Sumber: Zenith, No. 6, Tahun 1, Juni 1951, hlm. 325-329.
Kalau aku boleh berkisah dengan selela-lelanya, maka yang pertama-tama hendak kukatakan ialah bahwa hawa panas telah mulai agak berkurang sedikit. Ini terasa benar, biarpun buat orang yang telah bermukim bertahun-tahun di kota ini sehingga telah serasi dengan hawanya. Beberapa saat yang lalu di Jakarta hawa sangat panas, bukan karena politik saja, tetapi karena alam menghendaki. Aku yang sering kali lewat depan stasiun Gambir dan minum segelas air jeruk di kamar tunggunya, terpaksa seringkali berasa kecewa, karena batu es persediaan pengurus restoran pagi-pagi telah habis. Kadang-kadang kita berasa remuk rendam dan berpikir apakah artinya kehidupan dengan tidak ada air es. Tentu saja ucapan ini hanya sebuah omong kosong tetapi kadang-kadang melegakan juga apakala sesuatu kebutuhan atau kesulitan diselesaikan dengan sebuah omelan saja.
Dengan tidak tergantung kepada temperatur hari orang-orang senantiasa sibuk dalam segala lapangan, juga dalam kalangan kebudayaan. Suara-suara hiruk pikuk tidak banyak yang kedengaran-kedengaran keluar dari daerah ini, karena ini memang bukan daerah untuk advertensi dan reklame. Orang disini seolah-olah lahir diam-diam, besar diam dan kemudian mati diam. Hanya dengan cara bergaul dengan kaum kebudayaan ini sendiri, dengan seniman-seniman dapat kita mengetahui bahwa api yang dihidupkan mereka sungguh-sungguh merah warnanya.
Ah, berapa sedikitnya pengetahuan kita umumnya tentang kejadian-kejadian kebudayaan di tanah air sendiri. Kementerian Penerangan rupanya tidak menganggap perlu untuk mencatat kejadian-kejadian ini dan kemudian mengeluarkannya setiap bulan sebagai sebuah ikhtisar kebudayaan seperti dulu pernah dilakukan oleh R.V.D. Belanda. Sekarang kalau kita perlu sebuah pandangan umum tentang kejadian-kejadian kebudayaan, sebagai seteleng-seteleng, sandiwara, premiere film yang penting, penyiaran karangan yang patut diperhatikan, terpaksa kita menulis ke Amsterdam dan meminta kepada “Stichting voor de Culturele Samenwerking” sebuah brosur yang ditulis dalam Bahasa Belanda dalam mana kita dapat baca sebagian (ini pun baru sebagian) dari catatan-catatan yang kita cari. Tentu memalukan sekali, bahwa kita harus meminta kepada bangsa asing —biarpun bangsa ini tidak berniat busuk dengan pengeluaran itu— sedangkan pemerintah kita sendiri bisa mengeluarkan dengan mudah. Apakah pemerintah tidak punya perhatian untuk ini dan apakah kebanyakan kaum politisi yang sering melisankan kata kebudayaan: hanya mengeluarkan kata itu karena memang patut dikeluarkan jadi: hanya karena kegaliban? Banyak orang bicara tentang kebudayaan atau seni. Mereka ini baca buku tentang kebudayaan atau seni. Tetapi sampai disinilah perhatian mereka. Hasil-hasil kebudayaan atau seni seperti sebuah lukisan, sebuah roman, sebuah sajak (apalagi yang terakhir ini mereka tidak mau baca karena katanya menghabiskan waktu dan tak memberi hasil) tak mereka singgung. Tentang perhatian terhadap hasil seni ini banyak dapat dikatakan: ini tidak saja mengenai hasil-hasil seni Indonesia tetapi juga hasil seni luar negeri. Kaum intelek kita hampir semuanya lepasan didikan Barat, dalam didikan mana mereka dapat kesempatan berkenal dengan seni asing. Jadi jika mereka bicara dengan cara yang patut tentang hasil-hasil seni ini, sebetulnya sudah pada tempatnya. Bicara tentang seni sendiri tidak mudah, karena ini menghendaki pemikiran sendiri dan kesanggupan menangkap yang murni. Orang tak dapat “mengambil-over”, sedangkan yang terbanyak dimiliki orang adalah yang terakhir ini. Kaum intelek kita sering menyebut Goethe, men-sitir Goethe dan sebagainya (di sekolah pada mereka diajarkan, bahwa Goethe besar), tetapi karangan seorang Malraux misalnya yang hidup pada zaman kita sendiri mereka tak pernah mau baca semata-mata karena Malraux mengarang roman. Sedangkan Goethe pun sebetulnya tidak lain dari seorang penyair seperti Amir Hamzah dan seorang pengarang sebagai Idrus. Perbedaan antara Goethe dan Malraux ialah Goethe telah diakui oleh sejarah sedangkan pengarang-pengarang yang hidup sekarang masih harus diperjuangkan tempatnya hanya karena mereka masih hidup dan pekerjaan mereka belum lagi diselesaikan sama sekali. Orang hanya maui yang telah diakui. Bagaimana mentaliteit seperti ini bisa cocok dengan kecondongan-kecondongan revolusi yang ada di tanah air kita masih menjadi pertanyaan padaku. Barangkali orang di sini jadi bunglon.
