TANDA LAMBANG NEGARA

Sumber: Indonesia, No. 4, Tahun III, April 1951, hlm. 21-30.

Harga Nama

Seorang manusia yang hidup, menghendaki mempunyai nama yang tertentu. Ini perlu untuk menghindarkan salah paham dalam pemilihan “nama” atau “siapa” dia yang sebenarnya. Dalam “siapa” dia ini, banyak bersimpul kedudukan harga diri dari orang itu. Harga ini sedapat mungkin bertambah lama bertambah tinggi. Mempertinggikan atau mempertahankan atau memperluas arti harga diri ini umum disebabkan oleh dorongan ketumbuhan macam-macam masalah di sekitar kedudukan manusia dalam sejarah. Bentuk-bentuk dari memperluas harga diri ini, adalah seperti: pemberian nama atau pangkat kepada keluarga atau turunan selanjutnya, pemberian nama suku gerombolan di masyarakat, pemberian nama tempat, pemberian nama tempat kekuasaan seseorang atau tempat kepunyaan beragama, dan sebagainya.

Untuk memudahkan, supaya harga nama dikenal pihak lain, mereka umumnya memakai tanda, dari mana harga dirinya lebih bisa dirasakan daripada membaca atau menyebut namanya saja. Ini ditimbulkan oleh pemberian tanda-tanda atau lambang-lambang yang bersesuaian dengan kehadirannya dalam sejarah atau dalam perebutan kedudukan dalam sejarah. Dengan mempunyai kemenangan sejarah ini, hormat terhadapnya bisa timbul pada pihak lain. Atau sebaliknya. Perasaan berhak mempunyai atau berhak merebut nama atau tanda tadi, sudah tentu sangat dipengaruhi dari cara yang dianggap atau dibikin sah oleh yang mempunyai tanda tadi. Kita ketahui dalam sejarah peluasan kekuasaan dari yang berkuasa “mutlak” sebagai seorang raja atau diktator, sampai perebutan kekuasaan dari bangsa yang berhak mendiami tanah airnya. Dengan lain perkataan, tanda-tanda itu sangat tergantung dari bentuk-bentuk dan sifat-sifat kekuasaan (nama) yang diwakilinya, dengan selalu ingat kepada pertumbuhan bentuk perhubungan diantara kekuasaan-kekuasaan pada waktu itu. Begitu kita bertemu dengan bentuk-bentuk atau sifat-sifat tanda: “Saya (kini) yang berkuasa di seluruh dunia,” “Saya (kami) berasal dari turunan dewa,” “Saya mau menjaga perdamaian” dan berbagai bentuk-sifat yang ditanamkan dari permulaan pembentukan sejarahnya sampai bentuk yang diperolehnya selama dia ikut membikin sejarah. Jadi tanda ini sangat bergantung pada perubahan struktur kekuasaan dan kebudayaan dari daerah yang memilikinya dan pada perubahan struktur pembagian kekuasaan dan kebudayaan dunia.

Nama Republik Indonesia

Dengan adanya kebutuhan tanda lambang tadi sebabkan sejarah, maka dengan sendirinya ketika Republik Indonesia dihantarkan dalam abad 20 ini dia harus pula mempunyai tanda harga diri, supaya dihormati atau dipercayai negara-negara lain dalam pergaulan bangsa-bangsa, hal mana dalam abad ini menjadi salah satu syarat mutlak untuk boleh hadirnya bangsa itu.

Dengan sendirinya akan sangat terasa, kalau Republik Indonesia tidak mempunyai tanda penjaminan siapa dia, dia kurang atau tidak mendapat kepercayaan dan mungkin dianggap Republik itu hanya satu badan pergerakan dan bukan satu pemerintahan yang berdaulat. Begitu terbukti tanda kecil telah memutlakkan hadirnya dalam sejarah. Dia terbukti bisa menjatuhkan kehormatan sesuatu yang berhak mendapat suatu kehormatan.

Karena kelalaian dan terombang-ambingnya kedudukan Republik dalam percaturan politik dunia internasional, maka penentuan tanda lambang Republik baru pada penghabisan tahun ini bisa dilakukan, walaupun permintaan pembikinan contoh-contoh rencananya sudah dari tahun 1947 kepada badan-badan seni lukis, seperti S.I.M., Pelukis Rakjat, PTPI dan belakangan kepada KPP Bagian Kesenian.

