DEADLOCK PADA PUISI EMOSI SEMATA

Sumber: Mimbar Indonesia, No. 39, Tahun II, 25 September 1948, hlm. 13, 17, 18.

Pada pesta penyair-penyair dimana dihidangkan air kata-kata lepas suatu kebebasan yang selama ini diikat oleh berbagai norma dan dogma. Kebebasan ini yang mula-mulanya berbentuk kebebasan yang dikehendaki akhirnya dibawa ruap yang tinggi; ia hampir menjadi avontuur, sampai datang pagi hari dan segala ruap hilang, badan lemas dan hari baru dari mana dan dengan dasar apa dimulai. Kalau seorang penyair duduk di tepi tempat tidurnya, ia ingat kelonggaran yang dialaminya kemarin. Tetapi kalau ia menyangka bahwa kelonggaran itu ialah suatu kebebasan yang sebenarnya, maka ia telah lupa membedakan bagian dari suatu keseluruhan dan ia meninggalkan bagian yang satu untuk masuk ke bagian yang lain, meninggalkan suatu dogma untuk mengambil dogma yang lain.

Di atas ini saya coba memberikan suatu gambaran tentang suatu perubahan perjalanan seni bersyair disini. Kita akan mencoba memperoleh suatu gambaran yang jelas dari permulaan sampai ke akhir.

Kalau kita perhatikan sajak-sajak yang dilahirkan oleh penyair Indonesia sekarang, generasi sekarang, generasi saya sendiri, maka akan kelihatanlah sesuatu anasir yang kuat dan yang langsung memberi cap, yaitu emosi. Emosi pada penyair sekarang. Apakah tidak pesimistis benar, jika kita mengatakan “deadlock pada puisi emosi semata”, sedangkan kita tahu bahwa emosi ini boleh dikatakan identik dengan penyair Indonesia sekarang, tanya seorang saudara barangkali. Ya, tetapi menurut kiraan saya, dalam soal ini kita tidak usah disebut pesimistis karena mengeluarkan ucapan seperti ini, bahkan ucapan ini teruntuk bagi orang yang optimistis yang melihat jalan-jalan yang makin lama makin tinggi bagi kesusastraan Indonesia, hanya jalan yang diambil ini, salah karena tidak ada waktu untuk memikirkan lebih lanjut.

Sebetulnya tidak sulit untuk membenarkan, bahwa emosi itu tidak dapat diceraikan dari puisi. Emosi ini adalah suatu tenaga pendorong dalam suatu penciptaan dan keras tidaknya tekanan suara yang dikeluarkan syair itu tergantung pada kuat tidaknya emosi yang diterima seorang penyair untuk menolong dia mentransmutir suatu perasaan. Tetapi disini terdapat suatu kesalahan: tentang apa yang ditransmutir. Hanya boleh dikatakan disini bahwa selama seorang penyair belum menjadi burgerlijk maka selama itu ia tidak akan ditinggalkan emosi.

Sekarang yang menjadi soal ialah: bagaimana kedudukan emosi pada sajak-sajak sekarang ini. Dan sekiranya puisi dan emosi ini tidak dapat diceraikan bagaimana kita dapat sampai kepada suatu ucapan “deadlock pada puisi emosi semata” ini, karena serentak dengan itu kita meniadakan kemungkinan untuk menciptakan suatu sajak. Ya, disinilah letaknya “berbahayanya” ucapan ini jika belum terbentuk pengertiannya yang sebenarnya.

Pada puisi emosi semata ini, emosi itu sudah geobjectiveerd. Apa yang pada dasarnya “bukan ujud” —seperti saya katakan tadi, ia hanyalah suatu pendorong— sekarang telah dianggap sebagai suatu “ujud”. Tentu saja perbuatan ini mempunyai akibat. Satu-satunya jalan untuk mengetahui akibatnya ini ialah menjalani dari akarnya, bahkan dari proses sebelumnya, untuk terus melalui batang, supaya kemudian sampai ke konsekuensi-konsekuensinya dan bertanya jika telah sampai di sana: “What now!

