Sumber: Indonesia, Nomor Bali, hlm. 89-97.
McPhee menemukan bahan untuk studinya di desa tempat tinggalnya, ialah desa Sayan di Gianjar. Sayan tak mempunyai tradisi kebudayaan, penduduknya adalah petani-petani miskin. Hanya sedikit terdapat gamelan dan yang ada berada dalam keadaan terbengkalai. Yang satu-satunya besar sudah tak terurus lagi berhubung dengan kemiskinan, kelalaian dan sejak hilangnya gong besar. Pendeknya, tak ada hidup musik dan kalau ada hanya sedikit saja.
Untuk menghidupkan kembali hidup musik, mulailah McPhee membeli gamelan dari tipe yang populer, terdiri dari xylofoon, kendang, dan beberapa alat-alat pukul lagi. Gamelan ini diberikannya kepada suatu perkumpulan gandrung yang baru. Dan walaupun pertunjukan gandrung, dimana ada seorang anak dalam travesti menari bersama dengan orang-orang besar —di Sayan juga dengan wanita-wanita— sangat terkenal dikebanyakan tempat di Bali, sukses sedikit sekali di desa ini.
Sesudah tinggal selama dua tahun di Bali, untuk beberapa lamanya pergi ke Jawa, tapi kemudian kembali lagi di Bali McPhee membeli untuk studinya dan kesukaannya sendiri suatu gamelan besar yang bagus yang disebut Semar Pegulingan, dan lalu mendirikan suatu perkumpulan yang terdiri dari pemain-pemain. Seperti biasa sebagai pengikat untuk seka ini diadakan uang pangkal dan denda kalau ada yang mangkir pada suatu pertemuan. McPhee pun mengadakan guru-guru yang didatangkannya dari pelbagai daerah pulau itu, dan ia mendapat hasil yang baik, sebab sesudah setahun dengan rajin berlatih perkumpulan itu pun telah mempunyai repertoar yang besar dan teknik yang baik sekali. Tapi walaupun kemudian ternyata padanya bahwa dengan itu semua tenaga-tenaga yang baik sudah termasuk perkumpulan di antaranya ada yang muda-muda dan yang barusan kawin, tapi diantara mereka pula banyak yang belum pernah main sebelumnya.
Pada repertoar gamelannya itu termasuk juga suatu musik yang biasa dimainkan pada pertunjukan-pertunjukan barong. Sebab walaupun desa itu mempunyai barong sendiri, namun ia tak dapat dilangsungkan sebab ketiadaan gamelannya. Begitu pula musik barong yang melodramatis dan sangat riuh itu sudah sejak beberapa tahun lamanya tak ada lagi di desa itu. Pembaharuan penyelidikannya menimbulkan akibat yang aneh-aneh.
Pada suatu hari Galungan, pada permulaan bulan untuk berpesta bagi orang Bali, McPhee dkejutkan oleh datang mendekatnya bunyi alat-alat musik dan bunyi lainnya, seakan-akan menandakan suatu prosesi yang penting. Tapi apa yang ternyata? Bunyi kendang, bekken dari tuts metalofon dan bunyi gong yang patetis yang ada retak di tengahnya. Musiknya cukup bagus dan hidup, tapi…?
Ternyata itu adalah seka barong kepunyaan mereka sendiri, didirikan oleh anak-anak desa McPhee, yang rupanya terpengaruh oleh —untuk mereka adalah baru— musik barong dengan aksen-aksennya yang riuh itu. Hal ini menimbulkan hasrat besar pada orang Bali dan membayangkan gerak-gerak dan keadaan-keadaan. Musik semacam itu tak lain daripada memikat mereka. Untuk menghidupkan benar-benar apa yang terbayang pada mereka itu, mereka meniru topeng barong dan membuatnya dari jerami yang seharusnya dari bulu atau miang tanaman; topeng tua, perhiasannya bukan dari kulit tapi dari kertas. Gamelan mereka himpun dari alat-alat musik yang tak ada harganya lagi dan tak dipakai lagi. Selain dari itu banyak pula anak-anak, sebagiannya memakai topeng, siap untuk mengadakan pertunjukan, yang acapkali ada persamaannya dengan tari barong. Barong itu pada bagian akhirnya bisa memainkan lagi suatu peran.
