DOKUMENTASI LUKISAN

Sumber: Mimbar Indonesia, No. 45, Tahun IV, 10 November 1950, hlm. 30-32.

Munculnya negara muda di dunia adalah karena dorongan-dorongan kuat akan memenuhi sesuatu kebutuhan bersama. Kebutuhan ini di tanah air kita lazim dinamakan persatuan kebangsaan yang digunakan untuk merebut hak-hak yang mutlak bagi perkembangan bangsa: hak kemanusiaan, hak kemerdekaan, hak menyatakan keinginan, kehidupan dan kebangsaannya sendiri.

Dorongan kuat guna mencapai ini bagi tiap-tiap bangsa diperolehnya dari zaman-zaman kejayaan dalam sejarahnya: keperwiraan pahlawan-pahlawannya, jiwa besar dan kepandaian seniman-seniman dan orang-orang besar lainnya yang diagungkan. Dengan bebas dan penuh gairah, penghargaan kepada sejarah dunia ini dilakukan oleh bangsa-bangsa yang telah merdeka dan maju; jiwa kebangsaan mereka diisi oleh kebudayaan yang gilang-gemilang, pada hakekatnya menuruti arus besar hendak merebut hak-hak yang mutlak tadi.

Isi sejarah sesuatu bangsa ini merupakan dokumentasi yang bukan main besarnya nilainya. Buah kebanggaan dalam artian yang baik, dorongan serta teladan bagi tiap-tiap tenaga kreatif, sumber ilham dan semangat-jiwa bagi manusia yang tak mau musnah dengan tiada berjasa dan mempertahankan hak hidupnya, pernyataan dirinya dan pernyataan bangsanya untuk mendapat penghargaan yang layak sebagai bangsa yang terhormat, pun juga pernyataan jiwa hendak memberi sumbangan berupa hasil-hasil kebudayaan —kesenian kepada dunia, yakni hasil-hasil manusia kreatif; semuanya ini merupakan isi sejarah tadi yang kita ketemukan dokumentasinya dalam buku-buku yang dihasilkannya, dalam museum-museum, dalam koleksi negara dan koleksi partikelir, pendeknya dalam segala hal yang membentuk kebudayaan bangsa kita.

Kini bangsa Indonesia telah merebut kemerdekaannya; permulaan status baru ini selain ikut mengisi sejarah dan kebudayaan dunia adalah juga menghendaki pemeliharaan isi itu.

Sayang sekali, yang diketahui dan dihargai orang pada umumnya setelah taraf baru yang gemilang sesudah tahun 1945 itu hanyalah usaha pergerakan dan pemimpin-pemimpin politik, yakni usaha membentuk kekuasaan saja, padahal hasrat menyatakan mau merdeka itu bukannya soal merebut kekuasaan politik belaka, melainkan memupuk semangat jiwa selengkap-lengkapnya di segala lapangan perrnyataan manusia. Maka selain di gelanggang politik, kita juga mesti mempunyai banyak tenaga di lapangan-lapangan lain, misalnya filsafat, kesenian, dan lain-lain.

Persiapan menyatakan diri, memang sudah ada sebelum saat Proklamasi, ialah dekat sebelum zaman Jepang, pada tahun 1937 (Persagi). Revolusi dan terbukanya kemerdekaan adalah ujud-ujud pernyataan kita untuk menunjukkan pada dunia: inilah bangsa kita. Pada saat itu kaum pelukis sudah betul-betul sadar akan mengemukakan segala macam bentuk perjuangan bangsanya dalam bentuk kesenian. Maka disinilah perjuangan seni berjalinan erat dengan kebangunan bangsa, kesadaran diri dan kesadaran akan semangat zaman. Seni lukis Indonesia adalah salah satu dari lapangan-lapangan yang sedikit jumlahnya di tanah air kita, yang dengan lantang serta meyakinkan sekali membunyikan trompet Reveille!

Sebagai pembaca dan peminat, kami ikut bersyukur bahwa Mimbar Indonesia dalam nomor Hari Pahlawannya memuat reproduksi beberapa lukisan yang memang dengan sengaja dibikin untuk memperingati dan menghargai perjuangan kita di tahun-tahun 1945 dan selanjutnya sebagai pushing power menuju kebahagiaan bangsa, seperti belum pernah sebelumnya kita kenal dalam sejarah tanah air kita. Lukisan-lukisan ini adalah sebagian dari 65 buah lukisan, buah tangan 25 orang pelukis, yang empat tahun yang lalu semuanya tergabung dalam perkumpulan kesenian Seniman Indonesia Muda. Dengan bantuan materi oleh Biro Perdjuangan dari Kementerian Pertahanan. S.I.M. dalam tahun 1947 mengadakan seteleng besar-besaran di Jogjakarta dengan koleksi dokumenternya itu yang telah menjadi milik negara.

Masih segar dalam arus kebangsaan di waktu itu, kerjasama antar kaum seniman dengan serentak dan serempak itu adalah juga unik dalam sejarah kita pada umumnya, maupun dalam sejarah kesenian kita. Dalam hal ini kita patut bergembira hati atas jasa mereka serta jasa pemimpinnya, S. Sudjojono. Eksplosi kegiatan secara spontan, sebagaimana cocok dengan watak seniman. Waktu itu mereka masih dalam taraf mencari dalam saat permulaannya, bahkan ada yang baru mulai belajar menggerakkan pensil di atas kanvas, dan kini pun mereka masih belum lepas dari taraf mencari itu.

