FILM INDONESIA ANTARA SEJARAH DAN LEGENDA

Kalau pandangan dilayangkan kepada film-film Indonesia secara keseluruhan yang menganggap sejarah sebagai tema cerita, akan tampak bahwa pendekatan yang dilakukan masih hitam putih. Hal ini tampak dalam tegasnya pilihan dilakukan. Kalau kesejarahan yang menjadi titik berat, maka ‘warna’ itu menjadi begitu dominan, sehingga seolah-olah tidak ada tempat bagi imajinasi untuk bermain. Obyektivitas sejarah ditegakkan dengan kesetiaan kepada kejadian sesungguhnya, boleh dikata tak ada penyimpangan sedikitpun dari fakta hidup yang benar-benar terjadi. Seakan-akan ada keengganan untuk menyajikan hal-hal imajiner, karena takut disangka memanipulasikan sejarah. Bagaikan ada bayangan yang memaksakan, bahwa sejarah adalah sejarah, legenda adalah legenda. Perkecualian dalam hal ini sangat sedikit, seperti terlihat dalam Roro Mendut, yang berani menampilkan imajinasi tentang upaya manusia Jawa yang menjajakan erotisme, bukannya kemesuman, sebagai tema kedua setelah heroisme peran utamanya, Pranacitra.

Akibat dari adanya garis pemisah yang begitu jelas dan kaku antara dokumentasi peristiwa kesejarahan di satu pihak dan pengembangan imajinasi di pihak lain, maka ada terasa kekurang-lengkapan dalam film-film kita yang menggarap sejarah. Kalau obyektivitas kesejarahan yang ditampilkan, maka pengolahan cerita lalu menjadi sangat sesisi: tokoh sejarah haruslah tampil sebagai pahlawan dengan segala kekuatannya. Kekuatan diri sang pahlawan di hadapan semua ujian dan cobaan adalah satu-satunya tema yang digarap, mulai dari Kartini yang bercerita tentang orang seorang hingga kepada Pengkhianatan G.30.S yang mendokumentasikan peristiwa kolosal yang menyangkut begitu banyak manusia.

Dalam situasi penonjolan heroisme sang pahlawan seperti itu, sangat sulit dikembangkan tema sampingan yang melibatkan orang-orang di sekitar sang pahlawan. Dari Kartini kita tidak memperoleh apa pun tentang suka-duka adik-adiknya, bahkan ayah-ibunya sekalipun. Juga tidak diketahui apakah suaminya adalah penguasa yang mempunyai rasa belas kasihan kepada kawulanya atau tidak, dan begitu seterusnya. Sejarah yang ditampilkan adalah sejarahnya sang pahlawan, bukannya sejarah masa dalam mana ia hidup. Kalaupun ada yang menggarap film tentang masa muda Bung Karno, yang akan muncul tentulah tokoh Bung Karno, tanpa memberikan gambaran tentang pengaruh tokoh-tokoh lain seperti Cokroaminoto dan Agus Salim.

Karenanya, tidak ada penggarapan cerita tokoh-tokoh penuh kebimbangan, atau tokoh-tokoh penuh kebimbangan, atau tokoh-tokoh yang masih harus ditentukan tempatnya dalam sejarah, karena tekanan penggarapan hanyalah pada kemapanan fakta sejarah. Yang terjadi dengan demikian adalah pemiskinan khazanah cerita film kita dari spektrum ‘ketidakpastian sejarah’ yang sangat luas. Akibat proses pemiskinan cerita ini dengan sendirinya memiliki dampak terbesar pada cerita film dari genre legenda. Dalam film-film Western, sang jagoan film-film besar senantiasa jelas lawannya, seperti penjahat besar bekas narapidana yang akan menuntut balas terhadapnya dalam film High Noon atau tuan tanah yang menyewa tukang tembak ulung untuk membunuhnya dalam Shane atau jago-tembak-lalim-tanpa-tandingan (unrivaled sharpshooter) dalam The Man Who Shot Liberty Valance. Terasa sekali sang protagonis adalah jenis manusia yang kongkrit, bukan hanya sekedar penindas atau sekedar tuan tanah atau tuan residen (dalam Jaka Sembung) secara umum belaka. Akibatnya, yang terasa dalam film-film kita adalah tema abstrak “kebenaran lawan kejahatan” dan sebagainya, yang tidak terungkapkan secara utuh sebagai problem kongkrit. Sangat sedikit film Indonesia yang berhasil mengungkapkan secara penuh ketokohan dari lawan sang jagoan, diantara yang sedikit itu patut dicatat tokoh Wiraguna dalam Roro Mendut. Sang pahlawan bukan hanya menyakiti hatinya dengan membawa lari Roro Mendut, tetapi terasa bahwa ia menghina martabat seorang bangsawan agung dan pemimpin bala tentara kerajaan Mataram. Akan lebih terasa lagi aspek kehormatan sang panglima ini, kalau diperlihatkan hubungan antara Raja dan dirinya.