Lihat Pudjangga Baru. Jika kita membaca dan mencoba merasakan nikmat sajak-sajak penyair-penyair Pudjangga Baru, maka saya kira dapatlah digeneralisirkan suatu dasar: keindahan. Seni yang dihasilkan oleh Pudjangga Baru ialah seni yang hendak memperoleh kedudukan sebagai suatu “usaha yang menghasilkan keindahan”. Ini tidak mengherankan jika kita hubungkan pengaruh kaum ’80 di negeri Belanda pada mereka. Tidak mengherankan kalau mereka dalam ucapan mengeluarkan melodi: “geboren uit zonnegloren” dan rindu dendam dari “een zucht van de ziedende zee,” pendek kata “Perkiaans”. Apakah mereka sampai pada suatu “originaliteit” tidak usah dipersoalkan, karena dalam soal ini tidak juga akan dapat diadakan suatu generalisasi.

Pudjangga Baru mencoba memperoleh “keindahannya” ini dengan segala bunga kata, royal dengan “beeldspraak” (kata perbandingan) dan dengan mengemukakan segala yang puitis. Biar 9 tahun lamanya mereka berdebat tentang kebebasan, tetapi hasilnya tidak ada. Barangkali ada didapat jiwa German-analytis mereka yang menempatkan filsafat dalam kepalanya tetapi tidak dalam penghidupan, suatu kepuasan, tetapi praktiknya yang terdapat ialah kepandaian ambil-mengambil objek puitis dan subyek puitis yang akhirnya memperlihatkan suatu gambaran yang berputar di sekeliling sebuah titik. Sumbangan yang harus diberikan tidak dapat diberikan lagi, karena segala keindahan telah habis dinyanyikan. Saya kira orang Pudjangga Baru tidak pernah bertanya “what now” karena hidup terlampau tenang, mereka terus, terus, sehingga suatu masa mereka sampai di dunia yang baru. Tetapi pendapat mereka tidak berubah, sampai ada orang yang tertawa di jauhan dan berkata: “E, dogmatis.”

Kepercayaan Pudjangga Baru ini pada “keindahan” telah menyebabkan mereka menganggap pengertian itu sebagai suatu “ujud” —“ujud” dari puisi— tidak lagi sebagai anasir. Apakah dasar “mutlak” semutlak-mutlaknya” ini dapat diterima?

Untuk ini kita harus mengemukakan pertanyaan: Apakah seni? Dengan pertanyaan ini kita tiba-tiba telah ada saja di tengah-tengah orang sedang berkelahi. Tidak mudah keluar dengan selamat, dengan tidak boleh luka-luka atau sekurang-kurangnya bebas dari bengkak-bengkak disebabkan segala persetanan ini. Disini saya tidak akan mengemukakan suatu kata ikatan yang mudah diserang orang. Lagi pula ia tidak begitu penting. Karena dalam zaman teror kata-kata seperti sekarang ini sebuah kata ikatan tidak mempunyai kekuatan sama sekali.

Pertanyaan ini hanya dikemukakan untuk dapat diteruskan pada “atas apakah didasarkan seni” dan selanjutnya sampai pada tujuan kita: apakah dapat diterima “keindahan” sebagai suatu dasar seni.

Definisi keindahan tidak ada —artinya tidak seorang aestheticus pun yang dapat memberikan suatu definisi yang dapat diterima sebagai suatu keumuman. Apalagi variasinya keindahan ini banyak: keindahan dalam alam berbeda dengan keindahan dalam seni seperti kata pengarang wanita Virginia Woolf dalam “Orlando” nya: “Green in nature is one thing, green in literature another.” Ucapan yang menyatakan, bahwa yang indah itu ialah yang bersahaja atau yang baik atau yang benar telah mempunyai pertentangan dalam dirinya sendiri hingga mudah diserang. Tetapi dapat dikatakan, bahwa keindahan itu menimbulkan suatu kesenangan— suatu pleasure. Sehingga seni yang didasarkan pada keindahan ini menjadi seni yang bertujuan: kesenangan. Pengikatan seni dan kesenangan ini umum dipakai orang. Pengikatan ini timbul setelah “seni totaliter” yang terdapat di abad pertengahan hilang dari bumi. Pengikatan ini diantarkan orang ke tanah air kita. Pengikatan menempatkan seni pada tempat yang lebih rendah —sekunder atau tersier.