Semenjak negara kita ini terbentuk banyak betul hal yang terjadi yang kita tidak mengerti. Di Jakarta ini bisa kita lihat.
Baru-baru ini berturut-turut saya dapat kesempatan untuk melihat seteleng-seteleng seni lukis dari beberapa pelukis Indonesia yang diadakan oleh Jajasan Kerdjasama Kebudajaan. Barangkali kau tak punya bayangan bagaimana Jajasan Kerdjasama Kebudajaan ini. Kalau kau lewat Jalan Gajah Mada dan kau sampai pada No. 13 maka kau lihatlah sebuah gedung putih bertingkat dua yang di depannya berlambang S.C.S. berarti: Stichting voor de Culturele Samenwerking. Kau masuk ke dalam lalu kau naik ke tingkat kedua. Di tingkat kedua ini ada perpustakaan yang berisi bacaan-bacaan yang terbaru dalam segala hal yang mengenai kebudayaan, lebih-lebih mengenai seni. Ruang ini boleh kau masuki mulai pukul 8 pagi sampai pukul 8 malam. Pegawai-pegawai yang mengurus perpustakaan ini kebanyakan mahasiswa-mahasiswa. Sikap mereka yang riang dan wajah mereka yang segar serta tidak banyak tanya-tanya menyebabkan suasana ruangan ini lebih segar dari suasana ruang-ruang pemerintah dimana birokrasi merajalela dan pegawai-pegawai yang bertingkah seperti Hitler-Hitler kecil berlagak pura-pura. Dalam waktu yang singkat perpustakaan ini telah beroleh banyak anggota dan sekarang ia termasuk salah satu perpustakaan yang terbanyak dikunjungi orang. Kemudian kau turun kembali. Di ruang tengah akan kau temui sebuah lemari berisi piring-piring hitam dan di sana kau boleh mendengarkan berbagai-bagai lagu yang kau ingini. Mulai dari lagu Jepang, Tiongkok dan sebagainya. Biar pun jumlah piring hitam ini belum cukup, tetapi ini adalah suatu usaha yang terus terang harus diakui baik dan yang menunjukkan bagaimana yakinnya orang yang mengerjakannya. Kalau kau berjalan terus maka kau akan sampai ke ruang seteleng seni lukis. Kalau punya banyak kawan dan kau ingin melihat film Yehudi Menuhin memainkan biolanya, atau Toscanini memimpin orkes, kisah pelukis Vincent van Gogh, pelukis Matisse, film Hamlet dan lain-lain film kebudayaan, kehendakmu akan diperkenankan.
Segalanya ini tidak saja mengenai kehidupan di Barat tetapi juga mengenai seni kita sendiri tari-tari Bali, ceramah-ceramah tentang kebudayaan tentang perguruan nasional dan sebagainya.
