Sumber: Zenith, No. 1, Tahun 1, 15 Januari 1951, hlm. 37-45.
“Komponis lagu” kata Wouter Paap dalam bukunya Mens en Melodie tidak memulai dimana penyair berhenti, ia tidak memberi kelanjutan pada sajak seperti yang terletak dimukanya, tapi ia mencari jalan kembali sampai ke sumber semula dari mana sajak tersebut lahir membersit dan membuat lagunya menjadi suatu bagian yang berhubungan erat dengan sajaknya”.
Pernah kita kemukakan adanya kesukaran teknik (Mimbar Indonesia, No. 46, Tahun III, 12 November 1949) dalam menyesuaikan tekanan bahasa Indonesia dengan tekanan musik. Bagi mereka yang memperhatikan soal ini, kesukaran tersebut memang sangat terasa sehingga ada yang sedikit tergesa mengatakan, bahwa bahasa Indonesia itu bukanlah bahasa lagu. Tapi sebaliknya kita berpendapat, bahasa Indonesia itu begitu indah, sehingga sudahlah merupakan suatu nyanyian sekalipun belum dinyanyikan. Suatu bahasa yang indah, terlebih bila merupakan suatu sajak yang indah pula, akan mendorong dan mempermudah komponis lagu dalam menggubah lagunya. Sebab bagi seorang komponis lagu yang menguasai teknik komposisi, dalam irama suatu sajak yang sempurna sudah tersimpul pula irama musik yang dibutuhkannya dalam menyusun melodinya.
Dalam karangan ini kita coba menguraikan sebuah lagu Indonesia, dimana tercapai suatu paduan yang indah antara syair dan kebulatan lagu seluruhnya, sehingga kesukaran-kesukaran teknik seperti tersebut di atas lenyap menghilang didalamnya. Dan ini pulalah yang meyakinkan kita, bahwa dalam lagu Indonesia pun dapat juga tercapai suatu lagu yang tinggi nilainya, sekalipun sifat-sifat tekanan bahasa Indonesia kurang menyediakan diri untuk disesuaikan dengan tekanan musik. Dan karena perbendaharaan lagu Indonesia yang mempunyai harga seni masih miskin, apalagi yang layak diuraikan sebagai lagu, maka pilihan kita hanya terbatas pada gubahan-gubahan beberapa komponis lagu saja.
Disini kita kemukakan lagu O, Angin gubahan Cornel Simandjuntak pada sajak Sanusi Pane. Kita mulai dengan memperhatikan sajaknya.
O, Angin
O, angin bawa keluhku bersama kau
melalui pegunungan hidjau
kepada dinda jang sangat tertjinta
bawa keluhku bersama kau.
O, angin bawa tjintaku kepada dara
tertjinta tidak ketara
kepada m’lati sidjantung hati
bawa tjintaku kepada dara.
Untuk memahami suatu sajak seorang penyair secara luas, perlu pula kita meneliti sajak-sajak lainnya dari penyair tersebut, terutama yang mempunyai hubungan dengan sajak pertama tadi.
Juga akan ada gunanya bila kita mengenal aliran kesusastraan yang berlaku dalam zaman penyair. Begitupun dalam meneliti sajak O, Angin di atas, kita harus mencari hubungan dengan Madah Kelana, kumpulan sajak Sanusi Pane.
Dalam Madah Kelana kita dapat mengikuti kisah seorang Kelana yang mengembara kian kemari mencari bahagia. Bahagia itu dilukiskan sebagai sesuatu yang susah dicapai, dibayangkan di tempat jauh, di balik gunung. (Mungkin juga penyair berpendapat, bahwa tiap manusia di dunia ini adalah seorang pengembara, seorang pencari). Dalam beberapa sajak, bagi penyair tempat bahagia itu hanya merupakan suatu pertanyaan saja yang ditujukannya baik pun kepada Gadis lembah, maupun kepada Kemuning, seolah-olah ia ingin mengajak pembacanya untuk turut berpikir, turut mencari, dimana gerang tempat bahagia. Tapi dalam sajak-sajak lainnya pertanyaan ini dijawab sendiri oleh penyairnya dengan mengatakan, bahagia itu ada di hati sendiri.
