Sumber: Pertjatoeran Doenia dan Film, No. 4, Tahun I, 1 September 1941, hlm. 12-13.
Tiap yang hidup menghendaki kemajuan. Kemajuan yang dibutuhi oleh kehendak dunia dan zaman.
Perputaran dunia yang menghasilkan kemajuan ini berdasar pula kepada semangat, kepada batin manusia yang hidup, berkobar-kobar dari zaman ke zaman. Inilah yang menyebabkan jiwa manusia senantiasa menghendaki perubahan, keluhuran batin dan inilah pula kunci daripada sekalian kesenian yang hidup di antara kita, kesenian yang menjadi setawar sedingin bagi rohani yang sebagai kehausan senantiasa haus dan lapar akan kehalusan dan ketinggian budi.
Tetapi… biarpun zaman beredar, cara manusia hidup bertukar, adat lembaganya berubah dari tahun ke tahun, adalah satu yang tinggal tetap dan tiada berubah, yaitu romantiek!
Semenjak dunia terbentang sampai kepada dinihari romantiek masih saja mempengaruhi jiwa manusia, bahkan dalam zaman yang akan datang keadaan ini akan tinggal tetap, tiada berubah.
Cuma, bersamaan dengan jalannya proses kemajuan dalam perputaran dunia dan peredaran zaman, juga romantiek menghendaki penghalusan, sepuhan, sepadan dengan segala macam perubahan yang timbul dalam kemajuan dunia serta segala alat dan isinya.
Segala apa yang hidup di atas dunia ini, tarik menarik, yang satu mempengaruhi yang lain, dan dengan jalan demikian tiap langkah kemajuan itu bersendi kepada sifat yang timbul dalam masyarakat.
Kemajuan kesenian pun dipengaruhi oleh keadaan hidup manusia, dikunci oleh tarikan jiwa, semangat halus yang diselubungi oleh romantiek tadi.
*
Kita meninjau sebentar ke dalam dunia kemidi.
Dalam memperkatakan dunia kemidi di Indonesia, dengan cara kasarnya haruslah kita bagi, kemidi bangsawan (opera atau kemidi stamboel) dan tonil dimainkan dalam beberapa babak, diselingi dengan beberapa axtranummers sebagai intermeso.
Dunia tonil ini semenjak tahun 1930/1931 tambah maju ke depan, tambah mengikat perhatian publik kita, sehingga kemidi bangsawan terdesak hidupnya.
Kalau melihat suksesnya pertunjukan-pertunjukan tonil modern itu, bangsawan lama seakan-akan tidak mendapat tempat lagi.
Di tanah Melayu, bangsawan lama itu masih terkemuka, sampai datang saatnya Dardanella membawa langgam baru, yang Indonesia sudah kenal lebih dahulu.
Oleh karena dalam tonil, pertunjukan itu bersendi kepada sifat-sifat yang lain daripada bangsawan, pertunjukan tonil itu mendapat dan menarik perhatian yang luar biasa.
Tetapi sesungguh pun perhatian publik, tampaknya seakan-akan tertumpah kepada pertunjukan tonil, dan bangsawan mundur ke belakang dalam praktik keliling dengan “kemidi” kenyataan bahasa perasaan “romantiek” yang diayunkan oleh gilang gemilang dan suara nyanyian yang empuk, tidak mau hilang-hilangnya. Selalu kita menerima pertanyaan untuk pertunjukan semacam “bangsawan kuno”.
Perubahan dalam kemajuan dunia kemidi itu, kalau kita meninjau lebih jauh, sebenarnya diseluruh dunia ini serupa saja.
Perubahan koers dalam dunia kemidi Indonesia yang dibawa oleh tooneelgezelschap pun modern rupanya mendapat jejak dalam dunia film.
Melihat pada sejarah tontonan, memang tonil (pertunjukan tonil) yang jadi perintis jalan dari film.
Kadang-kadang film yang memberikan bayangan kepada tonil.
Selaginya tonil maju deras, maka pasar film pun penuh dengan cerita-cerita drama, tragedi, dan lain-lain.
Tetapi ketika operette (opera) terkemuka kembali, maka kita mendapat lagi film operette, dengan dekor dan pakaian yang gilang-gemilang, nyanyian yang merdu.
Perhatian publik pun tertumpah kepada film yang demikian.
Dunia berputar terus!
Pada waktu yang akhir ini, kita lihat lagi film-film yang didasarkan pada cerita kuno, pada histori, dan pada dongeng-dongeng di zaman purbakala.
