Sumber: Star Weekly, No. 803, Tahun 16, 20 Mei 1961, hlm. 28.
“Begini kehidupan drama di Fakultas kami, harus dilanjutkan dari angkatan ke angkatan,” begitulah bunyi sebuah petikan kalimat dari kata pengantar dari pergelaran sandiwara Fakultas Sastra dan Kebudayaan GAMA yang termuat dalam lembaran program…
Dan malam itu, tanggal 16 April, drama yang mereka pertunjukan ialah “Yerma” tragedi puitis ciptaan Frederico Garcia Lorca. Drama ini pernah sebelumnya dipertunjukkan oleh ATNI dengan sutradara Drs. Asrul Sani. “Yerma” Fakultas Sastra GAMA ini disutradarai oleh Pong Walujo.
Itulah pertunjukan malam kedua, malam pertamanya tanggal 15 April 1961.
“Pementasan ini lebih dititikberatkan pada seginya yang universal jadi bukan sebagai cerita yang harus mengikatkan diri pada bumi Frederico Garcia Lorca dilahirkan, ialah tanah Spanyol. Sebab ia bisa terjadi dimanapun dalam segala waktu tak terbatas pada Yerma dan Juan, atau Vsevolod dan Lilina maupun Kromo dan Ginem…,” demikian pula lagi sebuah petikan dari kata pengantar yang kami sebutkan di atas. Barangkali karena sudah mereka gariskan begitu, maka lalu saudara sutradara, dalam cerita Yerma yang terjadi di Andalusia, Spanyol ini, dengan leluasa memakai topi anyam a la Cuba atau Havana untuk seorang gembala Andalusia, kemudian diberinya pula gembala dari Andalusia ini sebuah cambuk aren dari Jawa, lain daripada itu sang gembala itu disuruhnya pula meneriakkan lagu nelayan Italia, hampir kebanyakan pemain-pemainnya berbicara dengan gaya Jawa, dan ada pula yang mengucapkan nama Juan yang seharusnya diucapkan “chuan” dengan tetap “yuan” saja, serta akhirnya di sebuah dinding dekornya ia gantungkan sebuah lampu model Hongkong yang terbaru yang kini banyak ditiru dibikin di Indonesia yang pendeknya kini menjadi laris untuk penghias rumah-rumah kita. Saya kira pekerjaan yang setengah-setengah tak akan bisa diperingan dengan sebuah alasan seperti terkutip di atas.
Sebuah drama memang sangat mungkin bersifat universal temanya, tetapi bagaimanapun juga sebuah drama memang terikat pada tempat dan waktunya cerita terjadi. Drama adalah gambaran dari manusia dan kehidupannya. Manusia dan kehidupannya disitu adalah manusia dan kehidupan yang kongkrit dan komplit. Manusia apa, bangsa apa, wataknya bagaimana, tingkat hidupnya bagaimana, dan lain sebagainya harus jelas.
*
Di zaman Shakespeare untuk menjelaskan tokoh Markus Antonius, orang tidak perlu memakai kostum Romawi. Dan dalam cerita “Julius Caesar” itu orang tidak pula menggunakan setting yang menggambarkan Roma. Tetapi toh orang mendapat gambaran yang lengkap tentang Markus Antonius, misalnya, dengan akting yang tepat menggambarkan seorang jenderal Romawi. Orson Welles pernah pula memproduksi “Julius Caesar” ini dengan pakaian tentara Amerika dan Senator-senator di Washington. Tetapi toh suasana Romawi tetap terpelihara berkat akting yang kuat. Karena dalam drama gambaran yang terkuat tidak digambarkan dengan kostum dan setting, tetapi dengan akting dan dialog. Jadi dalam memainkan “Yerma” itu, orang bisa saja menciptakan suasana Spanyol dan gambaran orang Spanyol dengan akting saja. Karenanya sang gembala tidak boleh meneriakkan lagu nelayan Italia, tidak boleh mengucapkan “yuan”, tidak boleh memperlihatkan sikap badan seperti orang Jawa yang suka membungkuk-bungkuk, dan juga gaya “sesambat” a la Jawa harus dihilangkan. Mereka harus mempelajari pose-pose a la Spanyol, dan juga perwatakan ataupun gaya karakterisasi a la Spanyol.
