Sumber: Indonesia Raya, 1 Juni 1955, hlm. 3.
Buku terakhir karangan Richard Wright, pengarang Negro Amerika yang terkenal, bukanlah roman akan tetapi suatu cerita perjalanan. “An American Negro views the African Gold Coast” tertulis pada sampulnya di atas title. Richard Wright adalah bangsa Negro dan Amerika. Sebagai orang Amerika ia bangsa asing dalam negeri darimana nenek moyangnya hampir tiga ratus tahun yang lalu diangkut. Akan tetapi sebagai bangsa Negro, sebagai orang yang warna kulitnya sama, secara emosionil ia menaruh perhatian terhadap negeri dengan mana ia sama sekali tidak terikat baik dalam hubungan daerah maupun suku bangsa dan yang kebudayaan serta jiwanya asing baginya.
Orang-orang Negro yang menjejak bumi Amerika sebagai budak, berasal dari berbagai bagian Afrika. Mereka tidak ada hubungannya satu sama lain kecuali bahwa mereka sama-sama menjadi budak. Mereka bercakap-cakap dalam beratus-ratus macam bahasa suku masing-masing dalam kebudayaan-kebudayaan Afrika yang berlain-lainan. Untuk dapat saling mengerti mereka harus mempergunakan bahasa majikannya. Mereka menganut agama dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan majikannya. Bangsa Negro Amerika adalah orang Amerika yang berkulit hitam. Spiritual (nyanyian orang Negro di Amerika) dan jazz sumbangan Negro pada kebudayaan Amerika adalah dari Amerika bukan dari Afrika.
Barangsiapa pembaca suatu cerita perjalanan, berkenalan dengan suatu negara dilihat melalui kacamata si pengarang. Sebagai pembaca orang harus menginsyafi adanya kacamata itu dan harus mencoba untuk melihat hal-hal dengan matanya sendiri. Lensa-lensa kacamata yang dipergunakan oleh Richard Wright agak berlainan. Sebagai orang Amerika dan orang yang turut mengambil bagian dalam peradaban teknik yang sangat tinggi yang pernah dikenal di dunia ini, keadaan sederhana dari Gold Coast itu lebih menyolok matanya daripada bayi kita, oleh karena persoalan-persoalan serta keadaan di Gold Coast sebagian bersamaan dengan yang merupakan persoalan kita. Cara Richard Wright memberi reaksi terhadap hal-hal ini tidak berbeda dengan reaksi orang Amerika yang berkulit putih. Akan tetapi perasaan yang dipergunakannya untuk merdeka di negeri ini jauh berbeda dengan cara orang kulit putih.
Ia kembali ke negeri tanah air nenek moyangnya. Ini pun tidak penting benar. Tiap tahun berpuluh-puluh orang bangsa Amerika mengunjungi kota-kota dan kampung-kampung di negeri Inggris dan negeri Belanda, Swedia, dan Italia untuk belajar kenal dengan tempat dimana kakek mereka tiga, lima, atau sepuluh generasi sebelumnya dilahirkan. Mereka berjalan-jalan di jalan kota-kota itu dan kadang-kadang berhenti di muka sebuah rumah tua atau membaca nama keluarganya sendiri di batu-batu nisan-nisan pekuburan-pekuburan tua dan mengetahui bahwa mereka adalah orang asing, dan bahwa tak ada sedikit pun yang mengikatnya kepada masa lampau, dalam mana kakek moyang mereka mengambill bagian. Bagi Richard Wright perjalanan itu adalah suatu kenang-kenangan panjang tentang penderitaan manusia yang mengerikan sekali, yang harus diderita nenek moyangnya, yang telah ditangkap oleh suku-suku lain yang bermusuhan, dan digiring ke pantai yang jauhnya beberapa pekan berjalan dengan diikat-ikat pada semacam pikulan kayu yang berat, mereka dijual sebagai ternak oleh pemilik-pemiliknya berkulit hitam kepada pembeli-pembeli berkulit putih untuk dimuat dalam kapal-kapal sebagai barang dagangan dalam perjalanan yang berpekan-pekan pula lamanya ke pasar-pasar budak belian di Boston dan New Orleans.