Dalam mencari bahagia ini banyak ujian dan derita yang harus dialami, banyak pula kesukaran yang harus diatasi. Sajak O, Angin dapat kita anggap sebagai keluhan Kelana di masa lelah, dalam keadaan lesu. Bahagia yang dicari masih jauh di depan, sedangkan tumpukan derita dan kesukaran-kesukaran yang dialami telah membukit dibelakangnya. Teringat lagi ia pada semua yang indah, yang telah ditinggalkannya; teringat lagi ia pada kekasihnya yang selama ini dilupakannya. Dan disini teteslah perkataan-perkataan dari bibir penyair sebagai pembekuan dari apa yang bergetar dalam jiwanya: O, angin bawa keluhku bersama kau. Dalam syair kedua diulanginya lagi seruan ini (Ia belum habis bicara). Tapi sekarang bukan lagi keluhnya, melainkan cintanya lah yang ingin diberinya untuk dibawa angin. Dan ini pulalah yang menjadi perbedaan yang sebenarnya antara syair pertama dan kedua. Dinda jang sangat tertjinta, yang menjadi sasaran dari seruan dalam syair pertama adalah sinonim dengan M’lati sidjantung hati, yang juga menjadi tujuan dalam syair kedua. Juga bentuk, susunan kalimat dan gerak irama dalam syair pertama dan kedua adalah sama. Begitupun alunan suara dari kedua syair yang melambung tinggi dan menjumpai klimaksnya pada akhir baris ketiga untuk menurun rendah lagi dalam baris keempat (dari masing-masing syair), berjalan pararel. Jadi antara syair pertama dan kedua hanya ada perbedaan isi. Dapatlah kita simpulkan, bahwa dalam keseluruhan sajak O, Angin, penyair ingin menyerukan keluh dan cintanya, sedih dan sukanya, kepada yang dikasihinya.
Isi yang liris dan ayunan irama dari sajak seolah-olah melepaskan kita dari kehidupan sehari-hari dan mengajak kita berhanyut-hanyut dalam lautan rasa, yang kadang-kadang mengalun lemah dan kadang-kadang mengamuk dalam topan yang mendahsyat, seperti yang dialami oleh penyair. Perasaan yang meluap-luap, yang menjadi faktor yang dominerend dalam sajak ini pulalah yang menunjukkan aliran yang romantik, sesuai dengan aliran kesusastraan yang berlaku dalam zaman penyair (Pudjangga Baru).
Sanusi Pane adalah seorang penyair yang merasakan bahasa Indonesia dengan sangat mendalam, sehingga pada pilihan kata-katanya susah diadakan perubahan dengan tidak merusak arti yang dimaksudkannya semula. Begitupun sebutan dara untuk seorang gadis, yang dipakainya dengan kegemaran (met voorliefde), seperti dalam baris pertama dan keempat dari syair yang kedua, adalah typisch Sanusi Pane.
Bahwa C. Simandjuntak lebih cenderung pada sajak Sanusi Pane (Pudjangga Baru) tidaklah secara kebetulan. Romantik Sanusi Pane seperti yang kita kemukakan di atas sangat menarik padanya, yang dalam usianya yang begitu muda masih ingin membayangkan bahagia itu dalam jarak yang jauh dan melihat sesuatu dengan pandangan yang serba idealistis. Tapi bukan itu saja, masih ada faktor lain. Sebenarnya kita dapat menempatkan C. Simandjuntak dalam barisan penyair Angkatan Muda (Baru), yang bergerak dalam lapangan lain (musik). Dan kita boleh percaya, bahwa ia juga tentu ingin “melagukan” sajak-sajak dari kawan-kawannya Angkatan Revolusi yang sejiwa dengan dia. Tapi beberapa faktor yang dibutuhkannya dalam menggubah lagu, seperti susunan bunyi, susunan irama dan susunan kalimat yang teratur, yang pada umumnya tidak begitu dipentingkan lagi oleh Angkatan Baru, hanya dapat dipetiknya secara leluasa dalam taman persyairan Pudjangga Baru. Dan apa yang kita kemukakan disini, berlaku juga bagi penggubah-penggubah lagu lainnya. Herankah kita bila sebagian besar dari mereka membuat sendiri syair-syair dari lagu-lagu ciptaannya, karena sajak-sajak Angkatan Baru tak begitu menyediakan diri untuk dibuat lagu?
