Sumber: Indonesia, No. 4, Tahun III, April 1951, hlm. 31-32.
Biarpun dekor itu digunakan dalam seni drama, soal dekor masih tetap masuk lingkungan usaha seni lukis, karena ia adalah merupakan sesuatu gambaran atau pemandangan. Jadi pada dekor harus ada arti lukisan.
Pada permulaan pertunjukan, setelah layar terbuka apa yang kita lihat pertama kali, ialah sebuah dekor yang merupakan pemandangan diluar atau interior. Layar dekor dan meja, kursi, pot kembang atau pohon-pohonan, semua harus merupakan satu lukisan yang sanggup membangunkan sesuatu bangkitkan rasa. Sama halnya dengan kalau kita melihat sebuah lukisan.
Sebetulnya mulai layar terbuka, biarpun belum ada seorang pemain di atas panggung, boleh dikatakan permainan telah dimulai, karena dengan melihat dekor kita sudah mulai dibawa ke alam perasaan atau lebih luas, ke dunia yang dimaksud oleh pertunjukan itu. Jadi kewajiban dari dekor sebetulnya bukan memberi perlengkapan atas kebutuhan stoffage (meja, kursi, gorden, jendela, pintu dan lain-lain sebagainya) dari sesuatu pertunjukan. Tetapi sungguhpun begitu, pada membuat dekor kita tidak boleh mengabaikan keperluan-keperluan regie.
Sebagai contoh saya tuliskan di sini pengalaman saya waktu melihat “wayang wong”. Pertunjukan wayang wong (rombongan profesional) terkenal sebagai sesuatu pertunjukan yang tidak ada perhatiannya terhadap dekor. Dari dulu sampai sekarang dekornya serupa saja. Tidak diubah dan tidak diperbaiki, sehingga ketidakcocokannya dengan kebutuhan pada pertunjukan di waktu sekarang ini sudah merupakan tumpukan-tumpukan kesalahan, sudah menjadi kesalahan-kesalahan kronologis, sampai menjadi tradisi. Tetapi meskipun begitu ada kalanya yang dekornya bisa tepat membantu pertunjukan tersebut. Pada waktu itu dalam babak yang dinamakan “goro-goro”, sesuatu babak lelucon dipakai sebagai dekor (layar belakang) gambaran pemandangan-pemandangan sawah dengan padi yang masak kuning menguning dan langit yang biru terang dan awan putih bersih berarak dan disorot dengan lampu yang terang. Pendek kata suasana di atas panggung itu dengan pemandangan sawahnya riang. Jadi pada waktu layar muka terbuka, sebelum ada seorang pemain biasa kita lihat, dengan melalui dekor yang berupa pemandangan sawah, kita sudah mulai dibawa ke alam perasaan atau ke dunia kegembiraan. Rasa gembira ini didorongnya lebih tinggi lagi oleh suara gamelan yang riang. Tidak lama di antaranya, keluarlah Gareng dan Petruk, pelawak-pelawak wayang wong dengan tingkah laku yang lucu. Dengan leluconnya ditambahnya kegembiraan kita sehingga kita berada di puncak kegembiraan dan tertawa terbahak-bahak. Ketawa si penonton, riang gamelan, suasana pemandangan dan tingkah laku yang lucu dari si pelawak itu menjadi satu dalam tempo dan ritme yang gembira dan riang. Disinilah dapat saya saksikan menjadi satunya si penonton dan pertunjukan tambah alat-alatnya (dekor, musik regie, dan pemain).
Dengan contoh di atas ini hendak saya buktikan, bahwa pada dekor pada pertama kali tidak usah diletakkan pengertian apa-apa. Misalnya jika kita melihat layar dekor jangan dicari apa arti gambar layar itu.
Coba jika kita pikirkan lebih lanjut tentang pertunjukan goro-goro tersebut. Adalah semua pemandangan sawah yang bersituasi menurut aturan agraria sekarang dengan fragmen dari Mahabarata? Tapi toh pemandangan sawah itu bisa membantu si penonton untuk membangkitkan rasa suasana bersorak. Sampai sini kewajiban dekor sudah cukup, seterusnya adalah kewajiban regie dan pemain. Kalau sudah sampai ke tingkat regie dan pemain, dekor hanya memenuhi keperluan-keperluan regie saja, menjadi sebagian dari stoffage.
Dari dekor itu harus bisa tampil ke muka pada waktunya apabila dibutuhkan untuk mengadakan suatu intepretasi suasana, dan juga bisa mengundurkan diri pada waktunya, apabila hanya diperlakukan sebagai stoffage saja.
Sebagai tenaga pembangkit suasana, dekor harus merupakan suatu lukisan yang merdeka, tidak terbatas oleh barang-barang keperluan regie daripada mengejar kepada suatu bentuk mempunyai nilai keindahan. Banyak pertunjukan yang saya lihat dan ada beberapa pelukis yang sudah menempatkan diri di lingkungan dekor, tetapi belum ada hasil mereka yang menunjukkan apa dekor itu. Mereka baru sampai bekerja membikin layar. Mungkin mereka tertekan oleh kehendak pengusaha sandiwara.
Saya katakan ini, karena saya tahu, kebanyakan dari kawan dekorator jika membuat dekor terbatas dalam kebutuhan-kebutuhan regie. Misalnya mereka hanya membikin “kamar orang kaya”, “rumah orang miskin”, “taman” dan “hutan”. Tidak disesuaikan dengan apa yang dikemukakan oleh sesuatu cerita, misalnya suasana bersorak, suasana seram atau suasana sedih dan lain-lain.
Bila ada suatu dekor yang bisa menunjukkan sesuatu bentuk keindahan yang dapat membuat sesuatu cerita lebih bersemarak? Tiap-tiap bentuk keindahan tidak saja membuat orang lebih daripada semulanya, tetapi alam kelilingnya pun turut baik. Dan ini saya yakin dapat tercapai apabila ada uluran tangan pengusaha sandiwara berupa memberi kesempatan yang luas dan dari pihak dekorator tentunya juga harus ada kesanggupan atas dasar pengetahuan yang sungguh-sungguh. Mudah-mudahan.
Tulisan ini juga dimuat dalam majalah Daya, 1949.