SENIMAN DAN MASALAHNYA

Sumber: Indonesia Raya, No. 116 (Nomor Hari Raya Idul Fitri 1374 H), Tahun VI, 21 Mei 1955, hlm. 5.

Karangan ini adalah ceramah yang diberikan pengarang Amerika yang terkenal, Richard Wright, pada malam yang diselenggarakan oleh BMKN dan PEN Club Indonesia tanggal 2 Mei yang lalu di Balai Budaya, Jakarta.

Dalam membicarakan masalah-masalah seniman ini, maka pertama-tama hendak saya jelaskan, bahwa seniman yang saya maksud dalam ceramah ini ialah pengarang. Saya adalah seorang pengarang, dan saya rasa lebih baik saya batasi pembicaraan malam ini pada pengarang sebagai seniman dan masalah-masalahnya.

Masalah pengarang dan “khalayak”nya (audience)

Dalam masyarakat dunia kini ada masalah hubungan pengarang dengan khalayaknya. Hal ini jauh berbeda dengan masa dahulu, ketika cerita-cerita dikisahkan dalam kalangan-kalangan kecil yang langsung mendengar dari mulut tukang cerita, dan pengalaman-pengalaman diceritakan pada pendengar-pendengar secara dekat. Dewasa ini kita lihat, bahwa hubungan antara pengarang dengan khalayaknya telah menjadi jauh, dan kehilangan hubungan kepribadian. Pengarang kini menulis tidaklah semata-mata untuk menceritakan pengalamannya pada pendengar-pendengarnya, akan tetapi lebih banyak menulis untuk menyampaikan sesuatu pada pembacanya. Masyarakat modern kini, kita lihat telah pecah dalam macam-macam fragmen, dan si seniman mencoba mencari kesatuan peri kemanusiaan kembali kesatuan yang telah pecah-belah karena sebab-sebab ekonomi dan politik. Dewasa ini kita lihat pula, bahwa seniman itu tidak bisa tahu lebih dahulu sambutan yang mungkin timbul terhadap tulisannya.

Tiap kali dia menulis tak ubahnya seakan cetusan api yang terlempar ke dalam kegelapan. Dia melontarkan bunyi dan menunggu echo-echo yang kembali. Maka sebenarnya dapatlah kita lihat, bahwa seniman di dunia kita adalah seorang yang berbeda dalam kesepian. Seniman kini, berlainan dari seniman di zaman dulu umpamanya, tidak mempunyai orang-orang yang menyokongnya dan membantunya.

Dia tiada mempunyai hubungan pribadi dengan publiknya.

Tambah meningkatnya modernisasi penghidupan manusia disini, pengalaman-pengalaman baru manusia, telah menyebabkan sentimen yang berperasaan halus tidak mungkin lagi menerima bentuk-bentuk ekspresi yang lama.

Umpamanya Walt Whitman, penyair Amerika itu, telah meninggalkan bentuk-bentuk lama dan mencari bentuknya sendiri. Juga di Perancis kita lihat penyair-penyairnya telah mencari bentuk-bentuk ekspresi baru mereka sendiri. Menurut hemat saya pencarian bentuk-bentuk baru ini bukanlah karena orang hendak bermain-main dengan bentuk-bentuk baru saja. Akan tetapi pencarian ini didorong oleh keperluan yang sebenarnya ada. Saya sendiri dengan sepenuhnya menerima bentuk-bentuk dan pencarian bentuk-bentuk baru yang disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman baru. Akan tetapi saya berpendirian pula, bahwa bentuk-bentuk ekspresi yang baru ini haruslah didukung oleh passion yang dirasakan sepenuhnya oleh pengarang, dan bukan semata menjadi permainan keahlian tehnik pengarang belaka.