Dalam merencanakan tanda lambang negara ini, kebanyakan pelukis ingat kepada lambang-lambang kuno dan kepada lambang-lambang yang sering didengung-dengungkan pada waktu pendahuluan dan permulaan Revolusi, seperti banteng dan bambu runcing. Tetapi sayang kebanyakan kurang mengerti hukum-hukum kesejarahan dari tanda lambang negara ini, disebabkan banyak tak menyelidiki lebih dahulu dasar kedudukan tanda lambang ini. Dan kesalahan terbesar boleh dikatakan karena tak ada penjelasan tentang arti lambang ini dari si penyuruh kepada si pelukis. Anggapan bahwa semua mereka yang pintar melukis bisa membikin gambar rencana tanda ini, terbukti ngawur. Walaupun bentuknya harus sederhana betul.

Dasar Cita (Ide) Lambang

Kalau kita mau menentukan sesuatu untuk kepentingan negara, maka sering tak sadar terasa bahwa dalam penentuan ini sedapat mungkin semua warga dan semua golongan ikut menentukan bagaimana akan jadinya. Karena masing-masing diantara kita ada mempunyai angan-angan anggapan kebaikan yang ingin disembahkan kepada negara. Tetapi umumnya hal ini tak bisa diselenggarakan karena kekuatan kesanggupan tak sama. Maka cukuplah soal tadi diserahkan kepada mereka yang dianggap lebih besar kesanggupannya didalam hal ini, walaupun mungkin yang terpintar diantara mereka tak sampai diberi kesempatan. Pembikinan tanda ini dengan sendirinya harus diserahkan kepada mereka yang dianggap telah berarti dalam soal lukis-melukis.

Tetapi soal melukiskan lambang ini baru mengenai keindahan bentuk atau lahir saja. Yang terpenting dari tanda ini, ialah ide atau cita yang harus terkandung olehnya, karena cita ini harus mempertahankan kedudukan harga diri negara atau bangsa dalam sejarah. Disini dalam sejarah depan. Maklum kita baru mulai membikin sejarah dengan bentuk Republik Indonesia. Kejadian ini pada umumnya menyuruh kita ingat dalam hati kecil kepada puncak hasil sejarah Indonesia kuno serta sisa-sisanya, walaupun hasil waktu itu pada hakekatnya tak sewajarnya kita lahirkan sebagai putera abad 20. Struktur susunan tata negara dan kebudayaan telah jauh berlainan. Lain perkara halnya kalau kita tak mengacuhkan perubahan ini dan mau terus memuja dan membudak kepada susunan cara dulu dan memaksakannya kepada arus kehendak perubahan masyarakat. Paksaan pujaan kepada cara-cara kuno ini akan menghilangkan arti kedudukan kewajiban kita dalam membentuk tata negara dan kebudayaan baru. Dengan ucapan lain, janganlah dalam merencanakan bentuk atau dasar ide tentang lambang ini dengan cara menyempitkan pemusatan cita kepada yang telah tercapai pada waktu yang kuno dulu, tetapi hendaklah dilahirkan satu cita yang dipusatkan kepada pembentukan sejarah depan dengan tetap tak menyimpang dari isi kehendak pernyataan kedudukan harga diri bangsa yang telah dicantumkan di UUD Republik Indonesia.

Kita sadar dan akan tetap berpaham begitu, bahwa lahirnya Republik Indonesia adalah keharusan sejarah dan bahwa UUD nya adalah cukup menyimpulkan kehendak negara baru ini untuk ikut serta dalam pembentukan sejarah dunia baru.

Pengertian-pengertian yang kita peroleh dari Republik yang bisa kita pakai sebagai dasar ide dari tanda lambang kualitas negara kita, diantaranya ialah:

a. Hasrat mau hidup sebagai bangsa yang berdaulat yang meliputi seluruh kepulauan Indonesia.
b. Negaranya berdasarkan Pancasila, sebagai tanda kekokohan tata negaranya.
c. Kesadaran bahwa negara kepulauannya berada di persimpangan jalan dari dua benua dan dari dua samudera, pada mana sifat politik kenegaraannya harus didasarkan, yaitu politik damai aktif.
d. Negaranya lahir dengan perebutan kekuasaan dari tangan penjajah dan pada ketika Perang Dunia II berakhir. Yaitu pada waktu bangsa-bangsa yang menang dari kaum fasis berhasrat membentuk dunia yang sanggup menjamin perdamaian.
e. Negaranya satu negara agraria dan tanahnya cukup mengandung kekayaan-kekayaan lain. Ini menimbulkan perhatian dunia luar terhadapnya.
f. Bangsanya (massanya) lahir dengan sumpah mau mempertahankan tanah air dengan semangat banteng. Timbul semangat yang sangat digembor-gemborkan pada waktu (akan) memulai Revolusi.
g. Bangsa Indonesia itu ada hak sejarah hadirnya, apalagi dia telah pernah mempunyai zaman keemasan yang meliputi seluruh kepulauan, seperti di zaman Majapahit.
h. Struktur dunia sekarang adalah dari zaman baru dimana pendekatan atau perhubungan batin bangsa-bangsa akan menjadi soal yang utama.