Apakah yang dicari? “Berontak terus melawan penjajah”, “Menegakkan kemerdekaan”, adalah semboyan-semboyan yang dewasa ini berkumandang dimana-mana. Patriotisme di masa Sturm-und-Drang, di dalam hati yang baru terbuka bagi nilai-nilai universal yang samar-samar dalam jiwa pelukis yang baru belajar atau mencari apa artinya kesenian itu dan apa kedudukannya dalam masyarakat dan dalam perjuangan hebat menghadapi musuh yang berabad-abad. Dalam keadaan begitu belum dapat kita sebut adanya kesadaran yang bermakna penuh. Kita hargai usaha mereka seperti usaha kanak-kanak yang baru melalui masa puberteitnya, tapi dalam artian baik, yakni spontan, murni, dengan elan vital yang mengagumkan. Kita boleh mengatakan: “Belum sempurna, mereka masih harus belajar banyak,” tapi tidak boleh diingkarkan bahwa kita patut berbangga pula.

Timbulnya kegiatan pelukis-pelukis ini selaras dengan sifat jiwa proklamasi oleh pemuda-pemuda kita dan perjuangan rakyat kita selanjutnya, ialah: meskipun cerai-berai, belum teratur rapi, di sana-sini sektaristis, ruwet, kacau, riuh dengan segala macam bentakan dan teriak-teriak, namun berisi anasir-anasir yang menyebabkan dunia luar kagum dan mengapa Belanda akhirnya menyerah, yakni jujur, spontan, berani, dan serempak. Jujur berarti: taat mendengarkan kata-hati; spontan dengan tiada memperhitungkan kepentingan diri sendiri; serempak, dengan persatuan kebangsaan pemuda-pemuda dan rakyat jelata; disinilah letaknya kekuatan bangsa kita pada masa yang lalu, sekarang dan di zaman yang akan datang!

Kekuatan Indonesia tidaklah pada tingginya intelek; kaum intelek itu pun sebagian terbesar tidak mempunyai sifat-sifat tersebut di atas, meskipun mereka dengan dipelopori oleh perjuangan diplomasinya akhirnya memegang pimpinan di segala lapangan yang tadinya banyak dipegang oleh pemuda. Kita saksikan keadaan yang begini: pertama-tama kegiatan berjuang yang spontan, didukung oleh patriotisme tulen, walaupun tidak teratur, namun dimana-mana kita lihat pemuda dan rakyat, pelajar-pelajar dan laskar-laskar tidak resmi melanjutkan pergulatan untuk kemerdekaan ini dengan pesat dan tiada mengecewakan, sampai saat terakhir dalam peperangan gerilya yang total. Merekalah orang-orang kreatif, pembentuk pondamen kebudayaan Indonesia Baru, yang kini menjadi the forgotten men!

Sebagai gambaran tentang semangat jiwa dan semangat zaman yang kami uraikan di atas, pernyataan segerombolan pelukis ini sungguh sangat berharga. Tapi sayang sekali, mereka dalam keadaan Sturm-und-Drang dalam jiwanya, rupa-rupanya belum sadar akan nilai-nilai bersejarahnya ataupun kesadaran itu hanya samar-samar belaka. Sebab kini koleksi lukisan ini (hampir) seluruhnya telah hilang, karena kurang perhatian itu kita harapkan paling banyak dari pihak mereka sendiri sebagai pencipta-penciptanya. Sehingga kini hanya satu-dua lukisan saja yang selamat. Janganlah pelukis-pelukis yang bersangkutan menyalahkan saja keadaan zaman yang serba keruh. Tanggung jawab dan minat besar mestinya memungkinkan mereka menyelamatkan milik negara yang berharga itu, sekurang-kurangnya sebagian agak besar dari koleksi tadi.

Betul Sudjojono dan teman-temannya yang kini jauh lebih kecil jumlahnya itu dalam tahun yang lalu telah mengerjakan pula dokumentasi kedua, tetapi pada mereka kurang kelihatan adanya sifat-sifat spontaniteit dan kemurnian yang tadinya kita saksikan pada koleksi pertama, yang dijalankan dengan keikhlasan hati, jauh dari percekcokan serta keinginan hendak dengan sengaja melantingkan ide sealiran yang disangkanya baru, jauh dari kehendak menempatkan diri sendiri di latar-depan. Hendaknya para seniman insaf bahwa membuat seni itu dimulai tidak dengan ide tertentu tentang suatu aliran, tapi sebaliknya, ide dengan sendirinya timbul sewaktu bekerja; sambil menyelam kita tahu barang-barang berharga apakah yang ada di dalam laut, tidak terutama dengan tinjauan dari atas permukaan air.

Memang bangsa Indonesia sekarang banyak kena penyakit menghargakan diri terlalu tinggi (zelfoverschatting) serta kecondongan kepada tidak hendak mengakui hak hidup, hak pernyataan hidup serta keindahan dan kebenaran yang ada pada gerombolan lain, aliran lain dan seniman lain. Akibatnya kepicikan serta masa-puberteit yang belum sanggup mereka atasi.

Sambil berevolusi kita hendaknya memelihara terus kejujuran dan kemurnian yang dari mulanya sudah ada kita miliki. Istimewa dari kaum seniman kita harapkan manusia-manusia yang tidak tenggelam dalam arus statisiteit, birokrasi, dan petit bourgeoisie yang kini merajalela di masyarakat kita.

Kejujuran, kemurnian dan hendak baik inilah, disamping keseniannya yang mulai berkembang —lanjut atau kurang lanjut, dalam beberapa hal hanya karena kurang sempurna tekniknya— yang kami hargai pada lukisan-lukisan yang direproduksi dalam halaman-halaman majalah ini. Semoga tidak luntur!

Jakarta, 16 Oktober 1950