Sumber: Mimbar Indonesia, No. 1, Tahun 18, Januari 1964, hlm. 23-24.
Elemen imajinasi merupakan elemen subjektif kedua sesudah emosi, yang menjadi modal dan tuntutan utama pelaku pentas, dalam memerankan perwatakan peran yang ditugaskan. Bagi kebanyakan orang, kata “imajinasi” mengimplikasikan semacam kesanggupan mistis untuk “menyulap” sesuatu, dari ketiadaan apa-apa, menciptakan sesuatu khayal dengan modal inspirasi yang tipis sekali dan amat aksidental; cuma itu saja modalnya. Secara ilmiah, kesanggupan semacam itu tentu saja tidak mungkin. Kita tahu betul, bahwa gagasan atau ide, adalah seperti juga materi dan energi. Materi dan energi tidak pernah dapat “diciptakan”, sebab ini amat bersifat relatif. Ide, materi, dan energi, hanya dapat ditransformir, dari keadaan yang satu ke keadaan yang lainnya. Kelompok-kelompok gagasan dapat dipecah-pecah, dan kemudian disatukan lagi, dalam kombinasi-kombinasi yang berlainan dari semula; gagasan-gagasan yang baru timbul, dapat dikombinir dengan ide-ide yang telah usang ataupun ide-ide yang telah dikenali banyak orang; gagasan-gagasan yang usang sebaliknya, juga dapat diberi perumusan-perumusan baru atau mengalami pembaruan lainnya. Tetapi hendaknya diingat, bahwa gagasan-gagasan yang baru tidak akan dapat timbul dan tidak akan dapat dimengerti, bila gagasan tersebut tidak memiliki, atau tidak terdiri dari, elemen-elemen yang telah atau pernah dialami, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Imajinasi, secara sederhana dapat diterangkan sebagai: kemampuan atau daya yang aktif dan asosiatif dari pikiran, untuk menangkap dan menilai gagasan dalam pencapaian konkrit; artinya, dalam pencapaian inderawi: pelihat, pendengar, atau indera-indera lainnya. Hanya orang yang tidak tuli dapat mendengar, dan hanya orang yang tidak buta dapat melihat; tetapi, hanya orang yang memiliki sifat yang dapat melihat dan mendengar dengan indera pelihat dan pendengar pikirannya. Sekalipun demikian, betapapun kuat daya imajinasinya, ia takkan mampu berbuat seperti di atas, bila tidak mengalami gertakan-gertakan, bila tidak distimulir oleh stimuli-stimuli baru ataupun yang berupa kenangan, yang akan menimbulkan sugesti gambaran (image) tersebut.
Perbedaan antara seorang yang dapat imajinasinya amat kuat dengan seseorang lain yang daya imajinasinya relatif lebih lemah, hanyalah terletak disini: orang yang pertama, seakan-akan sanggup meraih sugesti yang jauh dan bersifat amat abstrak sekalipun, serta kemudian mengintegralkan daripadanya sehelai gambaran imajiner; sedang orang yang kedua, yang daya imajinasinya relatif lebih lemah daripada yang pertama, menuntut lebih banyak bantuan dan pertolongan dari stimuli inderanya, sebelum imajinasinya mencapai taraf fungsionalnya.
Sekiranya kami bisa meninjau dan mempelajarinya dari sudut kejiwaan dan kapasitas personal, studi ini dapat membuka bidang-bidang yang lebih dalam dan luas. Tetapi karena sangat diragukan tentang penerimaan dan kegunaannya dalam hubungannya dengan segi teater, maka pembicaraan lebih mendalam tentang kapasitas ataupun kemampuan dari imajinasi ini akan kami batasi dalam taraf-taraf tertentu, untuk menghindarkan ambiguitas yang seringkali mengacau.
