Sumber: Indonesia Raya, No. 116 (Nomor Hari Raya Idul Fitri 1374 H), Tahun VI, 21 Mei 1955, hlm. 5.
Engkau lihat Diego Rivera di mana-mana di Mexico. Mural-mural yang dilukisnya dapat dilihat di mana-mana, di gedung-gedung pemerintah, di universitas Mexico City yang baru, di dasar sumber air untuk kota Mexico City, di depan gedung bioskop. Sejarah Mexico, politik Mexico, keadaan sosial Mexico, semua ini terjalin sudah dalam mural-mural dan lukisan-lukisan Diego Rivera.
Seorang kritikus seni lukis Mexico, Enrique Gual menulis, bahwa riwayat seni lukis Diego Rivera mengandung pengaruh-pengaruh Eropa, mulai dari realisme Spanyol (lukisan The Pleader), Cubisme (The Warrior), pengaruh Cezanne (The Mathematician), hingga akhirnya Diego Rivera sampai pada penemuan satu Mexico yang autentik dan yang secara artistik selama ini belum pernah dikenal, dan dari palet Diego Rivera yang berwarna-warni yang hidup menyala itu meloncatlah orang-orang Indian, orang-orang Mestizo, kembang lili, motif-motif rakyat, alam yang penuh nafas hidup, keindahan yang tidak mengenal kompromi. Ada dua seniman di dalam Diego Rivera, menurut Enrique. Seniman pertama ialah yang melukis mural dan melukis tentang sejarah, politik dan keadaan sosial Mexico. Dan seniman yang seorang lagi ialah pelukis Diego Rivera, yang lepas dari perhitungan-perhitungan politik, pemikiran-pemikiran sejarahnya, dan dalam lukisan-lukisannya itu ini dapat dilihat berbagai-bagai Diego Rivera.
Mural-muralnya bersifat kolosal, akan tetapi di dalam lukisan-lukisannya terlihat kehalusan Diego yang subtil.
Aku ingat ini, ketika mengetuk pintu rumah studio Diego Rivera di Palmas No. 2, San Angel Inn di Mexico City. Studionya menurut bangunan artistektur yang modernistik. Seorang perempuan Indian tua datang membuka pintu, menyilakan masuk. Setelah naik tangga ke atas, maka tibalah di studio Diego Rivera, di tingkat kedua.
Diego Rivera segera datang berjabatan tangan. Orangnya sudah tua, kulit mukanya penuh kerut-kerut, tubuhnya gemuk, rambutnya sudah menipis dan putih. Matanya merah dan berair. Dia memakai jaket kulit, celana tua yang penuh cat, dan segera mengajak saya ke tengah kamar studionya, dan menunjuk ke ujung dinding, tempat bersandar sebuah lukisan yang besar sekali.
“Guatemala,” kata Diego Rivera. Dalam lukisan itu Diego Rivera melukiskan Armas sedang berjabatan tangan dengan Dulles yang memegang sebuah bom besar, dan saku-saku Armas penuh dengan uang kertas dolar, dan di tanah, kanak-kanak dan orang yang luka yang putus-putus tubuh mereka.
“Akan aku kirim untuk Polandia,” kata Diego Rivera.
Studionya penuh dengan kanvas-kanvas yang belum dilukis, yang sudah diskets, yang separuh selesai. Dari atas loteng bergantungan patung-patung dari kertas yang dipakai dalam pesta-pesta rakyat. Di sebuah sudut bergelimpangan batu-batu pahatan kuno dari zaman Inca dan Maya.
Kami duduk dekat-dekat pada alat pemanas listrik. Waktu itu udara sudah sejuk benar di Mexico City yang tingginya 7000 kaki dari permukaan laut.
“Dapatkah tuan menceritakan pada saya, bagaimana dan apabila tuan mulai melukis,” tanyaku pada Diego Rivera.
“Aku lahir di Guanajuato dalam tahun 1887,” kata Diego Rivera bercerita. Ibuku melahirkan anak kembar, tetapi saudara kembarku meninggal ketika dia berumur setahun. Ibuku menyerahkan aku sama sekali diurus oleh seorang bujang perempuan, seorang Indian. Dan perempuan Indian ini membawa aku ke gunung, hingga aku berumur tiga tahun setengah. Di gunung aku belajar bahasa Indian, dan ketika aku dibawa kembali ke kota, maka aku harus belajar bahasa Spanyol kembali.”