Sementara itu kostum bisa saja tetapi dipakai kostum sehari-hari kita, dan setting tak usah ada sama sekali. Tetapi kalau memang sudah diputuskan hendak dipakai kostum dan dekor, maka jangan pula hal itu dikerjakan separuh-separuh, kurang teliti, dan kurang dipelajari. Kegiatan yang tekun, dan hasrat seorang terpelajar, seperti yang dilakukan oleh Steve Lim harus dijalankan. Ialah, seperti Steve Lim itu, membalik-balik selusin buku dan selusin gambar-gambar untuk mendapatkan gambaran yang tepat untuk kostum dan props yang akan dipakai untuk “Yerma” ATNI. Pula untuk keperluan itu ia berhubungan dengan kedutaan Argentina dan pergi ke Bandung untuk mendapatkan kendi-kendi dan tempayan-tempayan yang cocok untuk keperluannya, ialah ke sanggar ITB jurusan seni rupa.
*
Sekarang datang pertanyaan: sampai dimana orang bisa mengubah naskah asli sebuah sandiwara? Pertama, orang bisa mengubahnya sebagai adaptasi atau saduran. Dalam hal ini tentu saja orang bebas mengubah tempat terjadi, waktu terjadi, dan kebangsaan pelakunya. Tetapi dalam adaptasi orang biasanya tidak mengubah komposisi dramatisnya dan struktur dramatisnya. Dan juga biasanya orang tak mengubah tema ceritanya. Ada juga kadangkala adaptasi yang sangat bebas dalam merombak, sehingga pada hakekatnya telah merupakan karangan yang lain, dan kalau toh sang penyadur masih mencantumkan nama pengarang aslinya, biasanya hal itu didorong oleh kenyataan bahwa struktur dramatisnya yang asli, serta plotnya masih tetap merupakan inti dari karangan yang baru itu.
Kedua, orang bisa mengubahnya apabila sandiwara itu terlalu panjang atau ada bagian-bagian yang lemah yang oleh sutradara memang pantas dihilangkan. Tetapi dalam hal ini orang harus berhati-hati dan harus penuh dengan pertanggungan jawab yang logis. Sandiwara “Yerma” yang dipergelarkan oleh Fakultas Sastra GAMA itu telah dipersingkat, dan diubah tempat terjadi dari beberapa adegan, yaitu hampir semuanya terjadi di rumah Juan, kecuali babak terakhir.
Sekarang bagaimanakah pertanggungan jawabnya? Di dalam siasat kata pengantar tak kita dapati kalimat-kalimat yang menyinggung-nyinggung hal ini. Setelah membaca kembali naskah asli “Yerma” dan mempertimbangkan segala kemungkinan-kemungkinan pemanggungannya, kita tidak melihat alasan kenapa ada adegan yang harus dihilangkan. Barangkali cerita disingkat karena kesukaran penyutradaraan, atau barangkali karena ketidakmampuan melaksanakan dekor, tetapi itu semua memang termasuk tanggung jawab yang harus ditempuh, tidak dielak-elakkan.
*
Apabila hendak mengadakan perubahan terhadap sebuah sandiwara haruslah kelihatan dilakukan dengan sadar, dan dengan mengerti. Ia harus mengerti apa struktur dramatis itu, apa irama sebuah sandiwara itu, apakah kehidupan tema itu, dan hal-hal elementer lainnya. Dengan menghilangkan adegan para perempuan pencuci maka perkembangan cerita menjadi terganggu. Lorca membuat adegan ini tidak untuk sekedar penghias, atau menempatkan “kata-kata bagus”. Adegan ini dibuat untuk melukiskan perkembangan cerita, supaya jalannya cerita tidak meloncat-loncat, supaya ada persiapan untuk tingkat kejadian dimana kecurigaan Juan terhadap Yerma memuncak, dan perkembangan rasa malu Yerma yang tak beranak yang juga sampai ke puncak.