*
Sekarang kita menginjak lapangan lagu. O, Angin dimulai dengan suatu tulisan pendahuluan (voorspel), yang merupakan suatu rentetan (reeks) dari dua nada, bergerak dalam nada-nada yang tinggi lalu berangsur-angsur menurun ke bawah untuk menyentuh tinggi nada yang pertama dari suara penyanyi. Gerak yang berlaku dalam tulisan pendahuluan ini memperkenalkan kita dengan gerak yang akan berlaku seterusnya dalam keseluruhan lagu, dan dengan sendirinya membawa kita ke arah suasana seperti yang dikehendaki oleh komponisnya. Dengan begitu komponisnya telah memberi harga yang lebih tinggi pada tulisan pendahuluan ini.
Tapi bukan itu saja! Disamping mempunyai harga yang tinggi, tulisan pendahuluan ini masih mendukung suara arti yang dalam. Bila kita memperhatikan mat pertama, akan menarik perhatian kita: gerak c3 yang melangkah ke d3, atau dalam sifat lagu (disini F-dur), gerak quint yang melangkah ke sext. Lukisan ini diulanginya lagi seluruhnya dalam mat kedua, agar sempat meninggalkan bekasnya dalam ingatan kita, seolah-olah komponisnya ingin berkata: “Perhatikan kawan, perhatikan ini.” Dan sesungguhnyalah! Lukisan quint yang bergerak ke sext ini akan selalu berulang-ulang kita jumpai dalam seluruh lagu dan ini pulalah yang memberi “karakter”, yang memberi hidup pada lagu ini, seperti akan kita lihat nanti.
Melodi dari O, Angin, baik bentuk maupun irama dan interval, adalah sederhana, tak ada yang “sukar”. Malahan dengan kekecualian nada bes dalam mat 15, dapat kita katakan, bahwa seluruh melodi hanya bergerak dalam tangga nada (toonladder) yang terdiri dari 5 nada, yang lazim disebut pentatonix (dalam hal ini anhemitonic), yang memang mengandung unsur-unsur ketimuran (Tionghoa). Tapi walaupun kita sebut sederhana, dalam mat 18, 19, dan 20, sebetulnya kita berada dalam sifat nada yang lain (D-dur) sekalipun tidak begitu disadari dalam menyanyikan melodinya, dan ini akan jelas nanti dalam membicarakan iringan piano.
Yang lebih menarik perhatian kita, ialah paduan yang indah antara syair dan melodi, dimana kalimat-kalimat lagu dengan setia mengikuti bentuk dari kalimat-kalimat syair. Juga segera kita lihat, bahwa tiap suku kata yang mendapat tekanan dalam syair, jatuh pada nada yang mendapat tekanan pula dalam lagu. Perhatikan saja: O, angin bawa keluhku bersama kau. Dengan rasa puas kita jumpai lagi gerak dan tekanan dari syair pada melodi. Hanya dalam kalimat: melalui pegunungan hijau, kesesuaian tekanan sedikit lemah, walaupun tidak begitu terasa, karena melodi mengambil garis yang merata. Tapi selanjutnya dalam kalimat: kepada dinda yang sangat tercinta, kita lihat lagi, bahwa tekanan dan gerak, dalam syair dan melodi berpadu dengan indah. Malahan bukan itu saja! Alunan suara dari syair yang mulai melambung tinggi pada permulaan kalimat ini untuk mencapai puncaknya pada akhir kalimat, dengan jelas membayang pula pada melodi, yang mula-mula melangkah dari a1 ke d2, untuk akhirnya melompat lebih tinggi dari a1 ke f2, dimana melodi (dan seluruh lagu) mencapai klimaksnya pula. Dan dalam kalimat penghabisan bawa keluhku bersama kau, (serupa dengan kalimat pertama), dengan logis kita rasakan, dimana komponis memakai lagi melodi pertama. Paduan yang indah antara syair dan melodi seperti di atas, berlaku pula sepenuhnya bagi syair yang kedua dari sajak.