Ia akan menyuguhkan kepada kita suatu “kehidupan” yang palsu (tata lakunya di atas panggung, sekalipun bernafaskan kehidupan, adalah lahir dari konsep imajinasi yang palsu). Mungkin ia dapat menangkap watak dan atau situasi mental perwatakan yang akan dibawakannya, tetapi penangkapan ini palsu belaka; dengan demikian ia tidak hanya menyesatkan penonton ke dalam kemelesetan konsep perwatakan, tetapi juga membangkitkan prasangka penonton terhadap segala kebohongan yang dipentaskan. Penonton tidak bisa diperdayakan dalam hal ini, karena mereka adalah peneraca yang langsung berhubungan dengan panggung kehidupan yang sebenarnya.
Sebuah contoh yang konkrit dan sederhana: seorang pelaku pentas yang hendak menampilkan peran juru ketik di atas panggung, akan segera kehilangan kepercayaan penonton (terutama mereka yang benar-benar menjadi juru ketik dalam penghidupannya sehari-hari), bila dia mengadakan sikap di atas panggung sebagai juru ketik sistem 10 jari, sedangkan sehari-harinya si pelaku ini hanya bisa ngetik dengan dua jari telunjuknya saja; ketambahan pula, si pelaku ini punya keyakinan bahwa “peniruan” sudah cukup. Walhasil, ini merupakan suatu akibat yang timbal-balik terhadap sikap pengamatannya yang tidak teliti dan tidak meneliti. Lambat laun pun, akan ketahuan juga bahwa a (si pelaku) tidak hanya mengalami kekurangan dalam pembawaannya, tetapi juga tidak memiliki ketelitian pengamatan yang masuk akal, sekalipun ia telah berusaha meyakinkan tata lakunya ini kepada penonton dengan sepenuh-penuh keyakinannya. Sayang, bahwa justru keyakinannya inilah yang sudah mengalami kemelesetan dan kecederobohan konsep pengamatan. Ketidaktelitian ini tidak hanya sering tampak dalam lingkungan pentas saja, tetapi bahkan juga dalam produksi-produksi film yang besar-besaran, seringkali terjadi kemelesetan-kemelesetan yang disebabkan kurang koreksi.
Di dalam produksi Cecil B. DeMille yang maha besar yaitu Ben-Hur, masih bisa terjadi kesalahan ini. Syekh Arab yang mendaftar nama orang-orang yang akan bertaruh, memulai pendaftaran tersebut dari kiri; padahal kita tahu betul, bahwa tidak ada kebiasaan itu dalam tradisi penulisan bangsa Arab maupun Ibrani. Ini disebabkan karena bintang filmnya orang Barat juga.
Tetapi ini baru detail mekanis dalam teropong ketelitian pengamatan. Lebih rumit lagi mencapai ketepatan penelitian pada kebenaran-kebenaran hakiki tentang watak manusia dan tata laku perwatakan ini (dalam kehidupan sehari-harinya, yang kemudian akan diproyeksikan di atas pentas).
Salah satu kesalahan pokok dalam pendidikan tata laku teater adalah: terlalu terbatasnya perkembangan dan perhubungan langsung antara si pelaku dengan kehidupan manusia sosial, sehingga objek pengamatan pun menjadi amat dibatasi. Satu-satunya perhubungan yang secara ajeg dilakukan adalah: diskusi dan kontak dengan pelaku-pelaku lain yang telah masyhur dan terkenal, tetapi semasyhur-masyhurnya seorang pelaku, sedikit banyak dia bersifat artifisial juga! Objek pengamatannya karenanya, hanyalah tata cara-cara yang objektif sekali, yang merupakan stereotip-stereotip profesional, dan diantaranya juga, sebagai variasi, tata cara-cara yang sengaja dilebih-lebihkan untuk menyembunyikan kebenaran pribadi yang sesungguhnya. (Orang-orang yang berlaku seperti yang disebutkan terakhir ini lebih senang bila dikenali sebagai si Anu yang main dalam film atau sandiwara Anu, daripada dikenali sebagai si Anu, anak si Anu yang keras kepala). Siswa-siswa yang mengalami kekurangan perhubungan insani ini, terlalu sedikit mengamati manusia-manusia yang berada dalam situasi-situasi kehidupan yang lebih wajar. yang lebih bersifat alam dan tidak diselimuti pamrih sedikitpun. Konsekuensinya: tata lakunya di atas panggung memang memiliki segi-segi ketepatan mekanis, tetapi tidak memiliki sifat-sifat dasar yang selaras dan simpatik. Ia tahu segala cara-cara orang bercakap, lenggak-lenggok dan gaya orang berjalan dan sebagainya, tetapi tidak tahu ke dalam emosi yang menyertai reaksi seseorang terhadap pengalaman-pengalaman emosional ataupun konflik-konflik pikiran. Kepincangan jenis ini, lebih tepat bila dimintakan pertanggungan jawabnya, pada kesempatan mengadakan pengamatan, dan tidak kepada ketidaktelitian atau ketidaktepatan pengamatan.