Dan banyak lagi faktor-faktor kecil besar yang bisa dipakai untuk dasar cita tanda lambang negara.

Dalam menemukan suatu bentuk, yang terpenting ialah pengutamaan kesatuan dasar ide yang terkandung pada tiap-tiap detail lambang itu. Dan janganlah sekali-kali menganaliseer detail-detail lambang itu dengan melepaskannya dari bentuk kesatuan atau kesatuan dasar idenya. Dengan mengambil sikap ini, tentu nanti akan lekas terdapat permufakatan dalam dasar ide dan bentuk rencana. Dengan mengucapkan ini kita sadar bahwa bentuk (tiap-tiap) sesuatu penuh dengan kelemahan dan kekuatan. Tetapi tetap kita bisa merasakan mana diantaranya yang mengandung dasar ide yang luas. Luas dalam pengertian ide inilah yang kita harapkan dari tanda lambang negara Republik Indonesia.

Bentuk Lukisan Tanda Lambang

Dalam memberi bentuk tanda harga diri negara, dengan sendirinya bentuk tanda itu harus mempunyai harga yang tak boleh ditawar-tawar, atau tahan sepuhan perjalanan waktu sejarah. Bentuk yang diberikan tak boleh asal ornamen-ornamen atau vlakvulling bagus-bagusan saja, dan gampang mendapat angka 10 di sekolah, tetapi betul-betul kuat menjamin harga ide yang dikandungnya dan sampai mempunyai bentuk dan ukuran-ukuran yang mutlak. Pendek kata dalam momen dari permulaan sejarah ini, si pembikin harus bisa pula menempatkan rasa bahwa tanda lambang itu tak akan luntur oleh sepuhan sejarah depan. Jadi sangat diharapkan dari si pembikin kepunyaan pengertian dan perasaan sejarah. Disini bisa merasakan apa yang telah dilahirkan sejarah dalam bentuk keabadian dari tanda-tanda lambang (heraldiek-heraldiek) bangsa-bangsa atau kekuasaan-kekuasaan dan ada perhubungan kedudukannya dengan sejarah waktu kekuasaan itu. Lukisan tanda ini dengan sendirinya bergandengan dengan seni lukis (gambar) pada waktu itu.

Bentuk lukisan lambang ini harus bisa menjadi milik bangsa. Bentuknya harus bisa diterima orang banyak. Bagi kita umumnya soal “bisa diterima” ini bisa menjadi handicap. Tetapi soal ini jangan sangat dihiraukan betul, maklum kedudukan massa sangat terkebelakang dalam bisa ikut menentukan kebaikan yang meliputi bersama. Disini kita hanya berpegang pada kepercayaan benar arus intuisi bangsa yang dengan sendirinya dimiliki oleh orang diantara mereka yang melopori hal sesuatu yang menjadi sebagian dari bentuk susunan kesatuan kebudayaan bangsa yang baru.