Di atas telah kita bicarakan tulisan pendahuluan dan melodi dari O, Angin; sekarang kita lanjutkan dengan memperhatikan iringan pianonya. Seperti halnya dengan tulisan pendahuluan, juga pada iringan piano komponis lagu biasanya memberi harga yang tinggi, sehingga iringan piano ini tidak hanya untuk memperlengkap saja, tapi juga turut melukiskan isi dan suasana dari syair. Dan prinsip ini kita jumpai pula pada lagu O, Angin.
Harmoni dari O, Angin dapat kita katakan sederhana, sesuai dengan melodinya yang sederhana, seperti yang kita uraikan di atas. Menurut sifat melodi, mulai dari mat 7 sampai dengan mat 11, hanya ada satu akkoord yang terpakai: akkoord-tonica, disini: f, a, c. Tapi dengan segera kita lihat (dalam iringan piano), bahwa lukisan quint yang bergerak ke sext, yang telah diperdengarkan tulisan pendahuluan pada permulaan lagu, kita jumpai lagi disini pada tiap mat 5 kali berulang-ulang, divariasikan dalam berbagai-bagai letak (ligging) sehingga kemungkinan untuk menjadi eentonig tidak ada. Kita lihat: c2 yang bergerak ke d2 dalam mat 7, dalam mat 8 dilukiskan satu oktaf lebih rendah, jadi: c1 ke d1, dan dalam mat 9 (balk bas) dilukiskan satu oktaf lebih rendah lagi menjadi: c ke d, sedangkan mat 10 dan 11 adalah ulangan sempurna dari mat 7 dan 8. (Begitupun dalam 13 masih kita jumpai gerak c ke d, sekalipun dalam perbandingan lain).
Nada c dari lukisan gerak c ke d memang satu nada dari akkoord: f, a, c, akkoord yang berlaku dalam bagian lagu yang kini kita bicarakan (mat 7 sampai dengan mat 11). Tapi nada d adalah suatu nada yang asing dalam akkoord, yang kita sebut akkoord vreemde toon. Nada ini didesakkan komponisnya sebagai suatu dissonant dalam satu akkoord yang consonerend (f, a, c) dan menimbulkan rasa tidak puas (onbevredigend) pada pendengaran kita. Kini makin terang bagi kita, bahwa dengan lukisan gerak quint ke sext ini, komponisnya melukiskan suatu kontras yang berdekatan antara akkoord yang consonerend (disertai rasa puas) dan akkoord yang dissonerend (disertai rasa tidak puas). Kita lihat lukisan ini berulang-ulang dipakainya dan akan masih kita jumpai dalam bagian lagu selanjutnya.
Kita lanjutkan dengan tinjauan iringan piano dan kita memperhatikan bagian lagu mulai dengan mat 14 sampai dengan mat 17. Dalam bagian ini kita lihat melodi mengambil gerak yang berlainan dari yang pertama dan melangkah lebih teratur. (Dalam hubungannya dengan syair kita sebut diatas: mengambil garis yang merata). Perubahan yang kita jumpai pada melodi ini (dan tiap perubahan (afwisseling) yang indah berupa apapun juga akan selalu memberi hidup pada suatu komposisi), kita lihat disertai juga dengan perubahan dalam iringan piano, sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam komposisi lagu, agar tiap perubahan dalam melodi diikuti pula dengan perubahan dalam iringan piano. Dengan demikian tercapailah suatu kesegaran dalam komposisi. Begitupun dalam mat 14, 15, 16 dan bagian pertama dari mat 17, komponisnya memakai (aanwenden) apa yang kita sebut gebroken akkoorden (tiap nada dari satu akkoord dibunyikan satu per satu), untuk mengiringi melodi yang kini melangkah dengan teratur.