Dalam keadaan tokoh lawan tergambar hanya secara abstrak, maka dituntut penekanan stereotip kekuatannya yang maha dahsyat, seperti jago yang bisa hidup kembali setelah terbunuh dalam Jaka Sembung. Kebutuhan ini jugalah yang akhirnya penggambaran kekejaman PKI dalam prolog film Pengkhianatan G.30.S, karena tanpa itu penghadangan sang pahlawan kepada tokoh lawan menjadi tidak terasa urgensinya. Penggambaran bukti kekejaman atau kejahatan dengan demikian lalu terpaksa dibuat spektakuler, untuk bisa dipakai membenarkan penampilan sang pahlawan. Namun, sang pahlawan yang muncul dari penghadapan kepada kejahatan atau kekejaman begitu dahsyat juga haruslah pahlawan dari kelas tinggi. Yang muncul bukan heroisme pahlawan, tetapi legenda tentang sang pahlawan. Apakah itu Darmawulan, Jaka Sembung, Si Ronda maupun Jendral Soeharto, ukuran sang pahlawan lalu menjadi kolosal. Lagi-lagi hal ini harus dikontraskan kepada tokoh ‘pahlawan’ Pranacitra yang sialan dan lemah, yang kepahlawanannya dalam Roro Mendut termasuk kategori biasa-biasa saja, seperti kepahlawanan ‘penembak gelap’ dalam The Man Who Shot Liberty Valance, Alan Ladd dalam Shane dan Gary Cooper dalam High Noon. Tidak heranlah jika lalu ‘kepahlawanan legendaris’ film-film kita lalu harus didukung oleh kekuatan supernatural seperti dalam Jaka Sembung.

Situasi kegagalan mencari penggambaran filmis yang terasa kongkrit dari cerita-cerita sejarah kita inilah yang sebenarnya melandasi kenyataan lahiriah tidak ada pemenang film terbaik dalam FFI 1984 baru-baru ini, walaupun ada dua buah film sejarah masuk nominasi. Baik Pengkhianatan G.30.S maupun Sunan Kalijaga belum bisa menampilkan format yang pas bagi pengutaran kejadian historis dalam kehidupan bangsa kita. Sunan Kalijaga malahan mengubur diri dalam dunia supernatural secara total, walaupun memang tidak tepat untuk mengharapkan dari tokoh legendaris itu sesuatu yang benar-benar historis. Tidak memberikan penghargaan kepada peristiwa sejarah yang besar terasa tidak pantas, memberikan juga tidak pantas.

Situasi film sejarah kita dengan demikian dapat disimpulkan belum sepenuhnya berada dalam sejarah, namun tak dapat sepenuhnya diperlakukan sebagai legenda. Terpulang kalangan film kita sajalah untuk mencari pemecahannya.

Jakarta, 30 Agustus 1984

 

Tulisan ini dibacakan saat diskusi film “Antara Kreativitas dan Relevansi Sejarah Dalam Film” di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, 3 September 1984. Dengan pembicara: Abdurrahman Wahid, Abdurachman Surjomihardjo, Marselli Sumarno, dan Barep Mochtadi sebagai moderator. Arsip Dewan Kesenian Jakarta.