Sumber: Keboedajaan dan Masjarakat, No. 3, Tahun II, September 1940, hlm. 103-106.
Tiap-tiap orang mempunyai watak sendiri-sendiri. Cara jalan orang ini lain dengan cara jalan orang itu. Suara si anu lain dengan suara si itu. Dan kesukaan warna si A lain dengan kesukaan warna si B. Pendek kata, corak (stijl) masing-masing berlainan.
Ini buat watak tiap-tiap orang (individu).
Begitu juga buat orang-orang dalam golongan yang agak besar. Cara berpakaian seorang b.b.-ambtenar lain dengan cara seorang golongan pegawai pegadean. Guru-guru Taman Siswa mempunyai pula potongan lain dengan guru-guru dari sekolah H.I.S. dan lain-lain sekolah yang mempunyai koloniale geest. Dan perempuan kelas borjuis lain keceknya dengan perempuan dari kelas proletar. Kecek yang segolongan hanya merembuk si-mevrouw-itu-tadi-pakai-baju-hitam, sedang kecek bik Birin hanya hal dimana-besok-memotong-padi. Ini juga menunjukkan corak golongan-golongan tadi.
Dari golongan ini pergi kita melihat pada segerombolan orang yang lebih besar lagi: orang- orang dari satu bangsa. Tiap-tiap bangsa juga mempunyai watak sendiri-sendiri, dan itu juga corak kulturnya sendiri-sendiri pula. Kalau tuan makan cap-jae, tergambar oleh tuan dengan sekejap mata negeri Tiongkok, corak kesenian dan bangsanya; rendang dan gudeg memperlihatkan corak bangsa kita yang lain dengan bangsa India dan Jepang dengan martabak, kare dan sake-nya. Dan seni lukis, suatu cabang dari kultur sesuatu bangsa tentu dengan sendirinya mempertunjukkan corak yang cocok pula dengan watak bangsa tadi juga. Corak seni lukis Belanda lain dengan corak seni lukis Perancis atau Rusia.
Sebab apa? Sebab watak orang Belanda lain dengan watak orang Prancis atau orang Rus jadi juga sebab nationaliteit mereka berlainan. Karena itu lukisan-lukisan mereka menunjukkan corak nasionalisme mereka sendiri-sendiri. Lebih terang lagi umpamanya. Seorang pelukis hendak melukis seekor burung. Pelukis tadi harus melihat burung tadi dengan perantaraan matanya. Dari mata tadi jiwanya mendapat cap burung tadi, yang lalu mengadakan suatu psikologis proses didalam. Sesudah proses ini terjadi maka barulah dia melukis dengan perantaraan tangannya. Jalannya jadi demikian: burung-mata-jiwa; jiwa-tangan-gambar burung.
Meskipun mata tadi mempunyai persamaan dengan lensa dari suatu foto-tustel, ini tidak berarti bahwa jiwa kita hanya suatu kamar klise saja, bukan? Banyak didalam jiwa kamar-kamar lain. Jadi sebelumnya gambar burung tadi jadi, maka dia harus pergi dahulu dengan sendirinya ke jiwa kita. Sebab jiwa tadi mempunyai watak yang lain-lain, umpamanya: rasa hidup filsafat lain, perasaan warna lain, perasaan indah lain, dan lain-lain lagi (ingatlah pada kamar-kamar tadi), karena nasionalitas mereka, maka buah proses yang ada pun akan lain pula. Dan disinilah terjadi corak dan stijl gambar tadi. Jadi gambar ini suatu buah dari pekerjaan proses jiwa kita dan bukan gambar klisé optische opname mata kita saja. Corak gambar ini tidak lain hanya suatu résoeltat yang langsung, suatu kejadian yang harus jadi oleh jiwa kita.
Entah lukisan-lukisan buatan pelukis-pelukis kita belum mempunyai corak ini, corak Indonesia, sedangkan corak lukisan-lukisan kita yang kuno dari Jawa dan Bali sudah ada. Apakah sebabnya? Oleh karena keadaan kita yang abnormal ini, kultur kita stop berjalan, seakan-akan mati, dan berani saya mengatakan bahwa kita bangsa Indonesia belum mempunyai bentuk kultur yang tetap, yang cocok dengan zaman persatuan kita sekarang.