Ketika mereka masuk pekarangan McPhee untuk memperlihatkan kecakapannya, mereka mengakhiri permainan dengan mempertunjukan cupak. Malah-malah mereka memberikan versi sendiri terhadapnya. Biasanya menurut tempo permainan orang Bali pertunjukan semacam itu mengambil waktu empat atau lima jam. Tapi anak-anak dengan tak sadar berhasil membikinnya menjadi suatu rentetan cerita yang pendek-pendek, yang masih tak kehilangan esensinya. Sehingga intepretasi mereka yang naif mengenai figur-figur dan pilihan mereka terhadap tonil-tonil itu bisa memberikan gambaran pandangan mereka yang tepat mengenai maksud sebenarnya dari permainan.
Disini hal itu berada dalam cara kecilan: kesukaan akan kelucuan-kelucuan yang banyak; bakat yang sudah ada untuk menyatakan yang dramatis riuh dan musikal, penikmatan sensual pada kengerian dari yang diluar batas kesanggupan manusia, kebiasaannya untuk bisa menimbulkan suatu “kesan yang umum” tapi hidup dengan mengabaikan perfeksi dari bagian-bagian kecilnya.
Tapi walaupun begitu kelihatan juga suatu kemajuan. Permainan kendang umpamanya menjadi lebih terang. Ada beberapa alat-alat musik yang ditambahkan pada orkes. Pun repertoar mendapat peluasan. Pendeknya, ada kerja yang sungguh-sungguh seperti sudah seharusnya pada “orang-orang kecil”. Kesan daripada kesungguhan ini, ketekunan pada pekerjaan dan tidak pada diri sendiri, bagi orang luar hal itu paling mengherankan. Kalau ada seorang pemain merasa malu atau bingung dalam permainannya maka ketajaman dari kawan-kawan lainnya segera datang; “Tolol benar kau ini, cepat-cepatlah,” dan sebagainya.
Begitu berjalan kira-kira enam bulan lamanya… tapi tiba-tiba semua itu terhenti. Hal ini sudah diduga duluan oleh McPhee. Antusiasme yang sebesar-besarnya dan kelesuan yang tiba-tiba sudah menjadi watak orang Bali. Ini pun terdapat pada anak-anak dan dalam soal musik McPhee melihatnya dengan nyata, ialah pada perkumpulan dari pemain-pemain trom mulut yang ia sudah dirikan sebelumnya. Walaupun genggong-genggong mempunyai kemungkinan suara yang banyak dan baik yang ia dengan susah kumpulkan, begitu pula dengan mengadakan gurunya, perkumpulan itu lekas mati dan alat-alat musik itu hilang semuanya. Ketika hal itu ditanyakannya, anak-anak itu menjawab, bahwa mereka telah bosan dengan permainan itu. Tapi kemudian ternyata bahwa alasannya ialah si guru berasal dari desa yang terdekat dan tak mempunyai repertoar yang sungguh-sungguh baru.
Tetapi yang mengherankan McPhee ialah timbulnya seka barong dengan tiba-tiba itu. Tapi keheranan itu pun segera berkurang: Apakah anak-anak petani Bali sering berada di luar karena mengurus itik-itiknya atau kerbau-kerbaunya, memotong rumput atau lainnya —atau ia mengurus rumah tangga seperti terjadi dengan kedua anak-anak dalam rumah McPhee, dengan mengerjakan segala macam pekerjaan kecil-kecil, memotong rumput untuk kelinci, mencari wortel dan sayuran untuk dimakan tiap-tiap hari, memasang lampu kalau hari telah malam dan acapkali juga mengerjakan sesuatu dengan tak disuruh, tapi yang dianggap mereka perlu— tapi namun saudara tak akan tahu apa yang mereka pikirkan atau rasakan dan apa yang mereka kerjakan dalam waktu yang luang. Bukan karena hendak menyembunyikan sesuatu, tapi —ini sudah menjadi sifat orang Bali— karena tak timbul pada pikiran mereka untuk menceritakan sesuatu tentang dirinya atau apa yang terjadi di desanya.
