Sumber: Harian Rakjat, No. 1292, Tahun V, Sabtu, 5 November 1955, hlm. III.
Adalah suatu kesejukan. Saya maksudkan, bahwa masih ada penerbit yang mau menerbitkan sebuah buku kumpulan sajak. Dalam hal ini penerbit “Pustaka Rakjat” yang menerbitkan kumpulan sajak penyair Sitor Situmorang.
Suatu kesejukan. Ini dalam hubungan nafsu memburu uang yang mau mengkomersilkan segala. Termasuk daerah kesusastraan. Hanya suatu pertanyaan. Adakah penerbitan kumpulan sajak Sitor Situmorang ini sekedar untuk menambah hiasan kesopanan apa yang menyebutkan dirinya “kaum intelektuil”, jadi terbatas kepada obrolan di salon-salon saja? Kalau ini benar ¾moga-moga tidak¾ kesejukan itu berbaur juga dengan kegetiran. Di satu pihak, nama Sitor Situmorang ini termasuk deretan nama yang sering dibicarakan atau ditulis orang. Jadi, sudah merupakan semacam jaminan komersil bagi penerbit. Di lain pihak, kegersangan di daerah kesusastraan, khususnya situasi penerbitan, kurang lebih melumpuhkan bakat-bakat penyair. Publikasi hasil-hasilnya terbatas dalam majalah-majalah dan beberapa harian saja. Keadaan begini sama dengan membenarkan pendapat, bahwa kepenyairan adalah semacam penglepasan pengucapan manusia dalam umur pancaroba saja. Suatu masalah memang, yang karena keterpaksaan sebaiknya jadi perhatian para pengarang.
Mengapa, misalnya Takdir Alisjahbana, atau Asmara Hadi, atau Armijn Pane dan teman-teman segenerasinya, tidak menyair lagi? Enak sekali jawabannya. Kalau mau diperdangkal: Karena mereka sudah tua, sudah mempunyai kedudukan. Seakan-akan umur dan privilese kedudukan menjadi garis mati kepenyairan, atau kepenyairan hanya untuk orang muda ditambah belum mempunyai kedudukan saja! Sedih. Tidak. Hanya suatu gejala, bahwa masa lampau melumpuhkan bakat dan pribadi. Sebaiknya kita hadapi kesekarangan ini sebagai daerah untuk perjuangan kemekaran bakat dan pribadi seluruh bangsa.
“Surat Kertas Hidjau” adalah kumpulan 33 buah sajak Sitor Situmorang. Dicurigai oleh kelampauan saya sedikit berat untuk menyampaikan penghargaan kepada Sitor atas ketekunannya mengumpulkan sebanyak 33 buah sajak. Toh sebagai orang sezamannya, saya ikut gembira atas penerbitan kumpulan sajaknya ini. Objektif dia menunjukkan, bahwa di dalam suasana segala sempit, selalu masih ada tempat untuk kepenyairan. Meskipun kepenyairan dan penerbitan hasil-hasilnya detik ini beraksentuasi kepada perjuangan.
Semoga “Surat Kertas Hidjau” ini membantu kepada perkembangan terbitnya kumpulan-kumpulan sajak lainnya yang bebas dari diskriminasi terkenal atau belum penyairnya, khusus karena sajak-sajaknya saja.
Kalau kepelikan dijadikan kriterium kepenyairan, maka berhasillah Sitor Situmorang ini. Di dalam percobaan saya untuk mengendap sajak-sajaknya ini terasa ada kebutuhan akan kamus Bahasa Indonesia. Mungkin ini disebabkan, karena saya orang Jawa dan Sitor orang Sumatera. Ternyata, meskipun kita sudah mempunyai bahasa persatuan, tetapi di dalam pengucapan-pengucapan jiwa yang intensif, setiap kita sangat dipengaruhi oleh asal kelahiran kita.
Ini tidak berarti, bahwa saya menolak kata-kata dan kalimat-kalimat yang masih asing bagi saya. Bahkan sebaliknya. Saya berpendapat, bahwa penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat yang terasa masih asing, akan banyak membantu pengenalan setiap kita masing-masing. Bukankah ini juga sebagian dari jalan ke persatuan?