Waktu sebagai unsur dalam seni

Ketika saya berkunjung waktu yang lalu ke Afrika di Gold Coast, saya melihat betapa waktu itu mempunyai kedudukan sendiri dalam pandangan-pandanngan orang-orang Negro di sana, yang berlainan sama sekali dari pandangan orang Barat pada waktu umpamanya. Orang-orang Afrika itu yang hidup dalam alam pikiran yang tenang dan statis mempunyai pengertian lain tentang waktu. Bagi mereka yang hidup dalam ikatan suku-suku, waktu itu bersifat ulangan. Berbeda umpamanya dengan perasaan waktu orang Barat yang bersifat garis maju, dari satu titik dahulu, ke satu titik di masa depan.

Masyarakat dan agama dari sesuatu daerah atau bangsa dibangunkan diatas dasar perasaan waktu ini. Saya rasa di Indonesia masih ada peninnggalan-peninggalan perasaan waktu seperti yang saya llukiskan di atas. Amatlah beruntungnya seorang senniman yang tidak menghadapi masalah waktu ini. Saya sendiri ketika menulis buku The Outsider, merasakan benar masalah waktu ini. Tokoh utama dalam buku itu hidup dalam golongan masyarakat yang perasaan waktunya tidak dinamis dan maju, karena dalam masyarakat itu tidak banyak ada harapan untuk hari depan. Dalam pembciaraan-pembicaraan saya denngan beberapa pengarang Indonesia, saya mendapat kesan, bahwa banyak orang di Indonesia yang bertanya mengapa roman tidak begitu berkembang di Indonesia sebagai dikehendaki orang. Mungkin salah sebuah sebabnya iallah karena di Indonesia belum timbul kelas menengah, kelas yang melepaskan diri mereka dari susunan masyarakat feudal, dan melancarkan diri mereka ke hari depan yang baru sambal mencari pengalaman-pengalaman dengan sadar.

Meskipun roman itu sebuah bentuk seni, akan tetapi tidaklah boleh dilupakan, bahwa roman itu merupakan bentuk ekspresi yang tegas dari satu kelas tertentu dalam masyarakat, dan bahwa roman itu adalah bentuk ekspresi kelas tersebut. Mungkin di Indonesia seniman masih harus mencari perasaan waktu yang tepat untuk seninya, dan sedang masyarakat Indonesia masih berada dalam masa perallihan, maka roman-roman yang dikarang mungkin sebagian besar bersifat roman-roman masalah. Meskipun demikian siapa tahu jika pengarang Indonesia dapat merasakan situasinya dengan tajam sekali dan merasakannya dengan penuh passie, maka mungkin pengarang Indonesia dapat menciptakan perasaan waktu yang baru, dan juga mungkin pengarang Indonesia akan dapat menciptakan bentuk-bentuk ekspresi baru, yang sesuai dengan masyarakat sekelilingnya dan pandangan terhadap sejarah.

Apakah yang harus ditulis pengarang?

Apakah yang harus ditulis seorang pengarang? Subyek apa yang harus dipakainya? Ada pengarang yang percaya, bahwa merekalah yang memilih apa yang akan mereka karang. Akan tetapi sebenarnya lebih banyak terjadi bahan karanganlah yang memilih pengarang yang akan menuliskannya. Dengan ini saya maksud ialah pengarang yang mengarang atas dasar emosi yang diraganya, yang ditumbulkan dari pengalaman-pengalamannya. Sebenarnya pula pengalaman merupakan bahan subyek seorang seniman.

Akan tetapi sesuatu pengalaman bisa memberikan arti yang berlainan pada berbagai orang. Orang yang mencari pengalaman dengan bebas akan melihat bahwa dia akan menemui bukan saja pengalaman-pengalaman yang bermacam corak ragamnya, akan tetapi juga akan menemui pengalaman-pengalaman dalam macam-macam tingkat penghidupan manusia. Pandangan seorang Jack London tidaklah sama dengan pandangan seorang Marcel Proust umpamanya. Terutama kini dalam dunia kita yang modern, ketika seorang seniman tidak mempunyai hubungan yang langsung dengan khalayak (audience), maka haruslah dia lebih banyak bergantung pada betapa kenyataan-kenyataan lain terbentur pada pancainderanya. Dalam berpegang pengalaman-pengalamannya pengarang berharap, bahwa apa yang ditulisnya akan bergema dalam jiwa orang-orang lain. Disinilah kita melihat betapa subjectivity, jika dituang ke dalam seni, dan dapat mengharukan orang lain, berhasil membuktikan bahwa manusia itu adalah satu.