Mulai dari bagian yang kedua dari mat 17, kita melihat komponisnya memakai lagi gerak (cara) pertama. Tapi cara pertama ini tidak disajikannya begitu saja, diberinya pakaian baru. Yang pertama: sekarang kita meningkat ke suasana yang mulai lebih giat, diberinya tanda crescendo (makin keras). Dan yang kedua: dalam mat 18, 19 dan 20, praktis kita telah dibawanya dalam sifat nada yang lain dari pertama (D-dur). Jadi disini komponisnya telah mengadakan suatu modulatie, yang kita sebut uitwijkende modulatie (bersifat sebentar). Dan dalam sifat nada yang baru ini (D-dur) dengan gembira kita jumpai kembali gerak guint ke sext, yang sudah lama kita kenal (“Perhatikan kawan, perhatikan ini”). Dalam mat 18 kita lihat gerak a melangkah ke b atau dalam sifat nada, quint sext. Dan dalam mat 19 gerak ini diulangi (balk bas) satu oktaf lebih rendah, menjadi: a ke b. Disini pun gerak quint ke sext ini mengakibatkan suatu kontras antara akkoord yang consonerend dan dissonerend.
Kita lanjutkan. Seperti kita lihat di atas, dalam mat 21 syair dan melodi mencapai klimaksnya. Dan dalam iringan piano (juga dalam melodi) crescendo yang dari tadi mulai mendesak, disini (mat 21) menjumpai puncaknya pula dan meletus dalam forte (keras). Selain dari itu antara akkoord dari mat 20 dan akkoord dari mat 21, terjadi suatu urutan akkoord (akkoord opvolging) yang sedikit aneh susunannya, sedikit mengejutkan, yang lazim kita sebut querstand. (Fis dalam akkoord yang pertama, kita jumpai sebagai f dalam akkoord kedua, satu oktaf lebih tinggi). Ini sebetulnya adalah suatu “kesalahan” menurut teori, artinya “salah” bagi mereka yang dalam segala-galanya masih merasa terikat pada hukum-hukum yang formalistis. Komponisnya sendiri tentu insyaf akan ini. Tapi efek yang dicapai dengan jalan yang sedikit berani inilah yang diperlukannya untuk melukiskan tumpahan rasa yang meletus dalam hatinya. Kita lihat disini komponisnya telah meletakkan isi di atas bentuk.
Bila kita menganggap akkoord yang berlaku dalam mat 21 (G7) sebagai suatu dominant septiemakkoord dengan menghilangkan (uitlating) quint, maka sudahlah sewajarnya (natuurlijk) ia akan meleburkan diri pula dalam tonica akkoord dari C-dur. Dan memang dalam mat 22 dapat juga kita katakan ia meleburkan diri ke dalam tonica c, e, g, tapi dengan disertai (met toevoeging) sext-nya, sehingga leburan (oplossing) ini bersifat mengecewakan juga (bedrieglijk). Dan dalam sifat nada yang baru ini kita jumpai kembali gerak quint ke sext yang dulu (disini g ke a), setia ia menunjukkan diri lagi dalam 22 dan 23 (balk bas) dua kali berulang-ulang.
Kita lihat, bahwa gerak quint ke sext yang pendek ini (dalam perbandingan-perbandingan yang berlainan) selalu mengenangkan dan menghubungkan kita pada bagian-bagian lain dari lagu, dengan begitu ia memberi hidup dan kesatuan pada seluruh komposisi. Juga kita lihat, bahwa komponis dengan cara yang beragam pula selalu mengejutkan (verrassen) kita dengan sesuatu yang baru, sehingga perhatian kita selamanya bangun dan segar mengikutinya. Dan ini pulalah yang meninggikan lagu ini dalam penghargaan kita.
Dan mulai dari mat 24 sampai dengan mat 27A (27B), tak usah lagi dikomentari lebih panjang. Sesudah menumpahkan semua isi hati dalam klimaks (mat 21), melodi menurun lagi dan mengajak kita mengeluh kembali dengan bagian melodi pertama, disertai dengan segala sifat-sifatnya dalam iringan piano.
Akhirnya kita lihat, bahwa O, Angin diakhiri dengan suatu tulisan akhirnya (naspel) yang merupakan rentetan dua nada pula dan berakhir dalam F, tapi dengan terts (disini a) didalam bas dan dengan menghilangkan quint (sext-akkoord met uitlating van de quint), sehingga menimbulkan perasaan yang terawang (hangend), sebagai usaha untuk melukiskan sesuatu yang lenyap menghilang.