Pendeknya kita lihat disini satu usaha untuk memperkenalkan hasil seni kepada publik umum, suatu usaha yang misalnya oleh badan seperti Lembaga Kebudajaan Indonesia, suatu badan nasional dengan sokongan pemerintah, belum pernah dilakukan. Kau barangkali akan mengatakan, ya, kita kekurangan bahan-bahan. Dulu saya mengangguk, jika orang mengatakan ini, tetapi sekarang saya tidak mau lagi diyakinkan dengan begitu saja. Pokoknya ialah inisiatif yang tidak ada dan perhatian yang kurang cukup terhadap soal ini.
Barangkali dalam berjalan-jalan itu kau akan menemui pemimpin yayasan ini. Ia seorang yang bagus potongan mukanya, berambut kehitam-hitaman dengan di sana-sini uban karena umur, suka berdasi rama-rama, lancar berbahasa Rusia, Pola, dan lain-lain bahasa asing. Ia adalah seorang prototipe intelektuil Belanda yang dapat mengatasi ke Belandaannya karena banyak berjalan dan banyak bergaul dengan bangsa asing. Kalau kita bicara dengannya maka kita ketahui bahwa minatnya terhadap kebudayaan ini sangat besar. Dalam usahanya dapat kita lihat bahwa bekerja untuk kebudayaan adalah suatu kesenangan yang besar baginya. Saya misalnya tidak ada melihat dibalik perkataannya, bahwa dengan usahanya ia berharap akan diangkat jadi pegawai penting di negerinya. Dengan mengenyampingkan pendapat kita sendiri tentang kebudayaan Eropa yang didukung dan diwakilinya, maka ia adalah seorang yang patut dihargai karena minat dan usahanya.
Nah, dalam yayasan inilah buah tangan pelukis-pelukis Indonesia itu disetelengkan. Seteleng yang pertama ialah seteleng lukisan-lukisan Mochtar Apin, Burhanudin, Chalid, Iskandar, dan Sadeli. Seteleng ini banyak sekali memberi kesegaran. Rivai Apin yang menulis dalam “Gelanggang” berpendapat bahwa lukisan-lukisan ini membawa udara lain dari yang diberi lukisan-lukisan yang biasa disetelengkan oleh pelukis-pelukis Indonesia. Kadang-kadang kita berpikir, kenapa lagi-lagi lukisan-lukisan pelukis Indonesia harus diperkenalkan kepada khalayak umum oleh sebuah badan asing dan bukan oleh jawatan kebudayaan pemerintah atau yang lain. Sekarang kau sendirilah menjawab ini! Pada malam pembukaan itu yang banyak saya lihat ialah bangsa Belanda, wartawan Indonesia tak seorang juga, tuan-tuan penting yang suka bicara tentang kebudayaan seperti “jago-jago” Lembaga Kebudajaan Indonesia ataupun pemimpin-pemimpin jawatan kebudayaan dan sebagainya tidak ada sama sekali kelihatan puncak hidungnya —pendeknya orang Indonesia, baik intelektuil atau tidak, dapat dihitung dengan jari. Saya lihat seorang jurnalis Belanda yang mengaku dirinya seorang “leek” mencari-cari pelukis-pelukis lukisan yang disetelengkan itu untuk menanyakan pelbagai hal mengenai seni lukis Indonesia. Suasana sesudah pengunjung-pengunjung seteleng pergi baik sekali. Beberapa orang kawan tinggal, dan kami berbicara tentang berbagai soal. Waktu itu aku berkata dalam hatiku: “Alangkah baiknya jika kau juga hadir dan kau ikut berbicara.”