Kalau kita perhatikan salah seorang diantara mereka kita selamanya teringat pada seekor monyet kecil, yang sama sekali tak punya konsentrasi yang lama, pada suatu ketika sangat sibuk dengan sesuatu, tiba-tiba merasa capek dan melompat mengerjakan yang lain. Begitu pula bisa kejadian dengan anak-anak Bali, bahwa pada suatu ketika mereka sibuk memainkan suatu frase musik atau irama yang amat sulit pada sesuatu alat musik yang terletak di sekitar rumah; pun juga di tuts-tuts hitam dari piano. Dan itu dengan kecermatan yang tiba-tiba dan virtuositeit yang cepat tumbuhnya. Ketika gamelan besar sudah dibicarakan duluan itu baru datang, ia segera menarik perhatian beberapa dari mereka terutama yang paling musikal seperti semut-semut kalau mencium madu. Pada waktu-waktu yang tidak disangka-sangkakan mereka belajar bermain pada gamelan itu. Tapi McPhee akhirnya mengambil keputusan untuk mengadakan peraturan sebab ada kulit kendang yang robek, ada simbal yang hilang, begitu pula kayu-kayu pemukulnya.
Tetapi perhatian mereka terhadap suatu penggambaran musikal atau penggambaran dramatis bisa lama, dari mula hingga akhir mereka bisa menuruti pemain atau penari dengan teliti. Ada kalanya juga mereka tertidur sambil bersandar pada satu sama lainnya kalau pemain-pemain bertele-tele atau berpanjang-panjang.
Pada suatu hari McPhee membeli lagi suatu gamelan dan mencari pula pemain-pemainnya, tapi terpaksa ia mempergunakan anak-anak itu juga, yang tua-tua sudah tak bisa dipakai lagi dan jiwanya sudah beku dan lamban —dan walaupun anak-anak itu belum pernah melihat gamelan sebesar itu, tapi mereka segera bersedia dan penuh antusiasme. Mereka suka pada gamelan yang benar-benar dan apalagi untuk mereka saja. Mereka berjanji akan melengkapkan pemainnya yang berjumlah dua puluh lima orang itu. Mereka akan belajar sungguh-sungguh dan akan berlatih tiap-tiap hari. Tidak, mereka tak akan menjadi bosan.
Ketika McPhee hendak berangkat ke Jawa buat sebulan lamanya, gamelan itu pun diberikannya kepada mereka supaya mereka bisa membiasakan diri pada gamelan besar itu. Gamelan itu adalah gamelan angklung dari tipe yang lama, jadi yang benar-benar ada angklungnya yang begitu terkenal di pulau Jawa. Di pulau Bali ia tinggal di desa-desa kecil di pegunungan, seterusnya tak dikenali lagi. Gamelan ini dengan ditambah dengan beberapa instrumen yang dibuat dari bambu memberikan suatu warna suara yang tersendiri. Talanya pun berlainan.
Ketika McPhee kembali ia memanggil seka baru itu, sebab ia ingin tahu akan kemajuan mereka. Hanya ada beberapa anak saja yang pernah memainkan sesuatu instrumen —kecuali trom mulut itu. Tapi ia telah mengira, bahwa yang paling musikal dengan sendirinya akan memilih instrumen-instrumen yang sulit. Teknik dari kebanyakan instrumen, cara memukul dan cara memainkan tuts metalofon dan betapa memainkan nada-nada oleh kedua pemain reyong, semua ini sudah bisa mereka bayangkan, karena banyak mendengar dan melihatnya. Tentu mereka sudah bisa memainkan sesuatu lagu yang mudah.
Tapi McPhee benar-benar heran. Bukan satu saja tapi tiga lagu yang mereka mainkan untuknya. Diantaranya ada komposisi yang panjang dan yang pelik, penuh dengan bagian-bagian berirama yang boleh dikata mudah juga, yang tak singkop. Pun juga betul-betul polifoni dengan paling sedikit empat melodi, yang dua begitu sulitnya, sehingga membikin bingung seorang Eropa yang biasa mendengar musik. Tapi semua ini mereka bisa lakukan, punya watak, malah ada stijlnya. Pergantian tempo berhasil sekali, termasuk rallentando akhir yang sesuai sekali. Dan ada juga percobaan-percobaan untuk mengadakan macam-macam dinamik.