Tidaklah benar sebenarnya jika seorang pengarang memang seniman yang sebenarnya, maka dia akan dapat memilih bahan-bahan politik dan dituangkannya bahan politik itu ke dalam bentuk seni begitu saja. Yang sebenarnya yang terjadi ialah sesuatu bahan politik yang merangkul si seniman dalam bentuk pengalaman seniman itu. Seorang pengarang umpamanya bisa melakukan perjalanan kemana-mana di seluruh dunia, ribuan mil jauhnya, akan tetapi pada akhirnya dia hanya akan menulis tentang apa yang paling menarik hatinya. Dan memang demikianlah seharusnya.

Pengarang profesional atau pengarang-sambil-bekerja

Dewasa ini tidak ada lagi orang-orang kaya atau raja-raja yang melindungi pengarang dengan membiayainya secara cuma-cuma. Juga tidak ada lagi umpamanya gereja-gereja (kecuali di Spanyol) yang bersedia menyokong seorang seniman. Karena itu maka seorang pengarang dalam dunia kita harus hidup dari karangannya, atau jika dia tidak bisa hidup sebagai pengarang saja, maka dia terpaksa mencari hidup dengan bekerja sebagai wartawan sambil mengarang, atau mengarang sambil bekerja di tempat lain. Banyak kawan-kawan yang menyatakan keheranan mereka pada saya, betapa saya dapat hidup dari mengarang saja. Sebenarnya hal ini bukanlah disebabkan karena cara saya mengarang: hal ini menjadi mungkin karena sistem distribusi dan penjualan buku-buku yang sekarang berlaku di Amerika Serikat. Book Clubs, majalah-majalah yang kaya, dan sebagainya memungkinkan seseorang dapat hidup sebagai anggota kelas menengah dengan menulis saja di Amerika. Sesungguhnyalah empat buah cerita saja yang terjual pada majalah Saturday Evening Post umpamanya, dapat memberikan kemampuan pada seseorang untuk mengirim anaknya bersekolah di universitas… Harvard. Akan tetapi untuk dapat menulis cerita-cerita yang disukai oleh majalah-majalah serupa ini lebih sukar dari yang disangka.

Pengarang harus menulis cerita yang diketahuinya akan disukai redaksi majalah-majalah tersebut, dan juga yang akan disukai oleh pembaca. Sedikit sekali atau hampir tidak ada ikut campur dalam cara mengarang serupa ini emosi pribadi pengarang. Beberapa pengarang berhasil mengarang terus menerus serupa ini selama hidup mereka. Mereka barangkali beruntung sekali.

Jarang benar seorang pengarang dapat memberikan ekspresi pada emosi-emosinya yang paling dalam, dan dengan berbuat seperti ini dapat pula penghasilan untuk hidupnya. Banyak yang harus bekerja menjadi guru atau menjadi wartawan, dan mengarang malam hari atau pada hari minggu, ketika mereka tidak perlu masuk kerja. Hanyalah pengarang yang dapat memutuskan bagi dirinya sendiri untuk mengabdikan dirinya pada soal-soal hidup yang sungguh-sungguh penting, yang dapat menghindarkan dirinya dari godaan untuk mendapat uang banyak-banyak dengan cara mengarang sebagai dikehendaki majalah-majalah yang kaya itu. Seorang seniman yang sungguh-sungguh harus sadar, bahwa seni itu adalah ratu yang pencemburu. Seniman tidak bisa memujanya, akan tetapi disamping ini hendak memetik pula bunga yang lain.