Umum dikenal bangsa Indonesia itu penuh hidup dalam lambang-lambang atau simbol-simbol. Hampir semua berasal dari zaman purbakala, dari kebudayaan kuno. Pembentukan kebudayaan baru mengharuskan mengambil sikap kritis terhadap lambang-lambang itu. Dalam merencanakan lambang negara baru, banyak bentuk-bentuk lambang dulu dianggap sanggup menyusunnya. Soal boleh hadirnya tentu saja boleh kalau dia atau susunan itu bisa menyesuaikan diri dengan kehendak dasar ide dari tanda lambang. Tapi tentu akan lebih baik, kalau dalam merencanakan ini kita mencari bentuk-bentuk baru yang sesuai dengan pembawaan sifat zamannya. Dari lambang-lambang lama kita bisa belajar merasakan dimana letak hawa keabadian bentuknya. Memang banyak diantaranya yang memilikinya. Tetapi tidak dia saja yang mengerti mendapatkan bentuk itu, pada bangsa-bangsa lain di dunia ini diketemui juga abadian ini diperoleh mereka dengan memilih bahan-bahan bentuk yang bersifat tahan harga atau tetap mengandung harga tertentu dan disusun dalam kesatuan yang tetap pula harga ukuran-ukurannya. Pada lambang-lambang yang akan mewakili suatu kekuasaan dipakai bahan-bahan yang diketemui di alam yang tetap selama zaman akan mewakili suatu macam kekuasaan. Seperti planet-planet; 4 elemen: air, api, udara, bumi, binatang-binatang, senjata-senjata, dan lain-lain. Bahan-bahan yang telah ditetapkan untuk lambang tadi, disusun dalam bentuk-bentuk mana perbandingan ukurannya dan garis-garis bidangnya (garis-garis komposisi) yang mempunyai harga tertentu. Seperti dalam empat-segi, tiga-segi bundaran dan berbagai susunan bidang dimana perbandingan ukuran semua tertentu. Dua lambang-lambang ini umum diberi warna yang berharga tetap seperti merah, biru, atau ungu, hitam, hijau, kuning atau emas, perak dan mungkin ada yang lain lagi. Sungguh disini manusia itu sangat ketarik pada sistematik dari satu orde untuk penetapan kekuasaan yang tertinggi.

Bahan-bahan bentuk dan cara penyusunan inilah baru merupakan dasar mengejar, mengandung harga tetap atau “keabadian” (mutlak). Sekarang kewajiban pelukis ialah memasukkan dasar ide tanda lambang yang telah ditetapkan dalam bentuk atau ukuran-ukuran yang mutlak tadi.

Biasanya juga tanda lambang itu ditambah dengan pemberian satu kalimat atau devies yang boleh dianggap klasik bunyinya, sehingga menambah “keabadian” dari isi dasar ide lambang, dan tentu huruf-huruf yang dipakai harus tunduk pula kepada dasar kesatuan susunan garis dan bentuk.

Melihat di zaman kapan Republik Indonesia berada, kita berharap supaya dalam pemilihan bahan-bahan untuk dasar lambang, dihindarkan simbol-simbol yang mengandung sifat penambah keluasan, kebesaran, dan kekuasaan, atau yang bersifat agresif, dan pelanggar batas. Tetapi kekuasaan atau kekokohan dari hak berdiri harus terjamin dalam tanda lambang negara kita.

Lagi, dalam keadaan waktu sekarang, dimana dalam semua hal sangat diminta ketegasan dan kelangsungan dalam harga pengertian, tanda lambang harus sederhana, gampang dibikin, gampang dikenal, tetapi luas kandungan isi susunan bentuknya. Kekaburan dan kerahasia-rahasiaan seperti umum diketemui pada bentuk lambang-lambang dahulu kala, sangat diharap supaya dihindarkan.

Beberapa Percobaan Rencana

Pada melukiskan satu rencana tanda lambang negara yang akan mewakili seluruh anggota warga, janganlah hendaknya berlaku hukum-hukum sayembara. Seperti: tak boleh dicopy oleh pelukis lain, kalau dibutuhkan perubahan atau bentuk baru yang tetap berdasarkan pada lukisan yang satu. Karena dalam hal ini sangat diharapkan kelekasan tercapainya bentuk yang mutlak, yang mungkin ada terkandung pada ide satu lukisan yang belum berarti dalam mendapat susunan bentuk. Jangan sekali-kali lukisan yang penuh melanggar hukum komposisi, seperti segala apa harus berpusat atau berpancarkan ke penjuru tertentu, tetapi cukup sehat mengandung ide, lantas diterima begitu saja. Tiap-tiap lukisan yang bertanggung jawab komposisinya, elementer tetap bagus. Sekarang hanya menambah keindahannya yang datang dari seorang seniman yang bisa merasakan jiwa bersejarah tanda lambang.

Lukisan percobaan rencana tanda lambang Republik Indonesia cukup banyak masuk. Pemilihan tanda lambang negara sebentar lagi akan ditetapkan pemerintah.

Umum, macam-macam lambang yang masuk tak banyak memuaskan. Walaupun banyak pelukis yang bernama di kalangan umum ikut membikinnya. Banyak diantara mereka yang memecahkan soal ini sebagai vlakvulling, atau poster, atau cap, atau lencana saja.