Benar juga tempo-tempo sekali-sekali lepas, tukang kendang kadang-kadang meleset, tapi semua itu mempunyai suara yang terang dan sedikit sekali not-not yang salah. Kita bisa mengatakan, bahwa ketiga komposisi ini tidak seluruhnya baru untuk mereka, bahwa idiomnya mereka telah kenal, tapi apa yang telah dicapai oleh mereka dengan guru yang dicari mereka sendiri dan untuk sementara itu, kesulitan-kesulitan yang mereka telah atasi, membuktikan juga bakat musik dan latihan-latihan yang sungguh-sungguh. Cara mereka bekerja dan umur mereka yang masih muda itu, tak lain daripada mengagumkan. Tapi kedewasaan yang cepat adalah typisch pada orang Bali. Orang-orang yang lebih tua dalam keadaan sama dan dalam waktu yang sedikit itu tentu tak bisa mencapai hasil demikian.
Ketika mereka sudah mempunyai guru yang sebenarnya dan mulai belajar betul-betul, guru ini pun menyatakan bahwa mereka benar-benar berbakat; itu pula anggapan pemimpin perkumpulan gamelan dari pemuda-pemuda yang lebih tua dari mereka.
Mengenai pemain-pemainnya seorang demi seorang adalah Kayun, salah seorang pesuruh, yang paling musikal. Ini pun lekas diketahui oleh gurunya. Kayun sekarang memainkan pembukaan solo dari komposisi yang dimainkan, memberikan tanda kalau ada perubahan tempo. Ia baru berumur tujuh tahun, malu-malu dan halus kelakuannya, tapi menarik karena wataknya yang bebas (onafhankelijk) itu. Ia mempunyai pendengaran yang tajam dan yang cepat sekali pada yang berirama. Luar, barangkali lebih tua setahun, hampir sama cepatnya menangkap. Lungsur hampir berumur sembilan tahun. Secepat yang dua tadi ia tidak, tapi ia belajar sungguh-sungguh, penurut dan cepat belajarnya. Kantin lebih tua pula dari si Lungsur, mungkin sudah duabelas tahun, ernstig dan bertemperamen yang flegmatis, semangatnya lamban daripada yang disebut di atas. Tapi dialah yang setahun sebelumnya dalam orkes barong meniru dengan baiknya dengan permainan kendangnya aksen-aksesn dari musik barong yang tulen yakni aksen-aksen yang kuat, singkop dan sangat dinamis. Jati berumur delapan, seorang anak yang penuh hidup dan nakal, tidak terlampau cakap, tapi dengan kesukaan yang besar pada apa ia lakukan, ia mendapat rinkelbekkens. Dan dengan permainan simbal itu ia cocok sekali —selain daripada itu masih ada beberapa anak-anak, pentingnya hanya karena lebih muda atau lebih tua dari kebanyakan mereka. Dua diantaranya yang malamnya datang agak lambat, yang seorang belum lima tahun. Saudara tentu akan mengira bahwa mereka tak bisa berbuat apa-apa, tapi mereka mengambil dua dari tuts metalofon yang kecil-kecil dan beberapa hari kemudiannya mereka dengan sangat mudah memainkan figurasi-figurasi yang sulit-sulit. Sebaliknya ada beberapa orang yang lebih tua, baik kelakuannya tapi yang kelihatan agak bodoh, disuruh oleh kawan-kawannya yang muda-muda bermain pada instrumen-instrumen yang paling gampang.
Komposisi pertama yang diajarkan oleh guru baru dari Selat (60 km sebelah timur desa Sayan) adalah Jaran Sirig. Bagiannya yang pertama adalah mudah, quasi unisono, kesulitannya hanya pada yang agak singkop, tapi bagian yang kedua sungguh-sungguh sulit. Disini berhadapan dengan melodi dari instrumen-instrumen yang besaran suatu arabeske figuratif dalam dua suara dari instrumen-instrumen kecilan, dengan not-not yang terus-menerus singkop pada kedua suaranya.