Meskipun begitu, saya kira sebaiknya setiap pengarang dan penyair berusaha menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang segera dapat bergetar kepada hati dan pikiran rakyat kita yang beragam suku bangsa ini, beragam suasana dan corak pengucapan. Misalnya, sajak-sajak Mao Tse-tung dan Ho Chi Minh, bagi kita orang-orang asing, terjemahannya dalam bahasa Indonesia, dapat segera langsung bergetar kepada alam rasa saya. Penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat bisa juga jadi barikade ke jantung perasaan dan pemikiran. Dan dengan begitu kata-kata dan kalimat-kalimat pilihan lalu menjadi hampa. Atau sekurang-kurangnya menjadi semacam teka-teki silang. Diambil baiknya, dia jadi rangsang untuk memuaskan keingintahuan.
Celakanya, kalau sifat ingin tahu ini sudah terpenuhi, ternyata, bahwa kekuranglaziman pilihan kata dan kalimat yang dipergunakan hanya dipakai tempat pelarian pengucapan jiwa yang kosong. Orang sebut dalam ucapan sehari-hari: Hanya permainan kata.
Di dalam membicarakan kumpulan sajak Sitor ini, saya bertolak dengan semacam resep, meskipun saya akui, bahwa untuk menimbang sesuatu sajak tidak ada resep. Bagi saya syarat-syarat sajak itu adalah: 1. Adanya pribadi penyairnya dalam sajak-sajaknya itu; 2. Mengharukan dan ini sangat subjektif, tergantung kepada sejarah pertumbuhan, suasana dan posisi masing-masing pembaca; 3. Setiap kata dan kalimat membawa ide dan formulasi yang padat. Sebagai penyair, di dalam “Surat Kertas Hidjau” ini saya rasa Sitor sudah memenuhi syarat-syarat resep itu. Yang tinggal jadinya bagaimana hakekat ide dan formulasinya. Sampailah kita kepada batas pandangan hidup penyairnya. Dan membicarakan ini, sampailah kepada pro atau kontra pandangan Sitor terhadap sesuatu.
“Surat Kertas Hidjau” adalah rangkaian detik dari pengembaraannya. Di tanah air dan Eropa. Ada kecondongan kepada saya untuk menganggap Sitor sebagai pencari abadi. Dalam beberapa sajaknya Sitor sibuk memecahkan kekekalan dan ketidakkekalan. Tetapi anggapan ini disirnakan oleh sajak-sajaknya yang lain. Misalnya dalam sajak “Variasi”, tema Shakespeare, Sitor bernyanyi.
Aku sanggup remuk dalam seribu duka
Bertumpu dipusat satu kesetiaan
Karena ada jang tak tahu, banjak yang tak punja.
Kemudian lagi dikuatkan hal ini dalam sajak “Pont Neuf” untuk S. Salim. Sitor dengan perkasanya berkata:
Siapa terlalu mentjari
Hanya sampai ditanahair Sepi
Dimana tak ada lagi setia.
Melainkan duka ditiap sendja.
Sitor juga rupanya menyadari kepedihan kehidupan sebagai penyair. Ini dia lampiaskan dalam sajak “Kepada Anakku” dengan kata-kata:
Hai, anakku djadilah tukang
Diwaktu senggang djangan batja
Sadjak2 petualang.
Tjintailah kerdjamu
Lupakan kepedihan bapak
Tebusan duka ibu.
Dalam pengembaraannya Sitor sampai juga kepada perumusan bahagia. Baginya, juga dalam sajak “Kepada Anakku”, adalah:
Bahagia
Hanja dihidup sederhana.
Antara pagi kerdja
Dan sendja memudja
Kehidupan sederhana
Ditengah manusia kenal setia.
Kelemahan “Surat Kertas Hidjau” adalah kelemahan dalam penggunaan bahasa dan kalimat. Terlalu banyak melayani kenikmatan diri sendiri, kurang mementingkan alat penerima pada masyarakat.
Suatu buku yang ada harganya untuk mempelajari kepenyairan dan meneliti kepribadian manusia Indonesia. Apa yang diucapkan oleh Sitor adalah juga ucapan suasananya. Dengan ini maka hanya membenarkan adanya konflik dalam diri manusia, antara yang jelek lawan yang baik.