“Lukisanku yang pertama ialah sebuah skets kereta api,” kata Diego Rivera, dan dia berdiri mencari sebuah buku. Dibalik-baliknya buku itu, dan kemudian diperlihatkannya padaku skets gambar kereta api yang dibuat seorang kanak-kanak.
“Ini aku lukis dalam tahun 1890, sebuah lokomotif di atas rel menarik gerbong-gerbong kereta api. Mesin-mesin yang pertama-tama aku lihat ketika kembali ke kota menimbulkan kesan yang amat mendalam dalam jiwaku,” kata Diego Rivera.
Diego bercerita, bahwa dia belajar kemudian dalam akademi melukis “San Carlos” tahun 1898. Kemudian dia merasa tidak mendapat apa-apa dari akademi itu, dan pergi ke Eropa, antara lain ke Spanyol, Paris, dan Italia.
“Apa yang menggerakkan inspirasi bagi tuan untuk melukis?”
“Sebagai telah aku ceritakan, aku tertarik pada mesin-mesin. Pada susunan yang matematis. Juga kesengsaraan manusia, ketidakadilan yang berlaku terhadap manusia menggerakkan jiwaku untuk melukis.”
“Berapa lama baru sebuah lukisan tuan selesaikan?”
“Tergantung dari apa yang aku lukis, dan besar lukisannya. Lukisan yang sedang besarnya aku selesaikan dalam waktu kurang lebih 15 hari.”
“Dapatkah tuan menceritakan bagaimana tuan melukis?”
“Setiap hari aku bekerja sebanyak-banyaknya, supaya dapat mempergunakan terang matahari sebanyak-banyaknya, dan kadang-kadang aku bekerja malam dengan memakai lampu, terutama kalau aku mengerjakan mural dan fresco. Sebelum memakai cat, maka aku buat dahulu sebuah skets dari apa yang hendak aku lukis. Dalam skets ini diberikan bentuk apa yang hendak aku lukis, juga proporsi-proporsi yang dihitung secara matematis. Skets ini tidak dibuat hingga ke detail-detailnya. Untuk mural tidak aku buat skets yang lebih kecil, karena proporsi yang bagus kelihatan dalam ukuran kecil, lalu tidak seimbang kalau sudah dibesarkan. Hanya kalau orang meminta, maka aku buat juga skets untuk mural. Akan tetapi aku baru mulai melukis jika lukisan itu sudah matang benar dalam pikiranku.”
“Apakah tuan sekarang masih melukis secara abstrak?”
“Tidak. Aku berhenti melukis lukisan abstrak semenjak mulai Perang Dunia yang Pertama dalam tahun 1914. Aku berhenti melukis dengan gaya abstrak itu, karena perang yang pecah itu amat mengejutkan aku dan membuka mataku pada kenyataan-kenyataan yang sebenarnya mengenai keadaan rakyat. Dan kenyataan-kenyataan itu menginsyafkan aku bahwa aku tidak boleh menciptakan keindahan hanya untuk satu atau beberapa orang saja, akan tetapi aku harus bekerja untuk semua orang. Lukisan abstrak menurut pendapatku adalah lukisan oleh beberapa orang untuk beberapa orang saja.”
“Jika demikian, apa pendapat tuan tentang Picasso dan lukisan-lukisannya?”
“Aku adalah murid Picasso. Aku percaya, bahwa dengan lukisan abstraknya, Picasso dengan bersungguh-sungguh mengeluarkan atau menyatakan kebenaran sebagai yang diyakininya. Ekspresi Picasso adalah ekspresi seorang seniman yang besar, dan adalah gaya ekspresi pribadinya sendiri. Meskipun demikian, saya merasa menyesal juga, bahwa Picasso belum hendak meninggalkan lukisan abstraknya, dan belum juga mulai melukis cara gaya realisme baru. Aku berharap dia akan menukar gayanya itu di kemudian hari. Akan tetapi mungkin pula Picasso bersitegang leher mempertahankan gaya abstraknya, karena terlalu banyak dia dikritik orang mengenai gaya abstraknya ini, dan dia hendak memperlihatkan pada orang bahwa dia adalah seorang seniman yang mempunyai watak, dan dia menolak menukar gaya ekspresinya.”
“Bagaimana tuan hendak menyebut gaya ekspresi tuan kini? Dapatkah disebut sosial realisme?”