Cara bekerja gurunya aneh sekali. Ia belum pernah memberikan pelajaran pada anak-anak, sebab ini tak pernah kejadian. Ia tak menerangkan apa-apa, menurut pendapat orang Bali dalam musik itu tak ada yang sebenarnya harus diterangkan. Tapi ia sedikitpun tak berkata apa-apa. Ia hanya memainkan komposisi itu, mula-mula bagian yang pertama seluruhnya, kemudian fragmen-fragmennya, lalu dengan fragmen-fragmen itu kembali kepada seluruhnya. Lekas ia menyuruh anak-anak turut main, betapa pun juga. Mula-mula mereka memainkan melodi. Sekali-sekali guru menyuruh mereka berhenti karena kesalahan yang sering dibuat. Selama latihan yang kedua mereka lalu pindah ke angklung. Banyak dari permainan bagian angklung yang harus dimainkan bersama seperti juga dalam permainan reyong. Tapi reyong membagi not-not dari figurasi empat nada pada dua pemain, pada pemain angklung dibaginya pada empat orang: tiap orang satu nada. Tapi saudara boleh mencobanya, walaupun seluruh figurasi itu saudara tahu benar-benar, untuk setiap kali bisa mengambil not saudara pada waktunya. Bagi McPhee hal itu adalah sesuatu yang tak mungkin. Untuk mencobanya ia menyuruh mereka memainkan komposisi yang lama. Guru yang baru itu mengambil satu angklung, guru dari seka gamelan mengambil angklung kedua; Kayun dan Luar berturut-turut mengambil yang ketiga dan keempat. Mula-mula kedua anak ini dengan kepala agak terlena karena perhatiannya, mendengar dengan sungguh-sungguh, bingung dan ragu-ragu mengambil notnya. Tapi tiba-tiba si Kayun mengerti, dan mulai lancar permainannya, malah dengan singkop-singkop sendiri. Sedangkan permainan gamelan Bali yang modern kurang memberikan kesempatan pada invallen sesaat-sesaat.
Permainan makin lama makin teratur, artinya latihan-latihan dipergunakan juga untuk memasukkan yang baru-baru. Kalau si guru atau seorang dua dari pemain-pemain mendapatkan suatu pikiran baru mengenai orkestrasi, mau mengubah dinamik atau figurasi atau mendapat pikiran yang baru-baru yang mereka dengarkan dari mana saja, maka mereka harus mengemukakan hal itu. Kalau pikiran-pikiran itu diterima, maka itu dipelajari bersama-sama. Pada melodi selamanya masih bisa diadakan improvisasi hiasan-hiasan. Tetapi pada jalan figurasi-figurasi, entah itu mengenai jalannya yang membalik, yang primer dan mudah atau yang menyimpang, maka not-not yang baru secara improvisasi bisa menghilangkan perimbangan yang benar dan terang dari pada suaranya.
Teknik modern itu rupanya malah menggampangkan pemain-pemainnya. Dari mereka tak ada diminta kecakapan perseorangan yang banyak, yang sulit mereka bisa penuhi. Tiap pemain memainkan satu bagian yang tertentu —diluar figurasi-figurasi dari musik modern yang mencapekkan— yang jika dilihat dan dimainkan cukup mudah. Itu bisa suatu melodi atau variasinya yang singkop. Juga bagian-bagian seperti dari pemain angklung di atas ini tidak sulit bagi seorang Bali. Memang terjadi figur-figur satu nada (atau dua nada) dengan irama yang singkop sangat. Dan adalah perasaan mereka yang ritmis dan poliritmis yang menyanggupkan mereka untuk mencampurkan patronen ini dalam keseluruhannya.
Kelihatan juga bahwa anak-anak ini lebih mudah dan cepat belajar daripada pemuda-pemuda dari seka besar itu. Tapi kadang-kadang timbul juga kesulitan. Pada malam latihan ketiga umpamanya, ketika si guru mulai dengan bagian penghabisan dari Jaran Sirig. Bagian ini mempunyai pembukaan solo tersendiri, dan ini dilakukan oleh si guru dengan rubato yang besar, ia terburu-buru memainkan dan melalui satu atau dua not utama, sehingga titik berat dari frase itu hilang. Anak-anak tak bisa bersama-sama mulai, sehingga timbullah kekacauan. Memainkan pembukaan itu dengan biasa, aneh benar tak bisa dilakukan oleh guru itu. Tapi semua itu beres kembali sesudah McPhee memainkannya sekali. Dua suara figurasi (figuratie stemmen) dari bagian satu demi satu dipelajari kemudian disatukan.