Dengan cara yang dimoderniseer, dicocokkan pada kemajuan yang mengelilingi kehidupan manusia di atas dunia ini, kembali dihidangkan romantiek kuno.
Bagaimana sambutan publik?
Luar biasa.
Sebagai bukti, kita dapat menyebutkan sukses yang luar biasa yang didapat oleh film “De Dief van Bagdad”. Satu dongengan yang sangat berani digambarkan, tetapi ini mengikat perhatian orang banyak sangat luar biasa sekali.
Ini menjadi barometer dari semangat publik, semangat ramai, yang senantiasa diselimuti oleh romantiek yang tidak mau lekang-lekangnya.
Tontonan semacam ini menambah menarik perhatian, karena kemajuan teknik dalam pembikinan film.
Keadaan ini sebenarnya pada kira-kira 10 tahun yang lewat sudah dimulai juga oleh bangsawan, dan dalam hal ini kita boleh sebutkan, yang terkemuka bangsawan-bangsawan dari Straits, yang dapat mempertunjukkan di atas tonilnya “orang terbang”, bintang pecah, dan lain-lain sebagainya dikerjakan dengan kekuatan listrik.
*
Semenjak film Indonesia maju lagi ke tengah pasar tontonan, kita lihat bahasa jalan yang ditempuh adalah serupa dengan tonil. Bahan dari cerita kebanyakan diambil dasarnya pada keadaan dalam masyarakat, dari mana disusun drama, tragedi, dan lain-lain.
Tetapi apakah pasar film kita selamanya mesti dipenuhi dengan satu macam hidangan?
Seperti juga yang dapat kita lihat dalam proses kemajuan tonil, juga film menuju dan mesti ditujukan ke arah itu.
*
Dalam memperkatakan ini, kita teringat pada pembicaraan tiga orang pada 5 tahun yang lalu, yaitu Anjar Asmara, Zoebir (sekarang representatif dari His Master’s Voice di Singapura) dan penulis karangan ini, ketika kembali dari India memperkatakan ke arah mana kemajuan tonil harus kita layangkan, disaat itu, kita sudah bercita-cita untuk memoderniseer kembali hidangan-hidangan kuno, dengan menghilangkan segala paksaan dalam permainan dan nyanyian.
Tetapi cita-cita itu tinggal menjadi cita-cita, mungkin karena keadaan belum lagi mengizinkan.
Di waktu itu kami mencoba dengan Bolero menghidangkan “Asmara Dana” yang disendikan pada cita-cita itu. Mungkin karena alat-alat tidak cukup sebab untuk pertunjukan semacam itu amat penting sekali kedudukan satu pengarang lagu yang dapat mencocokkan lagu dengan jalannya cerita, Langkah permulaan yang kami langkahkan mendapat sambutan yang memuaskan.
Mungkin juga di waktu itu kesalahan tersembunyi pada isi yang amat halus sekali kami masukkan dalam cerita itu.
Tetapi cita-cita itu tidak mati, cuma menunggu saatnya saja.
Rupanya saat itu datang di waktu sekarang…
Cuma bertukar tempat, dari tonil ke layar putih.
*
Ketika penulis ini setelahnya mengaso sebentar balik lagi ke Batawood, bertemu dengan tuan Anjar Asmara, memperkatakan kembali apa yang kami sudah perkatakan pada waktu 5 tahun yang lalu, … dan pembicaraan itu dipercakapkan dengan tuan The Teng Chun, Direktur dari Java Industrial Film (J.I.F.), kenyataan, bahasa juga tuan The Teng Chun sudah lama mengandung niat membikin film-film yang demikian.
Bertemu ruas dengan buku.
Pembicaraan tentang pembikinan film ini bertambah tegas, karena tuan The Teng Chun sendiri sudah banyak mempunyai pengalaman dalam pembikinan “film-tricks”.
J.I.F. dengan lantas mengadakan persediaan, buat pembikinan ini film yang sebenarnya kita mesti akui, dalam film Indonesia sebagai satu eksperimen baru yang berani, sebab… film yang semacam ini memakan ongkos jauh lebih besar dari film-film biasa.
Settingnya harus diatur sangat rapi sekali, pakaian yang mengkilap dan gilang-gemilang…
Yang terkemuka sekali dalam film semacam ini adalah fotografie-tricks, yang bakal mengagumkan, dan mengherankan penonton.
Film ini sudah kami mulai mengerjakannya.
Buat pertama, New J.I.F. menjadikan Ratna Moetoe Manikam yang didasarkan pada cerita Djoela Djoeli Bintang Tiga…
Pada pertengahan November diharap film itu rampung.