PAMERAN LUKISAN-LUKISAN PELUKIS RAKJAT

Sumber: Harian Rakjat, No. 1292, Tahun V, Sabtu, 5 November 1955, hlm. III.

Dengan sangat bersahaja dan tidak disertai upacara pembukaan, maka sejak tanggal 28 Oktober bulan yang lalu, berlangsunglah pameran lukisan-lukisan dari pelukis-pelukis yang tergabung dalam perkumpulan Pelukis Rakjat.

Bagi mereka yang mengikuti kehidupan kesenian Indonesia, terutama pada masa sesudahnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka nama Pelukis Rakjat, tidak saja tidak asing dan tak terpisah dari sejarah perkembangan Seni Rupa Indonesia Baru, tetapi juga tak bisa terpisah dari sejarah perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia, karena tatlaka pertempuran-pertempuran berjalan sedahsyat-dahsyatnya, maka banyak di antara pelukis-pelukis, menggantikan kuas dan paletnya dengan granat atau bedil untuk mengabdi pada tanah air, serta sebagian lainnya menerobos barikade politik dan militer Belanda dengan lukisan-lukisannya… hingga tidak berkelebih-lebihan kalau dikatakan bahwa apa yang tidak tercapai oleh kaum politisi ketika itu, dicapai oleh seniman-seniman pelukis kita, yang melenyapkan pada kaum berpikir di kalangan musuh dari Republik Indonesia, tuduhan dan pendapat, bahwa kaum Republikein terdiri dari pembunuh-pembunuh dan perampok-perampok…

Karena tidaklah suatu surat kabar Belanda di Jakarta yang ketika itu tiap-tiap hari memfitnah dan menuduh pemuda-pemuda kita, sebagai perampok dan pembunuh, pada suatu ketika, terpaksa mengakui dalam tulisannya sesudahnya ia mengunjungi suatu pameran: “Als men een anderen kijk op de Indonesche jongeren wil krijgen, dan uit bloedige courranten-berichten, ga men eens een kijkje nemen in het voormalige gebouw van den Kunstkring. Daar words than seen tentoostelling gehouden door Indonesische schilders…”

Pameran yang dimaksudkan ini, banyak di antaranya adalah hasil buah tangan dari pelukis-pelukis yang sekarang tergabung dalam Pelukis Rakjat.

Dengan tidak meremehkan pameran Basuki Abdullah, yang belum lama berselang dilangsungkan dengan upacara pembukaan yang sangat mentereng, dan dalam upacara mana tidak kurang dari 2 menteri kita, mengucapkan kata sambutannya, maka sudah sewajarnya kalau pameran Pelukis Rakjat ini, mendapat sokongan dan perhatian yang lebih besar lagi dari pihak yang berwajib….

Pameran Pelukis Rakjat ini, cukup mengandung arti yang penting, tidak saja karena usaha ini untuk pertama-tama kalinya diadakan di Ibu Kota, tetapi karena dalam pameran ini kita bisa berkenalan dengan seniman-seniman muda yang dihasilkan oleh Revolusi dan melalui pameran ini pula kita dapat memandang kemampuan dan kwalitet tiap-tiap anggota Pelukis Rakjat, yang hingga kini oleh umum terutama hanya dikenal sebagai himpunan saja, yang menghasilkan ciptaan-ciptaan kolektif, sebagaimana kita melihat pada arca-arca yang menghiasi beberapa gedung-gedung dan taman-taman di beberapa kota-kota besar di Indonesia.

Tiba pada pembicaraan mengenai lukisan-lukisan, maka kalau kita memandang pameran keseluruhannya, maka kesan pertama yang kita peroleh, ialah bahwa berbeda dengan lukisan-lukisan yang pernah kami lihat dahulu, pameran ini menunjukkan suatu usaha, terutama pada pelukis-pelukis muda, untuk membentuk individualitetnya masing-masing, sekalipun di sini sana masih terlekat pengaruh-pengaruh Hendra, Sudarso, Affandi, dan sebagainya.