Pernah seorang tuan yang berpendidikan juga mengatakan —waktu saya memperkatakan perjuangan bangsa Indonesia dengannya— ucapan yang berikut: “Sekarang tidak ada waktu untuk seni, tidak ada waktu untuk kesenangan, untuk barang lux.” Saya tidak hendak menamai tuan ini seorang yang “burgerlijk”, tetapi konsepsinya itu “burgerlijk” benar.

Seni bukanlah sesuatu yang kurang perlu. Ini dapat kita lihat dari umurnya dan usaha yang dilakukan buatnya. Beribu-ribu manusia kerahkan untuk mendirikan gedung komidi, membuat cat, kertas, mencetak, dan sebagainya. Untuk apa segalanya ini kalau ia kurang perlu.

Dasar Pudjangga Baru ini tidak dapat dibenarkan atau diterima. Mereka telah mendirikan rumah atas suatu alas yang tidak sempurna.

Pudjangga Baru dalam mencari-cari rumah beroleh sebuah kamar, celakanya dengan beroleh sebuah kamar itu, ia menyangkakan beroleh sebuah rumah.

Dalam kamar di seberang kamar Pudjangga Baru itu diam pula sekarang seorang anak muda yang menamakan dirinya “angkatan baru”.

Dengan segera angkatan yang baru datang ini merombak norma dan dogma yang dibawa oleh Pudjangga Baru. Jiwa kehendak bebas yang baru dibawanya mengatasi kekuatan. Sifat tidak stabil yang telah dilekatkan keadaan kepadanya menyebabkan kelincahan gerakan. Konsepsi keindahan dalam puisi yang dibawa oleh Pudjangga Baru ditukarnya.

Angkatan ini melihat bahwa pada Pudjangga Baru tidak ada lagi hidup sebab itu dikemukakannya perkataan: hidup. Dan terhadap seni Pudjangga Baru yang sudah “burgerlijk” itu dikemukakannya “emosi” sebagai suatu antipode. Sebagai suatu antipode bukan sebagai suatu polariteit yang lain. Dengan ini sebetulnya ia hanya mengadakan pergantian dogma, sekiranya keadaannya telah sedemikian rupa, hingga boleh disebut dogma.

Segala tabir-tabir tebal dikuakkan. Tempat-tempat suci, tidak pada tempatnya lagi sekarang. Segala yang tidak dapat dipakai dalam “paham hidup di dunia” ini dibuang. Dogmanya ialah dogma: dunia. Tidak patut lagi ia berbicara tentang raja-raja kayangan dan puteri-puteri surga.

Kebajikan dari proses ini ialah, ia telah berusaha melepaskan kita dari sikap mistis kepada suatu sikap yang problematis kepada “bagaimana dan mengapa setiap saat” yang menimbulkan “spanning” untuk penciptaan kebudayaan. Tentang soal mistis dan problematis ini tentu tidak dapat diselesaikan demikian saja. Tidak mudah menukar kekekalan dengan saat. Konflik yang terdapat disini besar. Ia menghendaki penyelidikan yang lebih luas. Tetapi pendek kata dalam pukulan genta inilah terletaknya kebajikannya. Ia menghendaki sesuatu yang lain dari manusia yang dilahirkan fatal. Apa yang lain ini belum dapat ia memperlihatkan dalam sajak-sajaknya. Disini sebetulnya terletak tragisnya. Karena tenaganya ia telah dapat menghidupkan kembali sajak-sajak Indonesia dan telah mengungkai garis lingkar yang diperbuat oleh Pudjangga Baru.

Moto mula-mula ialah: kebebasan dan hidup. Ini mula-mula. Tetapi kemudian ternyata, bahwa moto ini pada dasarnya tidak berbunyi: kebebasan dan hidup tetapi kebebasan dan dunia. Dengan segera terdapat suatu kontradiksi dalam ucapan ini karena yang pertama, menghendaki suatu keluasan, sedang yang kedua terbatas pada kulit. Rupa-rupanya yang kedua yang didasarkan pula atas emosi lebih kuat dari yang pertama, sehingga yang pertama jadi timpang. Unsur-unsur emosi yang menjadi dasar ini makin naik ke atas, hingga yang kelihatannya hanyalah dia. Emosi sudah geobjectiveerd, sudah menjadi ujud, hingga dapat puisi itu disebutkan puisi emosi semata.

