika orang dengan santernya mengutuk seni abstrak yang dianggapnya suatu pernyataan yang kurang waras. Sementara itu setiap pernyataan bentuk, baik yang abstrak maupun yang tidak, mendapat tempat yang sama dalam ragam hias.

Pada umumnya pengertian ragam hias —terutama akhir-akhir ini— selalu dihubungkan dengan suatu pernyataan kebutuhan akan keindahan, namun terdapatnya suatu ragam hias di Indonesia sangat boleh diragukan, bahwa dorongan untuk membuatnya diakibatkan oleh suatu kebutuhan akan keindahan semata-mata, mengingat kenyataan, bahwa sejarah ragam hias di Indonesia jauh menjangkau ke masa sebelum kedatangan bangsa Hindu (gambar 1), dimana kehidupan sedikit banyak masih primitif, dimana “hiasan” tidak selalu dititikberatkan kepada keindahan semata-mata. Betapapun juga, motif yang dipergunakan untuk ragam hias itu sangat beraneka ragam, mulai dari motif anyaman ornamen geometris pada umumnya, yang sifatnya abstrak, sampai kepada motif tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia yang sifatnya organis, sehingga orang tidak tahu lagi makna asalnya, apakah hiasan itu dimaksudkan sebagai pernyataan keindahan, ataukah menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan. Yang terang ialah, bahwa perkembangan ragam hias di Indonesia seluruhnya mengikuti evolusi pertumbuhan yang didalamnya lengkap memuat perbaikan teknik pengerjaan, penyesuaian terhadap bahan yang ada, penemuan hal-hal yang baru serta pengaruh yang datangnya dari luar.

Berlainan dengan seni rupa murni, yang proses perkembangan dan penyebarannya berlangsung dari atas ke bawah, yakni sejak diciptakannya oleh seniman, disebarkan oleh golongan-golongan yang dikenal sebagai pendukung tingkat kehidupan rohani yang tertinggi, sehingga akhirnya sampai kepada rakyat jelata, maka ragam hias menunjukkan proses yang sebaliknya: Ia berasal dari rakyat jelata, yang lambat laun penyebarannya sampai ditingkatan atas. Kenyataan, bahwa di masa lampau kalangan istana pun ikut aktif menghidupkan dan mengerjakan cabang kesenian ini (terutama pembuatan kain tenun dan batik), tidak mengurangi anggapan, bahwa ragam hias ini pertama-tama adalah seni rakyat. Sumber ilham untuk ragam baru harus dicari dari antara mereka: dari tukang-tukang yang tidak tahu-menahu tentang dunia kesenimanan, bahkan yang sama sekali tidak mengetahui, bahwa yang disebutnya itu “bernilai seni”. Salah satu sebabnya yang terpenting, ialah fakta, bahwa ragam hias selalu timbul dari desakan kebutuhan rohani untuk memberikan ragam dan kecintaan pada objek sehari-hari, seperti pakaian, perabotan, perkakas, dan lain-lain, yang umumnya dihasilkan oleh rakyat jelata.

Pada ragam hias di Indonesia seringkali terdapat kecenderungan terhadap abstraksi, sedangkan tidak jarang pula terdapat stilasi ritmis dari motif organis, yang digabungkan dengan motif abstrak, seperti yang umumm sekali terdapat pada batik. Kecenderungan ragam hias Indonesia terhadap abstraksi ini sama sekali bukanlah suatu pengecualian, karena hiasan abstrak diketemukan juga pada ragam hias dari daerah lain. Yang umum sekali ialah ornamen geometris, yang pengerjaannya disebabkan oleh proses pengulangan, dimana proses yang semacam ini —seperti pada tenunan dan anyaman— sungguh-sungguh merupakan “jalan keluar” yang paling mudah.

Justru karena ragam hias merupakan sebagian dari proses pembuatan benda-benda keperluan sehari-hari di segenap penjuru dunia dari masa ke masa, maka juga ragam hias di Indonesia tidak luput dari persifatannya yang universal. Motif yang sama serta abstraksi bentuk dan pengerjaan teknis yang serupa seperti yang terjadi dengan spontan di setiap penjuru dunia dari masa ke masa. Contoh yang nyata ialah ukiran dari Norwegia yang tidak banyak berbeda dengan ukiran yang berasal dari Selandia Baru, sedangkan pengulangan-pengulangan tertentu dari alat tenun dapat menimbulkan pola geometris yang mungkin sekali dilakukan dan diulangi di berbagai pelosok dunia dari masa ke masa, tanpa adanya kontak satu sama lain.