Dan ada lagi mengambil sikap melukis dalam berhadapan dengan apa yang dibikinkannya, misalnya, garis sangat dilepaskan dari hubungan yang rapih tersusun, seperti yang diketemukan pada 2 rencana saudara Kerton yang mengingatkan kita pada ontwerp tegel Belanda pada zaman keruntuhan selera di abad 19.

Dan lagi kesalahan umum dari si pembikin ialah, dia lupa akan seberapa harus besar tanda lambang, sehingga rencananya kalau dikecilkan menjadi terlalu ramai atau ruwet. Pun kebanyakan tak bekerja dengan garis-garis bidang yang tunduk kepada susunan garis kesatuan sehingga banyak rencana yang janggal atau timpang. Tentang ini banyak tak sadar diantara pembikin-pembikin, karena umumnya mereka lebih mendahulukan analisa tentang gambar atau membenarkan ide lukisannya dalam angan-angan saja. Mereka kurang tahu bahwa lambang sebagai lukisan harus betul-betul memberi tekanan yang jitu untuk melahirkan pengertian ide, dan tersusun dalam kesatuan, dimana segala detail atau bagian pengertian tak boleh ditarik dari kesatuan. Pun isinya sungguh cukup luas untuk menjamin syarat-syarat yang bersejarah dari dasar pengertian ide tata-negara dan bangsa.

Memberi ukuran-ukuran yang diangkat berharga,[1] menyusunnya dalam bentuk-bentuk geometri disertai simbol-simbol binatang, ada terasa oleh pelukis-pelukis rencana.

Beberapa lukisan[2] dan kritik ringkas.

Rencana 1 dari saudara Kerton. Jelas segala sesuatu lepas dari tujuan yang diharapkan. Tiap-tiap detail tidak berarti.

Rencana 2. Dari saudara Kusnadi. Lukisan banteng hitam di atas dasar merah. Perhitungan cukup ada, tetapi tak tahu perbedaan antara poster dan tanda lambang (heraldiek).

Rencana 3. Pengertian heraldiek ada. Banyak melihat kepunyaan raja-raja di Barat. Jiwa kerajaan dari heraldiek tak cocok dengan jiwa Republik Indonesia.

Rencana 4. Warna kepulauan dan cahaya, kuning (dimaksudkan mungkin emas). Satu rencana yang dasar detail-detailnya sangat disukai pelukis-pelukis yang ikut. Kemungkinan banyak yang paling disenangi umum. Cita bentuk berkompromi. Matahari Majapahit (zaman keemasan) dikawinkan dengan semangat banteng mempertahankan Indonesia. Tetapi sayang kandungan cita dari lahirnya Republik di abad sekarang sedikit pun tak diketemui. Cita disini dipersempit “ke dalam”. Dalam abad ini cita harus dipancarkan “keluar”. Lukisan kalau dikecilkan jadi ruwet.

Rencana 5. Percobaan II dari saudara Djajengasmara. Warna hitam putih vlakvulling baik. Satu hasil dari latihan lijntekenen. Bentuk tak berbicara apa-apa. Walaupun dipakai sistem angka 5. Ini yang dikatakan satu gambar, dimana fantasi filsafat yang muluk-muluk lebih didahulukan dari kesanggupan pancaran lukisan yang sebenarnya.

Rencana 6. Satu rencana yang hanya mengingat kepada perjuangan dalam Revolusi. Sifat gambar lebih cocok untuk satu lencana badan pemberontakan.

Rencana 7. Pelukis tahu tentang heraldiek. Pengaruh wapen raja-raja Barat dan bentuk wapen yang pernah ada di zaman Hindia Belanda. Pemakaian warna lengkap. Garis kesatuan tidak ada. Devies ‘sekali merdeka, tetap merdeka’ adalah janggal.

Rencana 8 dari saudara Djajengasmara. Satu rencana dari seorang yang tahu hukum komposisi dan lambang-lambang kuno. Ada usaha mengawinkan (disini lebih berarti memaksakan) yang kuno dengan yang baru. Ornamen senjata, penuh keruwetan dan rendaman asap menyan. Bentuk senjata tak tepat pada zaman sekarang. Bunyi devies klasik.

Rencana 9. Dari saudara Suromo. Warna: banteng perak di atas dasar ungu. Padi emas. Kapas putih-perak. Rangkaian melati kekecilan. Bantengnya telah mencapai satu bentuk kesempurnaan yang cocok buat satu heraldiek. Rangkaian melati terlalu kecil. Sayang padi dan kapas dalam bentuk lepas hubungannya dengan dasar corak banteng. Kesederhanaan ada, tetapi keluasan arti dihindarkan.