Tanpa adegan para perempuan pencuci ini, dimana mereka mengocehkan perkembangan cerita dan membumbui perkembangan emosi penonton yang akan dibimbing ke klimaks, maka akan terasa bahwa perkembangan emosi jadi meloncat, tidak sedap.
Kita lantas dihadapkan pada Juan yang tahu-tahu sudah memuncak kecurigaannya, dan Yerma tahu-tahu sudah seperti orang sakit syaraf. Perkembangan cerita yang begini tidak sesuai dengan perkembangan emosi pada penonton, dan hal yang begini ini dinamakan struktur drama yang kasar. Maka untuk mencegah semuanya itulah Lorca membuat adegan para pencuci. Cara yang dipergunakannya bukan lagi cara yang baru. Seorang mahasiswa Sastra Barat pasti akan segera mengenal teknik yang demikian itu apabila ia benar-benar membaca “Murder in the Cathedral” ciptaan T.S. Eliot atau “Oedipus Rex” oleh Sophocles, atau sekian lusin yang lain, dan akan segera pula diketahuinya apa fungsi sebuah adegan semacam itu untuk sebuah sandiwara.
Adegan di babak ketiga, diperkemahan kaum Gitana, dimana muncul topeng-topeng setan, adalah merupakan tantangan bagi penyutradaraan yang tidak boleh dielakkan begitu saja. Benar bahwa pentingnya ada tidak semutlak adegan para pencuci dimana adegan itu termasuk dalam rantai pembinaan plot, tetapi adegan topeng-topeng setan ini pun mempunyai kedudukan yang penting, terutama dalam sebuah sandiwara yang oleh penulisnya sendiri disebut sajak sedih dalam tiga babak dan enam adegan, ialah kedudukan sebagai pembina pemuncakan emosi dan sekaligus pemberi ketegangan puitis kepada sajak sedih dalam tiga babak dan enam adegan itu.
Bahwa Lorca menamakan sandiwaranya itu sebuah sajak sedih dalam tiga babak hal ini memang ada maksudnya. Ia seorang penyair yang pernah bekerja pada rombongan sandiwara mahasiswa yang bernama “La Barraca”. Sebagai penyair yang juga dramawan ia selalu menciptakan terlaksananya sebuah puisi panggung, atau dengan kata lain sebuah puisi yang terwujud di atas panggung. Puisi di atas panggung tentu saja berbeda daripada puisi di atas kertas buku. Puisi di atas panggung tidak hanya terdiri dari kata-kata puitis, tetapi juga dari kejadian-kejadian puitis di atas panggung. Itulah pula antara lain sebabnya bahwa adegan topeng-topeng setan itu tak bisa dihilangkan begitu saja.
*
Cita-cita Lorca tersebut di atas telah berhasil ia wujudkan dalam tulisan sandiwaranya. Pengalamannya sebagai sutradara “La Barraca” memang tidak sia-sia. Dengan pandai ia mempergunakan teknik lampu dan pantomim untuk menciptakan dunia mimpi Yerma di bagian pembukaan babak pertama (sayang adegan ini juga dihilangkan oleh Pong Walujo), ia pandai pula menyusun kejadian-kejadian yang satu persatu masuk ke dalam rangka plot dengan cara yang puitis.
Terutama cara perlampuan sering dipergunakan Lorca dalam Yerma ini untuk mencapai cita-citanya. Sayang dalam produksi Fakultas Sastra GAMA perlampuannya buruk dan tidak punya efek dramatis, apalagi puitis. Dialog dalam Yerma adalah puncak-puncak dari pelaksanaan cita-cita Lorca itu. Perbandingan-perbandingan yang tepat, irama yang merdu, dan pilihan kata yang bagus, semua terpapar disitu. Sayang dalam produksi Fakultas Sastra, perbandingan-perbandingan puitis serta aneka ragam plastik bahasa diucapkan dengan kelihatan tidak dimengerti. Jangankan irama yang merdu, irama yang biasa saja tak nampak. Tulus Sudarsono yang bermain sebagai Juan, Lastri Fardani yang bermain sebagai Maria, serta segenap pemain-pemain pembantu lainnya tidak bisa mengerti kata-kata yang mereka ucapkan, titik komanya salah, iramanya hilang, rasa puitisnya hilang.