Kultur, yang sering kita namakan sekarang, masih hilir-mudik, ngalor-ngidul. Yang satu ke ke-Jawaan, yang satu ke-kekuno-an dan yang satu ke kebaruan Jawa dan yang satu lagi ke ke-Baratan dengan baik dan buruknya. Tetapi ke ke-Indonesiaan baru yang cocok dengan zamannya ini tidak ada.
Kita bangsa Indonesia belum mempunyai corak persatuan yang besar, belum mempunyai stijl Indonesia yang tertentu. Corak dan stijl seni lukis kita masih suatu corak dalam keadaan pseudo-morphose, sebab oleh karena keadaan kultur Barat yang tebal melengket pada kita, kita tidak bisa mempunyai suatu cara mewujudkan (ultdrukkigswijze) yang cocok dengan perasaan persatuan Indonesia. Kita tidak mempunyai corak yang cocok dengan zelfbewustzijn kita sampai potongan luar yang kita lihat berkonflik dengan watak-watak kita.
Tuan lihat saja seteleng lukisan-lukisan “Persagi” (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia) yang telah diadakan di Kolff, Jakarta. Sudahkah kita bisa mengatakan bahwa seteleng tadi seteleng lukis-lukisan ke Timuran dan seteleng lukis-lukisan ke-Indonesiaan? Tidak! Barang-barang dan tema-tema yang mereka buat barangkali barang-barang, pemandangan-pemandangan dan tema-tema dari Indonesia, akan tetapi corak-kuas (penseelvoering) dan rasa warna mereka masih corak dan rasa warna Barat, dan cara mewujudkan mereka masih cara mewujudkan Barat. Cara mewujudkan mereka tidak berbeda dengan cara Adolff, Locatelli, Jan Frank, Sayers, dan lain-lain pelukis bangsa Eropa di sini. Jadi seni lukis kita di sini belum bercorak ber-stijl Indonesia. Sebenarnya kita harus mempunyai cara mewujudkan sendiri dan corak sendiri, kalau kita mengadakan perhubungan langsung antara jiwa kita dengan cara mewujudkan kita sendiri. Tetapi sebab kita mencontoh cara mewujudkan orang lain dari mulai zaman Raden Saleh, Abdullah Sr., Pirngadi sampai pelukis-pelukis kita sekarang, maka terhambatlah cara mewujudkan kita yang asli, berkarat dia tak mau jalan keluar, tinggal di dalam saja, tersendiri sembunyi sebagai puteri cantik di balik tembok ke Baratan, asing dari pelukis-pelukis muda kita sekarang. Puteri tadi menunggu-nunggu pelamar yang cakap berani, menunggu penyanyi yang dengan sungguh-sungguh hendak bertandang di pintu rumah dia. Dia sudah hendak keluar, sebab fajar zaman pun sudah datang.
Pelukis-pelukis Indonesia muda! Carilah kunci pembuka pintu puteri kita tadi, dengan jalan yang saudara pilih sendiri-sendiri.
Carilah cara mewujudkan kita itu agar bisa corak Indonesia itu terlihat. Marilah kita bersama-sama mencari. Pakailah cara saudara sendiri-sendiri untuk mendapat nasionalisme seni lukis kita itu.
Dibawah ini saya kemukakan sesuatu cara yang mencari jalan ke arah tadi. Kalau saudara mencari. Tak ada salahnya saudara mempelajari seni lukis Barat dari Renaisance Leonardo da Vinci sampai realisme De La Croix ke seni lukis baru Picasso. Tidak diarti teknik mereka saja, tetapi diarti filsafat sendi tadi, yang menjadi sebab-sebab aliran-aliran seni lukis itu, juga harus kita pelajari. Dari sini kita dengan sendirinya akan mempelajari seni lukis, yang orang Eropa katakan mula-mula seni lukis primitif (Afrika, Amerika, India, Tiongkok, Jepang dan Indonesia). Dan pada waktu saudara mempelajari seni lukis Barat dan primitif tadi maka saudara akan terharu, jatuh cinta pada jiwa, dan corak kesenian kita kuno: Bali, Batak, Minangkabau, Dayak, Papua, Jawa dan lain-lainnya.
Saudara akan tertarik dan pergi mempelajari barang-barang di Museum Jakarta. Akan tetapi ingatlah saudara, bahwa saudara tak akan berhasil banyak mempelajari kesenian museum itu, sebab jiwa kesenian di situ sudah berbau kemenyan, beroncom, terbenam di zaman Majapahit, Mataram, Sriwijaya dan kebesaran Indragiri. Dia tak hidup lagi. Lihatlah kebagusan jiwa itu sebagai jimat dan unicum saja, yang hanya bisa memperingatkan kita akan cara-mewujudkan kita dahulu, tetapi tidak memberi kita pertalian langsung dengan hidup kita sekarang.