Pengarang-sambil-bekerja mempunyai sebuah kelebihan dari pengarang profesional. Karena dia bekerja, maka dia mempunyai hubungan dengan masyarakat dan manusia. Baginya tidak ada bahaya akan ketinggalan oleh kejadian-kejadian masanya.

Pada akhirnya, maka pengarang sebenarnya dan yang sungguh-sungguh akan sadar, bahwa bahan subyeknya itu tiada lain dari baju luar emosi yang hendak disampaikannya. Dengan demikian dia akan menulis tidak terutama untuk mendapat uang yang lebih banyak, akan tetapi lebih utama dengan maksud untuk menyampaikan apa yang dibisikkan hatinya. Dengan cara ini maka mungkin pula dia akan menciptakan keadaan yang ajaib yang jarang terjadi: dia akan mengatakan apa hendak dikatakannya, dan disamping ini akan dapat uang pula.

Politik dan seni

Ingin saya menjelaskan, bahwa saya sama sekali tidak menentang pengarang-pengarang memilih pihak dalam soal-soal politik, atau bagi pengarang untuk mempergunakan seni mereka sebagai pendukung pikiran-pikiran politik. Dengan mengatakan ini bukan pula maksud saya untuk menerangkan, bahwa saya menentang apa yang disebut orang seni untuk seni itu. Seni untuk seni itu memang ada dan mempunyai kedudukannya sendiri pula.

Sementara itu dalam penghidupan manusia ada datang waktu ketika adat-istiadat, kebiasaan, nilai-nilai lama tidak dapat lagi membimbing manusia dalam hidup, dan pada detik-detik serupa itu maka timbullah pemimpin-pemimpin yang membawa ideologi-ideologi baru, dan dengan memakai kekerasan lalu menyusun satu masyarakat baru. Pada detik-detik serupa ini maka seorang pengarang lalu menjadi amat penting kedudukannya. Dia lalu dibuat menjadi seorang pendeta untuk menggantikan Kitab Suci seperti Bibel, Al Quran, dan sebagainya. Orang-orang yang berkuasa membayar pengarang untuk menulis agar rakyat mengikuti kemauan pemerintah yang baru.

Karena itu tidaklah mengherankan jika pengarang-pengarang di Rusia menjadi elite baru dan merupakan kelas yang terkaya di Rusia.

Akan tetapi jika ada di antara pembaca yang hendak berteriak alangkah beruntungnya pengarang yang menjadi pendeta maka ingatlah, bahwa banyak bahayanya memegang kedudukan sebagai pendeta itu. Umpamanya sebagai pengarang menyokong orang yang berkuasa dalam tahun 1950. Akan tetapi dalam tahun 1955 timbul orang lain yang memegang kekuasaan. Mungkin tuan bisa ditembak mati dalam tahun 1955, karena tuan telah menyokong pemimpin yang berkuasa dalam tahun 1950 itu. Seorang kawan saya, Louis Adamic, beberapa tahun yang lalu telah diketemukan mati terbunuh. Dia seorang pengarang kiri yang populer, akan tetapi dia menulis untuk pihak yang… tidak menang. Sekarang dia sudah mati. Dua ribu tahun yang lalu Aristoteles telah berkata, bahwa kesusastraan itu adalah pekerjaan yang berbahaya. Ini masih benar kini. Maka pengarang-pengarang muda, masuklah ke arena politik, carilah kemasyhuran dan uang, akan tetapi jangan terkejut, jika engkau akan kehilangan… kepalamu!

Morality dan seni

Sudah terlalu banyak benar omong kosong ditulis orang tentang ini. Seni, kata beberapa orang, haruslah moral; moral, kata orang lain, haruslah artistik. Sebenarnya seni tak ubahnya sebagai ilmu pengetahuan, adalah alat dari kebenaran dan sebagai alat yang demikian maka sifatnya adalah amoral. Ini bukan berarti, bahwa seni itu immoral. Artinya, jika seni itu tujuannya hanya untuk menegaskan kode-kode moral saja, maka dia akan terbatas sekali dalam usahanya untuk membuka kebenaran pengalaman manusia.