Tidak saja karena tema atau persoalannya, tetapi terutama pembawaan dan suasana yang terkandung dalam lukisan-lukisan yang kita hadapi itu, membawa kita pada penemuan-penemuan dan ketentuan-ketentuan yang karakteristik dimiliki manusia dan alam Indonesia. Penemuan-penemuan ini, yang juga dimiliki oleh pelukis-pelukis di luar Pelukis Rakjat, tentu bukan suatu hasil usaha 2-3 hari atau 2-3 pelukis saja, tetapi adalah hasil usaha kolektif yang melalui proses bertahun-tahun yang tak luput pula dari pelbagai corak dan aliran yang belum sampai pada penyelesaiannya, berubah-berubah sesuai dengan dinamik zaman yang mau atau tidak juga mempengaruhi kehidupan seni dan seniman Indonesia.

Sekalipun dalam cara penjelmaannya masih meraba-raba dan belum sempurna, dasar penggerak daya cipta dan artistik mereka yang bersendi pada kemasyarakatan, menyebabkan tersingkirnya sifat-sifat extremiteit dan pelarian, namun tidak mengurangi kepribadian masing-masing, sebagaimana nampak pada tiap-tiap lukisan suatu usaha yang mencari keselarasan dalam kepaduan subyek dan obyek.

Bagi Hendra misalnya, tidak sedikit terasa betapa berat baginya, untuk memadamkan letusan-letusan artistisitetnya, hingga tidak mengherankan kalau dalam usahanya itu, tak luput dari suatu keteatralan yang mengandung klimaks-klimaks yang mengharukan dan menarik. Lihat misalnya, ketegangan (spanning) pada sikap wanita yang menangkap capung, dan pada anak yang sedang mengikuti tiap-tiap gerak capung itu, yang dengan penuh gaya garis dan warna disapunya, semata-mata sedikit waktu lagi lukisan itu akan meledak, dan kedua orang itu akan loncat dari bingkai lukisan, karena kegembiraannya capung tertangkap.

Tetapi lihat pula ketelitian dan ketenangan ia menguraikan capung itu, serta tumbuhan-tumbuhan kecil di sekitarnya, semata-mata ia hendak mengimbangi ketegangan tadi.

Dalam komposisi ia condong ke kemonumentalan begitupun Sudarso ¾hanya bedanya lagi Sudarso ia tidak menyusun komposisi, melainkan menyerahkan penyusunannya pada alam dan kebetulan.

Lihat misalnya lukisan Pemandangannya yang secara kompositoris tak berencana semata-mata, tetapi toh menemukan irama garis dan warna yang spesifik memberi kesan yang indah pada lukisan-lukisannya.

Begitu pula pada lukisan-lukisan orang, ia tidak menjadikan persoalan yang utama dan dalam mengenai komposisi, hingga karena tak berencana itu ia mencapai klimaks-klimaks yang mungkin toh dikehendakinya sendiri.

Lukisan “mBak Djum” adalah satu misal. Betapa hidup dan kuat bagian kaki dan tangan ¾betapa teliti pelukis¾ motif-motif kain dan lipatan-lipatannya kalau dibandingkan dengan kebekuan bagian atas terutama wajah muka wanita ini.

Pembawaan yang dimiliki oleh lukisan-lukisannya dimana si pelukis semata-mata menekunkan perasaan dan keharuannya waktu menghadapi persoalannya, yang menyebabkan terbekunya gaya pembentukan dan pelukisan yang memberi kesan indah dan bermimpi pada lukisan-lukisannya.

Berlainan, sekalipun ia banyak cenderung pada monumentalitet, adalah Djoni Trisno, yang memperlihatkan dua buah potret dalam pameran ini.

Lukisan “Potret Diri” adalah salah satu yang terkuat dalam seluruh pameran ini.