Dari itu lebih baik kita pelajari hidup rakyat kita jelata di kampung-kampung, desa-desa dan juga gambar-gambaran berwarna anak-anak kita dari kelas 1 sampai kelas 5 sekolah rendah atau sekolah Schakel, yang masih tulen rasa warna dan coraknya dan belum dirusak oleh pelajaran guru-guru menggambar yang berasa warna Barat. Dimerekalah terletak kesenian yang merdeka, segar, dan hidup. Tengoklah kesukaan warna mereka, kesukaan corak pakaian mereka, kesukaan lagu dan rasa “sayur” mereka.
Cobalah hidup dalam kebagusan warna mereka: merah dekat hitam; hitam dekat putih; belau dekat kuning; hijau tua dekat kelabu, merah tua dan coklat tanah. Orang-orang sangka mula-mula warna tadi warna-warna desa, sebab orang-orang barangkali sombong sudah biasa dengan “geschoolde” rasa warna orang-orang kota dan orang-orang terpelajar, yang sebenarnya hanya mempunyai rasa Belanda belaka, tetapi tak mengerti sama sekali akan kebagusan “warna-warna desa” tadi. Warna-warna ini mempunyai kebagusan sendiri, yang typisch sekali bagi perasaan warna orang Indonesia.
Orang Belanda yang mengerti barangkali akan mengatakan eksotis, kebagusan asing, tetapi buat kita tidak asing sama sekali. Warna-warna tadi warna-warna kita. Dan warna-warna yang sering kita pakai untuk mengatur dan melaraskan mebel kita di kamar yang biasa kita katakan warna “beschaaf” malah sebaliknya, ia warna asing. Ini tidak berarti bahwa kita membuang pengaruhnya rasa Barat itu, tidak, sama sekali tidak. Kita malah harus mempelajari teknik mereka yang bagus itu dan kita malah pada waktu ini terpaksa ke Barat dahulu untuk ke Timur. Dan kita harus membuka jiwa kita akan memasukkan pengaruh rasa asing untuk hidup, akan tetapi kita tak boleh melumpuhkan rasa asli kita sendiri. Olahlah rasa asli kita dan rasa asing tadi, dan kita akan mendapat rasa Indonesia baru yang cocok dengan zaman kita.
Dan kalau saudara-saudara pelukis sudah berasa sebagai kita sendiri yang sehat, sebagai rasa bangsa kita dan anak-anak kita yang belum mendapat pengaruh Barat tadi, maka pada waktu itulah jalan ke corak Indonesia terbuka. Maka pada waktu itulah terjadi corak seni lukis Indonesia baru, dan kita mendapat “aku” kita.
Saudara-saudara pelukis, dalam mencari corak seni lukis kita itu saudara-saudara akan tak mendapat uang dan tak mendapat nama barangkali dari lukisan-lukisan saudara. Meskipun tak praktis sekalipun jalan kita itu tidak mengapa. Meskipun tidak mendapat nama kita sekarang tidak mengapa juga. Nasib kita sekarang memang tidak mudah mendapat nama, sebab nasib kita sekarang hanya mengerjakan pekerjaan yang harus dikerjakan didalam waktu yang abnormal ini. Jikalau tidak kita yang mengerjakannya siapakah yang akan bekerja? Jikalau tidak kita yang mencarinya siapakah yang akan mencari? Mestikah pekerjaan itu tinggal diam, sampai putus pertalian langsung di antara hidup kesenian kemarin dan kesenian yang besok ada?
Pekerjaan kita tidak pekerjaan yang besar, dari itu kita tak usah mendapat nama, tetapi pekerjaan yang sederhana ini harus berjalan untuk bisa memudahkan teman-teman kita yang akan datang bekerja mengerjakan seni lukis yang lebih besar nanti.
Demikianlah saudara-saudara, selamat bekerja
Tulisan ini juga dimuat dalam Seni Loekis, Kesenian dan Seniman, Indonesia Sekarang, Yogayakarta, 1946; Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-esai pilihan, Aminudin TH Siregar [editor] dan Enin Supriyanto [editor], Nalar, 2006.