Puisi emosi semata ini tidak bermaksud apa-apa —ia hanya mengeluarkan suatu “bruto kracht” saja. Ia tidak usah takut, bahwa ia pada suatu saat akan mengatakan apa-apa. Hingga tidak usah ia menerima nasib seperti Edgar Allan Poe dalam beberapa sajaknya dimana ia mengatakan “sesuatu”. Ia berjalan cepat, karena tidak ada waktu. Jalannya timpang, tetapi tidak dihiraukannya atau tidak dipikirkannya, karena dalam usahanya mengeluarkan “bruto kracht” ia tidak sempat berpikir. Pelariannya akhirnya sampai ke titik mati. Ini baginya tidak menjadi soal. Karena ia tidak memperdulikan suatu “gerichtheid” (kesatuan tujuan). Untuk pengeluaran tenaganya ia boleh berlari kembali sekuat-kuatnya. Demikian berturut-turut. Kalau kita hendak memperkatakan kesusastraan seperti ini kelak, maka terpaksalah disebutkan perjalanan bolak balik ini, tempat yang tidak berubah dan pembangunan yang tidak maju-majunya.

Karena “dogma-dogma” yang telah diambil tertutuplah jalan keleluasaan. Ruangan tempat mengambil objek dan subjek makin kecil. Sekiranya tak dapat lagi dengan “spontan”, lalu mulai dicari-cari, untuk timbulnya sajak-sajak buatan yang kadang-kadang berlaku sangat “theatral” supaya dapat menarik perhatian. Kehendak untuk memberikan sumbangan tentu tidak dapat dilaksanakan lagi.

Suatu kesadaran pula terdapat pada angkatan itu: pentingnya materi dari suatu sajak. Kesadaran ini dijalankan mereka dalam prakteknya. Tetapi karena rapatnya hubungan materi itu dan emosi yang diajukan mereka maka seboleh-bolehnya pemakaian ini diserangkumkan. Sehingga sajak-sajak itu tidak lagi berputar sekeliling keseluruhan kalimat. Orang bersyair dalam “istilah-istilah”, tidak lagi dalam isi suatu ucapan. Hingga terdapat sajak-sajak yang hanya berputar sekeliling ucapan-ucapan, seperti “itu orang”, “itu api”. Pemakaian ucapan seperti ini tentu tidak ada buruknya, tetapi sajak-sajak yang semata-mata berputar sekeliling ucapan-ucapan pendek ini tentu tidak dapat dipertahankan.

Emosi dunia ini mencapai puncaknya pada perempuan, pada “betina”. Ya, puncak ini begitu tinggi, dan variasi yang dimungkinkan oleh “puncak” ini sangat sedikit. Dalam mencari terus-terusan pada kemungkinan kecil ini dengan mudah kita sampai kepada seni pornografi. Ya, istilah dan pencapan pornografi ini sebetulnya, kata yang sulit dan relatif. Acap kali ia tergantung pada keadaan keliling dan moral orang banyak. Dahulu buku-buku D.H. Lawrence dicap “pornografis”, sekarang tidak ada lagi yang memberikan cap seperti itu. Ucapan ini amat susah diberi bentuk. Tetapi dapat dikatakan, bahwa ia mulai dimana suatu “Weltanschauung” tidak kelihatan dan ia berhenti dimana hal ini lebih menegaskan dirinya. “Weltanschauung” susah didapat pada puisi emosi semata yang hanya menghendaki “bruto kracht” saja. Hal pornografis, hanyalah suatu kemungkinan, tetapi kemungkinan ini besar pada puisi emosi semata.