“Ya, realisme baru atau sosial realisme.”
“Dahulu tuan dikeluarkan dari partai komunis, akan tetapi baru-baru ini tuan telah diterima kembali ke dalam partai komunis. Dapatkah tuan menerangkan apa sebabnya tuan dikeluarkan, dan mengapa tuan masuk kembali?”
“Yang paling aku cintai adalah partaiku. Akan tetapi dahulu aku membuat begitu banyak kesalahan-kesalahan, sehingga aku dikeluarkan dari partai. Ketika kemudian aku insyaf, bahwa apa yang aku perjuangkan adalah salah, dengan segera aku memperbaiki kesalahan-kesalahanku. Dua puluh tahun lamanya aku harus bekerja untuk memperbaiki kedudukanku kembali di dalam partai. Dan saat aku diterima kembali ke dalam partai, adalah saat yang terbesar dan paling berbahagia dalam hidupku, dan satu-satunya yang aku sayangkan, ialah waktu itu isteriku tidak ada lagi untuk dapat menyaksikan peristiwa ini. Aku diterima kembali ke dalam partai dengan suara bulat.”
(Catatan penulis: Isteri Diego Rivera, Frida Kahlo adalah pelukis yang terkenal juga di Mexico, dan dia meninggal beberapa bulan sebelum Diego diterima kembali dalam partai komunis, setelah bertahun-tahun menanggung penyakit).
“Apakah menurut pendapat tuan partai komunis atau komunisme tidak merupakan halangan atau tekanan pada kebebasan seorang seniman?”
“Partai komunis atau komunisme itu tidak ubahnya sebagai rel kereta api yang tidak bisa menghalangi majunya kereta api: malahan di atas rel itu kereta api dapat bergerak maju dengan secepat-cepatnya.”
“Apakah sebabnya tuan keluar dulu dari partai komunis? Apakah tuan merubah sikap tuan, atau partai komunis yang merubah sikapnya terhadap tuan sekarang?”
“Sebab-sebab yang mendorong aku dulu keluar ialah soal perjuangan di dalam negeri. Pada ketika itu aku penuh keyakinan, bahwa politik yang aku kemukakan adalah benar. Dan karena merasa dalam kebenaran ini, maka aku bersedia memperjuangkannya di luar partai, dan aku menerima untuk keluar dari partai. Selama berada diluar partai, aku banyak bergaul dan berhubungan dengan golongan-golongan tua dan karena perkenalan ini dan melihat bukti-bukti lain, maka timbullah kesedihan dalam diriku, bahwa akulah yang sebenarnya salah. Maka aku lalu memperbaiki sikap dan perbuatanku, hingga akhirnya partai bersedia kembali menerima aku.”
“Dapatkah tuan menerangkan betapa tuan dapat mencernakan pengaruh-pengaruh Eropa dalam seni dan akhirnya menciptakan dalam lukisan-lukisan tuan apa yang disebut orang sekarang gaya ekspresi lukisan Mexico? Di Indonesia umpamanya, pelukis-pelukis Indonesia, seperti juga seniman-seniman Indonesia yang lain keras berusaha untuk mencari daya ekspresi Indonesia, dan banyak diantara mereka yang merasa sebagai beban berat pengaruh-pengaruh seni lukis Barat.”
“Yang penting benar,” jawab Diego Rivera, “ialah memutuskan ikatan yang terasa memberatkan itu. Untuk ini seniman harus sungguh-sungguh hidup di tengah rakyat dan bangsanya. Dia mesti kenal sedalam-dalamnya jiwa bangsanya. Bagaimana seorang pelukis bisa melukis tentang negeri dan rakyatnya, jika dia tidak kenal negeri dan rakyatnya? Pelukis yang tidak mengenal rakyat dan negerinya hanya memindahkan teknik lukis akademi Barat saja dari negeri Barat ke negerinya. Tokoh-tokoh Barat diganti dengan tokoh-tokoh negerinya. Itu saja. Disamping ini, maka pelukis-pelukis harus pula memelihara dan memahami sebaik-baiknya nilai-nilai lama dalam kebudayaan bangsanya.”
“Betapa menurut pikiran tuan seharusnya hubungan antara seniman dan masyarakat sekelilingnya. Dapatkah seorang pelukis melepaskan diri dari masyarakatnya, melepas tanggung jawab terrhadap masyarakatnya?”