Ia berlayar dari Bristol tempat dimana pada pemburu budak belian itu diperlengkapi, setelah perdagangan budak belian itu berpindah dari bangsa Portugal ke bangsa Inggris. Ia berlayar dalam rute yang juga diikuti oleh kapal-kapal budak belian yang masih kosong, melalui kepulauan Canary ke selatan, sampai ke Teluk Guinea, dimana Gold Coast terletak. Di kota-kota tepi pantai Richard Wright mengunjungi benteng-benteng tua, dimana budak-budak belian itu disimpan dalam ruangan di bawah tanah sebelum mereka diangkut dengan kapal. Ia tidak mengetahui tempat atau daerah asalnya, maupun suku bangsa asal nenek moyangnya, akan tetapi ketika ia melihat wanita-wanita yang sedang menumbuk jagung di muka gubuk-gubuk mereka, maka ia mengenangkan nenek moyangnya yang mungkin seperti salah seorang wanita kulit hitam itu. Orang Amerika berkulit hitam dan yang berkulit putih kedua-duanya orang asing jika mereka mengunjungi tanah asal mereka, akan tetapi dalam mengenangkan cara bagaimana mereka meninggalkan negeri itu memberi sesuatu yang tersendiri pada laporan orang Amerika berkulit hitam ini.
Bukankah tuan orang Amerika? Tanya seorang pelayan toko padanya, ketika ia baru sehari tiba di sana. Kemudian Negro Afrika itu bertanya kepada Negro Amerika dari bagian Afrika yang mana ia berasal.
“I don’t know.” (Saya tidak tahu).
“Didn’t your mother or grandmother ever tell you what part of Afrika you came from?” (Apakah ibu atau nenek tuan tidak pernah menceritakan dari bagian Afrika mana tuan berasal?).
“I did not answer. I stared vague about me. I had in my childhood asked my parents about it, but they had no information, or else they had not wanted to speak of it. I remembered that many Africans had sold their people into slavery it had been said that they had no idea of the kind of slavery, into which they had been selling their people, but they had sold them… I suddenly didn’t know what to say to the man confronting me.” (Aku tak menjawab. Aku memandang sekeliling tanpa melihat apa-apa. Aku ingat kanak-kanak aku pernah bertanya tentang hal itu, akan tetapi mereka tidak tahu atau tidak mau bercakap-cakap tentang hal itu. Aku ingat banyak orang Afrika telah menjual bangsanya sebagai budak belian, kata orang mereka itu tidak tahu bagaimana jenis perbudakan itu, kemana mereka telah menjual bangsanya, akan tetapi dikerjakannya juga… Tiba-tiba tak ada yang dapat kukakatan pada orang yang saya hadapi itu).
“Haven’t you tried to find out where in Africa you came from, Sir.” (Tidak pernahkah tuan berusaha untuk mencari darimana asal tuan di Afrika ini?).
“Well. I said softly, you know, you fellows who sold us and the white men that bought us didn’t keep any records.” (Ya, jawabku perlahan-lahan, bung tahu, kalian yang menjual kami dan orang kulit putih yang membeli kami tidak membuat daftar-daftar). Silence stood betweed us. (Kedua-duanya berdiam diri. Masing-masing mengalihkan pandangannya dan tak berani memandang yang lain).
Richard Wright mengunjungi Gold Coast sebagai tamu dari Kwame Nkrumah, Perdana Menteri Gold Coast dengan siapa ia berkenalan beberapa tahun sebelumnya di Amerika. Perhubungannya menurut pengertian kita kurang ramah-tamah. Nkrumah adalah pemimpin Convention People’s Party (Partai Konvensi Rakjat) suatu partai rakyat yang pada dewasa ini memegang pemerintahan. Beberapa kali ia diundang untuk menghadiri demonstrasi-demonstrasi dan pertemuan-pertemuan partai itu, satu kali ia mengadakan percakapan lama dengan Nkrumah akan tetapi sudah jelas bahwa Nkrumah hanya mau memperlihatkan dan menceritakan apa-apa yang dianggapnya perlu saja.