Kita melihat sudah dimana puisi emosi semata mencari bahan tenaganya, objek dan subjeknya. Kita melihat, bagaimana kecil kantong tentang sumbernya. Semata-mata karena moto “hidup” yang semula dengan tidak insaf menjadi “dunia” yang berbatas pada kulit dan dunia ini ditegakkan pula atas emosi. Mereka harus tetap emosionil. Kalau tidak matilah mereka, sebab “Weltanschauung” tidak ada. Untuk meneruskan ini secara sehat tidak mungkin, sekiranya kita tidak hendak disebut tukang “pengulang kaji”. Disini ditemui “deadlock” dalam bentuk garis menepi langit, sebagai ganti garis lingkaran yang dibuat Pudjangga Baru.

Apa sebabnya maka puisi ini sampai kepada suatu deadlock?

Pada permintaan suatu dasar baru ia memberikan jawaban yang pada hakikatnya berarti “dunia” dan bukan hidup. Disini terdapat suatu penduniaan penyair-penyair Indonesia. Sepintas lalu kelihatannya seperti “hidup” tetapi karena ia tidak dapat mengatasi suasana pesimistis yang ada dalam dunia mereka dan keyakinan kepada kesulitan dan kegetiran —ini dengan secara mudah dilisankan mereka dengan “menghukum dan dihukum”— maka mereka menyangka bahwa inilah hidup, tidak sadar, bahwa yang dilihat oleh mereka bukanlah substansi tetapi sifat kulit yang berubah setiap waktu. Ini pula makanya mereka sangat problematis yang berdasar, dan mereka takut melepaskan diri dari kenyataan ini, takut dikatakan mereka tidak hidup. Jadi salahnya terdapat pada konsepsi hidup.

Kalau sudah ada pandangan seperti ini, sudah tentu tidak dapat lagi dikeataskan sesuatu yang terletak sebelah dalam, disekeliling mana segala-gala yang terjadi pada manusia berputar. Konsepsi manusia mereka bukanlah konsepsi orang-seorang, bagaimana “individualistis” pun kelihatan sajak-sajaknya. Manusia mereka, ialah tulang berkulit bergumul dalam kegetiran atau orang banyak. Apa yang dibangkitkan oleh “sesuatu” dalam manusia seorang itu tidak dihiraukan. Sedangkan yang disebut “sesuatu” inilah sebetulnya yang disebut manusia.

Karena ini, permainan hanya dapat dilakukan oleh permukaan air. Kalau permukaan air telah dilayari segalanya, maka selesailah kewajiban; pada suatu waktu kapal boleh disimpan dalam gudang.

Pudjangga Baru terlampau lama berbicara tentang kasih manusia. Angkatan seni sekarang tidak mengenal kasih. Pudjangga Baru dikatakannya berdusta lalu dijauhi suatu perasaan yang terdapat pada segala manusia ini. Inilah akibat dari tidak dapatnya mengatasi keadaan, tidak dapatnya ia sampai pada suatu “persoonlijkheid” yang mula-mula ada ditunjukkannya tetapi tidak dapat diberinya bentuk atau dirumuskannya. Ia takut kepada perasaan, karena “perasaan” mungkin disangkakan kelemahan. Hanya aku ini binatang jalang yang disangkakan kekuatan. Kekuatan barangkali benar, tetapi apakah itu bersifat manusia dan hidup. Sudah sepatutnya kita menyelesaikan perhubungan dengan aku ini binatang jalang ini yang pada hakikatnya sangat kecil, tertekan ke sudut dan tidak berkekuatan untuk merangkum segala yang luas. Kita menghendaki satu rumah dan bukan satu kamar.

Pokoknya ialah koreksi kembali dan menempatkan emosi pada tempat pendorong, tidak lagi sebagai sesuatu yang menerima segala sudut dan segi yang diperlihatkannya, baik “natural” atau pun “supernatural”.

Kita harus sampai pada suatu puisi “gigantis” yang menyeluruh —sebagai imbangan dari robekan-robekan sepintas lalu yang diberikan emosi— yang mempunyai sumber pada serba manusia, serba hidup yang tak terbatas pada dunia. Dalam puisi ini emosi hanya pendorong suatu “perasaan” yang dialami penyair untuk dirasakan oleh penikmat.

Deadlock puisi emosi semata tidak terletak pada materi atau bentuk tetapi terletak pada suatu kesalahan pandangan yang menyatakan bahwa penglihatan sebentar adalah “substansi”.