Perlu dicatat bahwa pengamatan ini akan lebih tajam dan lebih menjamin pula pengingat-ingatnya bila aktivitas-aktivitas motoris turut aktif mengambil bagian. Kita kembalikan saja pada diri kita sendiri.
Bila kita telah melakukan sendiri sesuatu pekerjaan atau sesuatu fungsi dalam lapangan yang sama sekali lain/asing bagi kita sekalipun kita akan lebih mudah mengingat-ingat pengalaman ini daripada mengingat-ingatnya setelah kita hanya mengamati atau menonton pengalaman-pengalaman orang lain. Partisipasi ini juga amat penting; kalau kesempatan turut-serta ini tidak ada, kebutuhan (partisipasi) ini bisa didekati, dengan menyorongkan simpati sebesar-besarnya dan sebebas-bebasnya dari segala pamrih, dalam proses pengamatannya. Tetapi tetap, bagi mereka yang secara konkrit dapat mengadakan partisipasi dalam aktivitas-aktivitas yang mengandung totalitas respons ini, + bekal imajinasi yang cukup untuk menerima dan menjawab emosi-emosi yang ada dan timbul dalam kontak tersebut, pasti dia akan lebih berhasil dalam pengingatannya dan relevansinya, karena ia dengan demikian memiliki apa yang oleh Stanislavski disebut “ingatan emosi”, yaitu pengingatan imajinatif dari emosi-emosi (yang dialaminya), tetapi juga dari kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalamannya (dalam proses turut serta ini). Suatu pengamatan dari luar hanya merupakan suatu kuasi-dialog, dan lebih tepat lagi bila dikatakan, sebagai suatu monolog. Yang kita perlukan adalah suatu pertemuan yang konkrit, suatu dialog yang frontal; karena hanya dalam pertemuan semacam ini sajalah, dialog dapat dilakukan dengan pemberian kesempatan sebesar-besarnya pada tiap momen kebenaran yang tersimpul dalam tiap kelok penuturan, untuk mencapai perkembangan dan pengakuannya. Karena bukankah seperti kata seorang pemikir besar, bahwa kehadiran orang lain membuktikan, bahwa Aku belum cukup mengenal diriku sendiri.
Daya Asosiasi
Kita telah mengetahui bahwa daya pengingatan-pengingatan didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang kita alami, baik secara langsung maupun tak langsung; dan bergantung pada kuat tidaknya daya asosiasi, kita akan memperoleh suatu dekonstruksi dari pengalaman-pengalaman tersebut, yang sudah dihembusi kehidupan, yaitu kehidupan sebagai intepretasi subyektif kita dalam daerah potensi kreatif. Dengan singkat dapat kita katakan bahwa imajinasi tergantung pada dua hal;
1) Adanya gambaran (image) didalam pengalaman kita;
2) Ikatan asosiatif, yang memberi kemungkinan untuk pengangkatannya kembali dalam alam kesadaran kita; tegasnya, untuk rekonstruksi.