Pertanda lain yang khas, yang membedakan ragam hias Indonesia khususnya, dan seni Timur umumnya, ialah terdapatnya fusi antara prinsip organis dan prinsip geometris (gambar 2), yang ternyata kedua-duanya dapat hidup berdampingan dengan suburnya, dimana batik dan candi merupakan contoh yang hidup.

Jika kita selidiki berbagai-bagai motif yang dipergunakan dalam ragam hias Indonesia, maka kita akan dikagetkan oleh utuhnya beberapa jenis motif yang kadang-kadang jauh menjangkau ke masa sebelum pengaruh Hindu. Memang, ada tersembunyi konservatisme dalam ragam hias Indonesia ini: Beberapa jenis motif dapat bertahan berabad-abad lamanya tanpa terasa adanya kebutuhan untuk menggantinya dengan suatu motif yang baru atau sekurang-kurangnya memperbaharuinya. Secara instingtif diketahuinya, bahwa variasi yang tidak berkesudahan dapat diperoleh dengan kombinasi beberapa motif dan warna, tanpa adanya suatu kebutuhan untuk “menciptakan” motif yang baru, bahkan tidak jarang pula dilaksanakan suatu kombinasi antara motif lama dengan baru, tanpa terasa janggal.

Meskipun motif lama dan baru, asli dan asing begitu erat terjalin, namun suatu hal yang tetap utuh, bahkan yang menjadi ciri yang khas dalam ragam hias di Indonesia: Ketidaksukaan akan kekosongan. Sifat inilah yang menerangkan, mengapa hiasan-hiasan, baik yang terdapat pada ukiran, maupun yang terdapat pada batik, begitu “penuh” (gambar 3), mengapa tidak diambil motif “langit” sebagai latar motif-motif tertentu. Rupa-rupanya sifat ini erat sekali hubungannya dengan keadaan alam di Indonesia yang karena kesuburan tanahnya setiap jenis tanaman tumbuh dengan lebatnya, sehingga tidak pernah terdapat suatu pemandangan alam yang “kosong”.

Di antara jenis ragam hias Indonesia yang paling “berani” meninggalkan tradisi lama ialah batik, yang kini terutama dalam pewarnaannya —begitu jauh menyimpang dari tradisi coklat biru, sedangkan motif hiasnya lebih disesuaikan dengan warna-warna yang dipakai (hijau, merah, kuning, biru, ungu, dan lain-lain). Mengingat kenyataan bahwa warna-warna ini tidak selamanya mudah didapat, maka ilham untuk “jenis batik” yang baru ini biasanya timbul berhubung dengan persediaan warna-warna yang dapat peroleh pada suatu waktu. Berhubung dengan semakin populernya batik sebagai bahan gaun, maka digunakan motif yang lebih “modern”, seperti anak catur, kartu bridge, dan lain-lain. Sentra batik gaya baru ialah Garut, Pekalongan dan Banyumas.

Bagi perkembangan seni rupa di Indonesia kehadiran ragam hias menjadi suatu sumbangan yang berharga, karena ia melambangkan suatu cabang seni yang bebas dari segala purbasangka, yang biasanya merupakan perintang utama bagi setiap kemekaran. Melalui ragam hias kita dapat merenungkan ucapan Gauguin yang menyatakan bahwa kekeliruan yang besar dimulai pada orang-orang Yunani, karena seni selamanya merupakan suatu pernyataan, dan sekali-kali bukan penyunglapan ilusi ruang. Sebetulnya orang-orang Yunani tidak salah, ia tidak bertanggung jawab terhadap anggapan yang keliru dalam bidang seni rupa, karena penciptaan ilusi ruang dimaksudkannya hanya sebagai media dan bukan sebagai tujuan pernyataan seninya.

Di dalam perkembangan seni rupa Indonesia tempat yang layak harus diberikan kepada seniman-seniman tanpa nama dalam ragam hias, yang meskipun melalui berbagai pengaruh, berhasil mempertahankan keasliannya, berkat kebebasan dari prasangka, berkat kontak yang tidak pernah putus dengan alam sekelilingnya.