Dengan warna-warna yang tak menjerit-jerit, tetapi dengan gaya membentuk yang sangat plastis, maka sonder ia menekankan perbatinan pada kekuatan dahi dan sonder ia menguraikan sesuatu pada latar belakang potret ini, lukisan ini cukup menarik dan perasa.

Dari Sajono, dibandingkan dengan apa yang kami pernah lihat, lukisan “Dolina” tidak memperlihatkan kemampuan Sajono yang sebenarnya, sekalipun lukisan ini mengandung suasana dan kewarnaan yang menarik.

Suram, tetapi dengan gaya indah tersendiri adalah pemandangan Alibasjah.

Baginya tiap lukisan mempunyai pusat persoalan, yang terutama berkisar pada ketata-sibukan manusia.

Lihat misalnya lukisan “Pantai Timur” di “Bletok”. Alam tidak menjadi penting lagi, karena digenangkannya dalam suasana suram-berisi.

Sebagai klimaks ia menyorotkan seluruh kekayaan paletnya pada persoalan yang menarik perhatiannya, hingga cara demikian ia mencapai suatu kepaduan yang menarik di antara terang dan gelap.

Lukisan “Pacitan” dari pelukis ini, kami anggap yang terbaik dalam usahanya sebagaimana yang diuraikan di atas.

Lain daripada Alibasjah, maka lukisan Rustamadji sering memberi kesan, tentang hasrat untuk memperlihatkan sebanyak mungkin semangat yang kurang bergelombang, atau pemusatan dengan tak berpusat, hingga dengan demikian dalam kesibukan dan keasyikannya ia mengurai sonder diketahui sudah meninggalkan persoalannya yang terutama.

Lukisan “Djemuran” patut dikemukakan sebagai hasil usaha yang ulung, tetapi kurang berencana.

Lebih kuat, malahan boleh dianggap sebagai salah satu lukisan yang terbaik adalah lukisan “Dapur”, yang selainnya menunjukkan kemampuannya sebagai pelukis, juga mencapai penemuan yang selaras di antara ide dan pelukisan.

Dari A. Rachmat, kami dapat saksikan “Patjinan”, yang namun permainan warna-warna hampir-hampir mengganggu dalam pembawaan ide dalam lukisan ini, tidak berkurang alat yang membentuk, inilah yang dikehendaki oleh Batara Lubis.

Dengan sedikit mungkin menggunakan garis, warnalah yang bagi Batara Lubis menjadi penghubung dan pengurai utama dari apa yang dipersoalkannya.

Suatu eksperimen yang sangat menarik, tetapi suatu cara yang juga dapat membahayakan suatu ide yang kuat, karena dapat menampakkan ide di persoalan pada tempat kedua, kalau keasyikan mencari kewarnaan dalam warna.

Dalam usahanya ke arah ini, maka lukisan “Tiga Perahu” kami anggap terbaik, sekalipun lukisan-lukisan seperti “Grobak Djokja” dan “Kuda Gunung” juga mempunyai gaya penarik.

Juski Hakim memperlihatkan disini beberapa potret-potret yang baik “Potret Diri”, yang dilukiskannya dengan warna-warna transparan dan komposisi yang kuat.

Diluar dugaan, Trubus tidak diwakili sebaik-baiknya dalam pameran ini, malahan dengan tidak digantungnya lukisan “Penari”, kami anggap Trubus tidak merugikan kesanggupannya.

Dengan tidak mengurangi arti dari penyerta-penyerta pameran lainnya, maka dengan mengemukakan beberapa lukisan-lukisan tadi, kami telah mencoba merincikan kesan umum kami semula, yang bagaimanapun terselip beberapa pendapat yang kurang memuja, pada hakekatnya tidak mengurangi dasar-dasar positif yang ditemukan oleh Pelukis Rakjat dalam usahanya meletakkan sendi-sendi bagi penjelmaan sosial realisme Indonesia.