Kontak dengan pemimpin oposisi, beberapa diantara kaum intelek yang mendapat pendidikannya di negeri Inggris, lebih lancar walaupun pengarang ini kritis benar dalam menghadapi mereka karena ia menyesali mereka tidak mau berusaha mendekati rakyat jelata. Juga kepala-kepala suku dikunjunginya, gejala-gejala reaksioner dalam masyarakat ini yang telah berabad-abad lamanya memegang kekuasaan. Sambil berjalan-jalan di pasar-pasar ia membuat kontak dengan rakyat jelata, dan dimana-mana ia menemukan kecurigaan, sifat tidak mau berkata apa-apa dan penipuan. Walaupun banyak halaman-halaman dalam bukunya membuktikan kekecewaannya tentang orang-orang serta keadaan-keadaan dalam negeri ini, perasaannya yang berlainan itulah yang mendorongnya untuk meneruskan mempelajari apa yang dilihatnya dan mengerti serta memberi analisa-analisa. Cara merasakan ini tidak berdasar kebangsaan, akan tetapi timbul karena kedudukannya sebagai minoritas kulit berwarna di Amerika. Dengan bakat dan pekerjaannya ia telah dapat melepaskan diri dan pembebasan diri ini adalah dasar daripada simpatinya terhadap bangsa-bangsa kulit berwarna yang memperjuangkan kemerdekaan mereka ataupun baru memperoleh kemerdekaan itu beberapa tahun ini.
Gold Coast adalah suatu negara yang tidak begitu besar, dan berpenduduk 4 ½ juta, daripada mana sebagian besar masih hidup dalam suku-suku. Di atas suku-suku ini berkuasa raja-raja yang mempunyai kekuasaan yang magis religius. Mereka adalah perantara antara dunia ini dengan dunia nenek moyang. Mereka mengetahui segala rahasia dan kekuatan-kekuatan gaib dan dalam upacara penguburan mereka secara rahasia masih saja dilakukan pengorbanan berupa manusia. Gold Coast adalah suatu negeri yang kaya akan kayu dan bahan-bahan tambang. Negara itu hanya dapat berkembang dan mempunyai perekonomian yang bebas dari Barat jika dapat mengeksploiteer bahan-bahan tambangnya sendiri. Akan tetapi perhubungan antara suku-suku tidak memungkinkan perkembangan secara teknik. Perhubungan antara suku tidak mengenal milik pribadi, barangsiapa yang telah mendapat uang, harus membagi-baginya dengan orang-orang sesukunya, dorongan untuk mencari uang dan menjadi kaya tidak ada sama sekali. Persoalan-persoalan ini tidak begitu asing bagi kita daripada bagi Richard Wright, juga soal-soal tabu, hanya perbedaannya ialah menurut persentase jumlah orang yang masih terikat pada adat lama di Gold Coast lebih besar daripada disini, dan peradaban secara massa pada 80% dari rakyat belum dimulai.
Si pengarang melihat jalan keluar pada Nkrumah dan partainya, dalam jangka waktu singkat. Nkrumah mencoba untuk menangkap kekosongan perasaan pada waktu hubungan antara suku menjadi longgar, bukan dengan melindungi kepercayaan lama akan tetapi dengan memberi super-geloof yang nasional pada rakyat dan hubungan erat antara partai dan pemimpin.
Suatu jalan yang berbahaya dan menakutkan. Seolah-olah memberi kesan bahwa perasaan luar biasa daripada Richard Wright terhadap Afrika mengakibatkan ia tidak memperhatikan bahaya-bahaya dan soal-soal yang berhubungan cita-cita sedemikian.