Seteleng kedua ialah seteleng pelukis S. Salim yang sekarang berdiam di Paris. Kau juga tentu tahu cerita bagaimana waktu Konferensi Meja Bundar dulu Salim mengadakan seteleng di negeri Belanda sebagai penyambut delegasi-delegasi kita dan bagaimana kecewanya pelukis ini waktu dillihatnya bangsanya sendiri —anggota-anggota delegasi itu sendiri— tidak menaruh perhatian sama sekali kepada hasil yang telah diperolehnya setelah bekerja bertahun-tahun. Demikian juga halnya dengan seteleng yang diadakan di Jakarta. Seteleng ini dibuka oleh Sutan Sjahrir sebagai seorang kawan lama. Toh orang bertepuk sehabis pidato. Entah karena Sjahrir, entah karena pidato itu telah habis, entah karena sopan santun. Ketiganya mungkin, tetapi tidak mungkin mereka bertepuk karena isi pidato itu bagus, karena hampir semua pengunjung adalah Belanda dan mereka hanya mengerti Bahasa Belanda. Aku tidak dapat memberikan sebuah kritik seni untuk lukisan-lukisan ini, karena kesanggupanku untuk ini tidak ada: aku bukan kritikus seni. Lukisan-lukisan ini telah kunikmati dengan membisu. Kukatakanlah disini bahwa dalam reproduksi yang mungkin kau lihat dalam lembaran-lembaran kebudayaan, banyak sekali dari keindahan-keindahan yang dapat kulihat itu, hilang. Sekali lagi timbul dalam hatiku “alangkah baiknya kalau kau ikut melihat.”
Aku tidak lama di gedung ini. O.M. menyugukan daku segelas jenever yang tidak kutampik. Lalu pergilah kami —S.U. dan aku— ke rumah T.A. yang akan mengadakan perjalanan kebudayaan ke Eropa.
Sebetulnya surat ini sudah baik ditutup karena barangkali terlampau panjang. Tetapi ada lagi sebuah kejadian yang tidak boleh tidak harus kuceritakan kepada kau, yaitu kepergianku ke Tugu. Tugu bukanlah suatu tempat yang penting. Pertemuan yang kukunjungi dan yang diadakan di sana sebaliknya kurasai penting dan sebab itu mau kuberitakan kepada kau. Pada pertemuan itu seorang pemuka Lembaga Kebudayaan Rakjat akan mengemukakan pendiriannya tentang kebudayaan. O ya, sebagai iseng-iseng tentang lembaga baru ini: seorang mahaguru sejarah yang berpendapat bahwa bagi mahasiswanya amat penting mengetahui masyarakat terlebih dahulu baru mengenal buku —suatu anggapan yang sehat sekali— menanyakan kepada mahasiswa-mahasiswanya, apakah Lembaga Kebudayaan Rakjat itu. Sebagai kita sangka-sangkakan: tak seorang juga yang dapat menjawab pertanyaan ini. Semenjak itu jika ia mau mulai kuliahnya ia berkata: “Dan sekarang tuan-tuan dari kelas Borjuis…”— sedang diluar jika kita bertanya apa sebenarnya Lembaga Kebudayaan Rakjat, kala-kalanya kita mendapat jawaban “Lembaga Kebudayaan R.R.T.” Kau mengerti mengapa aku ingin sekali mendengarkan penjelasan pemuka lembaga ini.
Sayang sekali malam itu pembicara berhalangan, sehingga terpaksa salah diminta pengacara lain. Dalam percakapan-percakapan itu keluar percakapan “kesunyian”. Salah sebuah perkataan yang sering kita dengar dalam pembahasan-pembahasan kebudayaan.
Kawan percayakah kau bahwa kesunyian ada di kalangan kita sekarang?
Percaya dan tidak!
Tidak percaya, jika kesunyian ini kau artikan seperti kesunyian yang dialami orang Barat sekarang. Percaya jika kesunyian ini kau artikan: jarak antara kekecewaan dan kemauan memukul kembali; kesunyian sementara, sehingga langit terang dan diketahui mana yang kawan mana yang lawan; kesunyian karena suatu pengkhianatan.
Pada waktu yang akhir-akhir ini kelihatan sekali bagaimana kaum politisi berlaku sebagai kalangan reaksi. Mereka telah jadi “die hards” yang betul-betul telah berkarat. Mereka telah mencoba memberikan suatu batas-peraturan kepada sesuatu yang lagi menerjang-menerjang karena kehidupan.
Hari besok kawan adalah hari pertentangan antara kaum politik dan seniman.
Itu sepatah kata dari Tugu. Dan buat surat ini, ini adalah kata yang terakhir.
Pada pagi hari-hari akhir ini aku sering rindukan bunga-bungaan yang segar, tidak dalam jambangan, tetapi kembang di bumi berselimut embun.