Yang bisa menangkap nilai puitis dari dialog hanyalah Sri Widiati Saebani pemegang peran Yerma. Permainannya bagus, konsentrasinya kuat, kualitas suaranya termasuk unggul untuk dunia pentas dan deklamasi. Keunggulan kualitas suara ini bisa ia capai biarpun tanpa mikrofon. Saya kira di Jogja tak ada tandingannya dalam hal suara dan pembawaan sajak. Sayang bahwa bakatnya tidak mendapat pimpinan yang semestinya, sehingga ia tidak bisa bermain sesuai dengan perjalanan cerita. Kadang-kadang ia terlalu buru-buru bermain keras, terlalu tergesa-gesa ingin ke klimaks, sehingga kelihatannya seperti over dramatic, terutama karena ia harus memainkan adegan-adegan yang telah dipotong-potong dan dirusak. Penemuan bakat Widi Saebani ini adalah penemuan bakat yang terbesar untuk dunia pentas sejak pergelaran-pergelaran sandiwara Fakultas Sastra GAMA yang pertama.
Pemain yang lain, kecuali Widi, lebih baik tak usah diulas secara mendetail disini, untuk menghindarkan saya dari pekerjaan membuat daftar kesalahan yang panjang.
*
Penyutradaraan pergelaran ini tidak mencerminkan penjiwaan teater. Pola pokok dari gaya penyutradaraan Pong Walujo tak ada. Dengan sendirinya konsep pokok dalam pemasakan para pemain juga tidak ada. Tulus Sudarsono, pemeran Juan, bermain tidak dengan bekas tangan sutradara tetapi dengan bekas tangan Hartata Adi dan B.M. Gutomo yang keduanya baru selang beberapa waktu yang lalu memainkan “Si Bachil”. Tulus Sudarsono menjaplak permainan kedua orang itu secara berganti-ganti. Pemain-pemain tidak pula ia satukan dalam akting bersama yang utuh. Sering benar terjadi masing-masing pemain main sendiri-sendiri dan tidak mengikuti satu pola dasar dari penyutradaraan. Satu kali Yerma berbicara dengan Dolores di panggung sebelah kanan, mereka membicarakan tentang satu soal yang penting, ialah soal usaha Yerma untuk mendapat anak. Soal ini penting, seharusnya diberi fokus dengan grouping pemain yang tepat, intonasi dialog yang khusus untuk peristiwa semacam itu, serta ditempatkan di bagian panggung yang kuat, atau entah bagaimana jalannya, asal kejadian itu diberi tekanan. Tetapi tidak. Kejadian ini berjalan dengan hambar. Intonasi Dolores datar. Yerma tidak dikenakan pada emosi yang tepat. Dan Perempuan Tua I yang juga hadir di situ, tidak disuruh membentuk grouping yang menekankan fokus, tetapi justru malah main sendiri. Ia berjalan hilir mudik di sepanjang kamar dengan main-main bandul lonceng, lihat-lihat mesin jahit, dan lain-lain. Akibatnya, perhatian penonton terpecah, suasana terpecah, konsentrasi emosi terpecah, dan peristiwa penting itu lewat tanpa efek dramatis. Contoh semacam ini sering kali terjadi. Sebenarnya kesalahan-kesalahan elementer begini hanya boleh terjadi di waktu latihan saja.
Bagaimana pun juga kegagalan “Yerma” Fakultas Sastra GAMA ini yang paling disesalkan ialah kegagalannya menjadikan puisi panggung seperti dicitakan oleh Lorca. Malam itu Federico Garcia Lorca telah dijagal.