Sekarang yang masih harus mendapat perhatian kita, ialah bentuk dari lagu O, Angin. O, Angin digubah dalam suatu bentuk yang kita sebut bentuk syair (strophenvorm). Artinya hanya ada satu melodi untuk semua syair dari suatu sajak, berlainan dengan lagu-lagu dalam bentuk tulisan berturut (doorgecomponeerd), dimana tiap syair dari suatu sajak mempunyai melodi tersendiri (disertai iringan piano), untuk dapat lebih setia mengikuti isi dan suasana syair. Sekalipun bentuk yang akhir ini (tulisan berturut) lebih cocok dengan konsepsi lagu seni modern (dalam lagu Kemuning C. Simandjuntak memakai bentuk tulisan berturut), dalam lagu O, Angin komponisnya memilih bentuk syair. Tentu ada alasannya.
Dalam membicarakan syair O, Angin di atas kita lihat, bahwa bentuk susunan kalimat dan gerak irama dalam syair pertama dan kedua adalah sama. Begitupun alunan suara bersama klimaksnya dalam kedua syair berjalan pararel. Kesemuanya inilah yang mendorong komponis untuk memakai bentuk syair. Tapi walaupun begitu isi syair baginya yang lebih penting dan isi syair ini pulalah yang harus menjadi isi lagu. Keluh dan cinta, sedih dan suka, yang kita simpulkan di atas sebagai isi dari keseluruhan sajak O, Angin, dilukiskannya pula dalam lagunya, dengan berulang-ulang menempatkan elemen-elemen yang consonerend dan dissonerend berdekatan sebagai suatu kontras, yang membuat rasa puas dan tidak puas, rasa suka dan duka, saling rebutan tempat dalam jiwa kita. Dan untuk inilah pula kita memisahkan (veronderstellen) komponisnya seolah-olah berkata sambil memperdengarkan lukisan gerak quint ke sext pada permulaan lagu: “Perhatikan kawan, perhatikan ini”.
Sesudah meninjau O, Angin dari berbagai jurusan nampaklah pada kita, bahwa dalam lagu ini bertemulah kita dengan pendapat Wouter Paap, yang kita muat di atas sebagai jalan pikiran yang menyertai karangan ini. Juga dalam O, Angin, komponisnya mencari jalan kembali sampai ke sumber semula, dari mana sajak tersebut lahir membersit, dan membuat lagunya menjadi suatu bagian yang berhubungan erat dengan sajaknya. Dan bila kita ingin melukiskan proses ini, dapatlah kita katakan: Apa yang semula dirasakan oleh penyair sebagai pengalaman-pengalaman (belevenissen) yang tidak disadari dan diwujudkannya dalam sajak O, Angin sebagai pengalaman-pengalaman yang disadari, kini kembali dirasakan oleh komponis lagu sebagai pengalaman-pengalaman yang tidak disadari dan diwujudkannya pula dalam O, Angin sebagai pengalaman-pengalaman yang disadari.
Sekalipun C. Simandjuntak pada akhir hidupnya mulai berpaling muka dari romantik, dalam O, Angin ia menunjukkan seginya yang romantik dalam bentuk yang murni.
Dengan uraian-uraian di atas kita lihat, bahwa selain dari satu lagu seni yang indah, O, Angin juga merupakan suatu bahan analisa yang berharga. Dan dengan lagu ini pula komponisnya membukakan lapangan yang lebih luas bagi lagu Indonesia, yang pada umumnya masih bergerak didalam tembok-tembok keroncong yang sempit.
Sebelum mengakhiri karangan ini, kita masih kembali sebentar pada tulisan akhir dari O, Angin. Dalam mat 28 dan 29 kita masih jumpai kembali lukisan musik pertama (quint ke sext); sesudah selesai memainkan rolnya seolah-olah ia ingin menunjukkan diri lagi (dua kali berulang-ulang), untuk seterusnya sunyi menghilang dalam ketidakadaan, meninggalkan kita dalam renungan dengan kenangan.