“Tidak mungkin bagi seorang seniman,” jawab Diego Rivera, “untuk menyatakan sesuatu emosi, jika seniman itu tidak hidup bersama orang lain, sama-sama merasa dengan orang lain. Seorang seniman yang tidak ada hubungan dengan orang lain berarti mengerat sumber-sumber inspirasinya sendiri. Seniman harus berhubungan langsung dengan masyarakat. Dia harus bisa bicara dengan lidah dan dalam bahasa rakyatnya. Semakin dia pandai berbicara dengan bahasa rakyat, maka semakin besar terbuka kemungkinan-kemungkinan baginya sebagai seniman, dan semakin kuat pula daya dan gaya ekspresinya sebagai seorang seniman.”
“Bagaimana pendapat tuan keadaan dunia kita sekarang? Apakah manusia bertambah-tambah maju ke arah dunia yang lebih baik atau apakah manusia menghadapi akhirnya sendiri?”
“Menurut pendapatku manusia maju menuju dunia yang lebih baik,” demikian Diego Rivera. “Lihatlah kemajuan-kemajuan yang tercapai di Asia dengan timbulnya negara-negara dan bangsa-bangsa Asia merdeka, bebas dari penjajahan.”
“Siapakah menurut pendapat tuan manusia-manusia besar dalam zaman kita sekarang?”
“Frank Lloyd Wright dalam seni plastis dan Mao Tse-tung dalam politik, falsafah, dan seni lukis.”
Diego Rivera berdiri, pergi menatap lukisan besar tentang pemberontakan Guatemala, dan aku berdiri pula pergi menatap-natap patung-patung besar dari kertas yang digantungkan dari loteng. Diego Rivera berpaling dan berkata.
“Itu patung-patung bikinan rakyat. Patung-patung itu diarak-arak pada pesta-pesta rakyat. Jika saya bisa membuat patung-patung demikian, —dengan gaya ekspresi muka yang bermacam-macam itu— lihat itu yang satu —tertawa penuh bahagia— yang disampingnya —penuh amarah— yang satu lagi penuh rakus —nah, jika aku bisa membuat patung-patung itu, aku akan berhenti melukis!”
Beberapa kali kemudian saya berulang datang ke studio Diego Rivera. Di hari-hari itu saya bertemu dengan kawan-kawannya, bercakap-cakap kembali dengan Rivera, memperhatikan dia sedang melukis —dan semakin kita kenal padanya, semakin tak masuk akal, bagaimana Diego Rivera bisa jadi anggota partai komunis. Pikirannya tentang kebebasan manusia, hatinya yang berontak melihat penindasan dan ketidakadilan, perasaan kemanusiaannya yang begitu besar —jiwanya yang begitu haus— semua ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana dia dapat masuk partai komunis.
Untuk mengerti segi manusia Diego Rivera ini haruslah diingat kembali zaman Diego ketika dia muda, dua puluh tahun yang lalu. Zamannya adalah zaman revousi yang penuh romantik. Partai komunis di Mexico itu mula-mula didirikan juga oleh seniman-seniman yang idealistis, seperti Siqueiros, Diego Rivera, Orozco, dan lain-lain. Sebagai diterangkannya sendiri, dia keluar, karena tidak setuju dengan soal-soal politik partai itu di dalam negeri.
Menurut keterangan lain yang saya dapat, Diego Rivera terutama sekali keluar, karena tidak suka pada terlalu banyaknya campur tangan Komintren kemudian dalam organisasi partai-partai komunis di luar Rusia.
Kebebasannya ini yang menyebabkan dia keluar dari partai komunis membawanya pula masuk kembali. Di benua Amerika sekarang dari utara hingga selatan, keselamatan orang-orang komunis sedang digencet dan menjadi kaum kecil yang diburu-buru. Kecintaan Diego pada mereka yang menjadi “underdog” telah membutakan matanya pada kenyataan-kenyataan praktek kaum komunis, dan membawa dia kembali pada kaum komunis di Mexico. Akan tetapi kaum komunis di Mexico itu hingga kini masih sebagian besar terdiri dari seniman-seniman yang idealistis dan lebih banyak melakukan protes-protes sosial daripada usaha-usaha yang sebenarnya untuk merebut kekuasaan negara.
Diego adalah seorang seniman besar, akan tetapi sebagai politikus dia gagal sama sekali. Kegagalannya dalam politik malahan membuat dia bertambah besar sebagai seniman dan manusia.