Lima hari kemudiannya, mereka memainkan komposisi itu dengan tak ditolong oleh gurunya lagi, tak membikin kesalahan-kesalahan, walaupun sekali-kali iramanya agak meleset, permainan kendang belum sempurna, permainan rinkelbekkens belum cepat sekali, permain gong yang pintar itu masih memukul tidak pada waktunya dan walaupun ada yang memainkan bagiannya agak cepat.
Sesudah lima minggu mereka telah mempunyai esmbilan komposisi yang baru dalam repertoar mereka: tiap malam mereka berlatih. Semuanya berjalan sungguh-sungguh. Mereka mempunyai tongtong untuk memanggil para anggota, tapi taka da yang dapat denda karena datang terlambat. Semuanya kelewat rajin, juga karena tiga minggu lagi mereka akan turut pesta candi bersama-sama gamelan besar.
Pesta candi itu berlangsunglah dengan hasil yang memuaskan. Orkes anak-anak ini turut meramaikannya dan mendapat penghargaan dari orang banyak. Dengan musik mereka menolong membawakan dewa-dewa ke sumber permandian yang jauh untuk dimandikan dan baru kembali pada malamnya. Mereka tinggal di sana semalam-malaman dengan selalu memperdengarkan repertoar mereka. Juga angklung yang tua yang telah sering dilupakan itu mendapat sukses juga.
Begitulah pelajaran musik diberikan di pulau Bali. Seperti orang menggantung satu lukisan dan berkata: “Coba-cobalah kalau kau bisa menggambar begitu.”
Bagian besar dari pekerjaan dilakukan oleh anak-anak sendiri dengan kerja sama yang baik, yang juga menjadi jaminan bahwa seseorang tak lebih banyak belajar daripada yang disanggupi bakatnya. Mereka mempunyai semua kesempatan. Dengan banyak mendengarkan musik, pengetahuan yang mereka kumpulkan dengan tak sadar, mereka bawa ke dalam praktek.
Suatu perbedaan besar antara lukisan kanak-kanak dengan permainan musik dari sebagian anak-anak itu juga, ialah bahwa yang pertama adalah “pekerjaan anak-anak” dan yang penghabisan mencapai tingkat pekerjaan “orang besar”. Apa sebabnya? Tanya kita, McPhee mengira, karena bagi orang Bali mengucap dalam musik itu biasanya lebih kuat.
***
* Catatan redaksi majalah Indonesia: “Telah waktunya bagi kita di Indonesia sekarang ini untuk bisa membedakan musik seni dengan musik rakyat atau kunstmuziek dengan volkmuziek. Ilmu pengetahuan musik dan sosiologi sudah begitu jauh penyelidikannya untuk bisa mengemukakan perbedaan dan kedudukan masing-masing dari kedua macam musik ini. Pertumbuhan ke musik seni Indonesia sudah kentara belakangan ini antara lainnya dengan ciptaan-ciptaan Amir Pasaribu, R.A.J. Sudjasmin, dan lain-lain lagi, dan musik rakyat banyak sekali terdapat di Indonesia, seperti gamelan Jawa dan Bali. Di Eropa telah dibuktikan betapa musik rakyat itu bisa menjadi sumber yang baik untuk musik seni, seperti telah dilakukan oleh komponis Béla Bartók di Hongaria. Kata “rakyat” disini tak sama dengan “rakyat” dalam arti politis ialah bagian masyarakat yang terbesar seperti kaum pekerja biasa, petani, dan sebagainya. “Rakyat” disini adalah melingkupi seluruh bangsa dan seluruh lapisan. Seperti musik seni dan musik rakyat mempunyai kedudukannya masing-masing, maka nilai dan keindahannya pun berlainan. Pada musik seni adalah mencipta keindahan yang utama, pada musik rakyat adalah itu kesanggupan untuk mewujudkan saja. Di bawah ini disingkatkan suatu karangan seorang musikolog Kanada, Colin McPhee, yang pada tahun 1938 datang ke Bali, tinggal di sana untuk beberapa tahun lamanya dan menuliskan dalam majalah Djawa suatu hasil pekerjaan dan penyelidikannya. Penyingkatan ini diusahakan oleh Saudara J.A. Dungga.