Rencana 10. Percobaan I dari saudara Abdul Salam. Lukisan agak ramai buat satu heraldiek. Kesederhanaan dikawinkan dengan keruwetan, walaupun ada dipakai sistem angka sederhana. Bentuk mendatar kurang tepat bagi satu heraldiek yang dengan sendirinya harus menjulang atau kokoh tetap. Perhitungan ada, tetapi keluasan arti dibatasi. Warna lengkap. Tujuan pelukis: sudut 5 = 5 UUD; Pohon Beringin = Republik Indonesia; 7 binatang = 7 kepulauan; Padi = negara agraria; timbangan = keadilan sosial; banteng-kuda = bersemangat dan setia serta berintelek; dan bersayap untuk terbang ke tingkat yang lebih tinggi.

Rencana 11. Percobaan II dari saudara Abdul Salam. Warna lengkap. Diusahakan melepaskan diri dari sentimen perjuangan sekarang. Dan mengejar cita negara sebenarnya. Satu rencana yang hampir diluar dugaan umum. Karena itu kemungkinan banyak akan ditolak. Tetapi dalam dasar ide, dan pencapaian bentuk, ada berani dan luas. Walaupun masih terpaksa berpegang kepada bentuk-bentuk dasar lambang-lambang yang telah ada. Seperti: matahari, tapi modern; padi, daun padi (?) dan cara memasang devies. Bentuk seluruhnya kompak, tapi kurang charmant. Bentuk tameng dan burung, modern. Tapi tak diteruskan pada bagian bawah tanda lambang. Komposisi masih ada yang diabaikan. Bisa diperbaiki dengan pemakaian rhytmische verhoudingen. Begitu pula stylering dari burung masih bisa diperbaiki.

Tujuan pelukisnya: ada digambarkan 7 kepulauan di khatulistiwa; tanda negara kepulauan; ada bersejarah zaman keemasan, yaitu matahari Majapahit yang diubah; burung merpati sebagai cinta damai yang penting artinya diabad 20 ini, tanda negara agraria; dan diberi devies “Bhinneka Tunggal Ika” yang cocok dengan paham Demokrasi dan Persatuan.

Rencana 12. Percobaan III dari saudara Abdul Salam. Sesudah ditambah atau diubah dasar ide oleh Bung Karno. Ide seorang nasionalis. Matahari dan Banteng. 7 kepulauan tetap dilukiskan. Kelemahan sama dengan rencana 11. Keluasan pengertian kurang dari rencana 11.

Varian 12a. Kesederhanaan dikejar dengan pemakaian komposisi yang kokoh. Susunan berpusat. Dasar tetap tak berubah dari rencana 12. Sistem angka 5, 8, 17, diutamakan. Matahari memberi sugesti naik atau senantiasa naik ke atas. Juga kecemerlangan dikejar.

Varian 12c. Banteng dilepaskan dari dalam. Dipakai sebagai penjaga yang menghadap keluar dan bukan yang memuja ke dalam. Sifat komposisi seperti varian 12a. Bentuk lebih besar dan lebih kokoh. Kelemahan tetap banyak dalam arti kurang luas.

Varian 11a. Komposisi diusahakan dalam rhythmische systimatiek. 5 segi disini bukan tameng lagi tetapi jadi benteng. Komposisinya bisa meluas kelima segi lambang 5 benua. Karena itu tak ada garis gambar yang melewati garis komposisi ini. Kepulauan di khatulistiwa diperjelas. Burung perdamaian tetap bergerak terus. Kekokohan negara hanya tergantung dari keadaan dalam negeri. Kokoh di dalam lebih diutamakan. Watak damai dipancarkan keluar. Lukisan masih bisa diperbaiki.

Sekian pembicaraan tentang bentuk-bentuk percobaan rencana tanda lambang negara Republik Indonesia.

Sekarang datang kewajiban untuk memilih atau memperbaiki untuk merencanakan yang bertanggung-jawab. Pengulangan varian-varian dari yang disukai, oleh mereka yang dianggap ada kesanggupannya menambah atau mencari bentuk baru, selain dari pelukisnya, ada baiknya dilakukan.

Mudah-mudahan lekaslah diperoleh tanda lambang Republik, dalam mana terpancar, siapa Republik itu sesungguhnya, sehingga tetap menimbulkan rasa hormat di sepanjang sejarah pada dunia luar terhadapnya.

 

 

 

[1] Seperti 5 dari Pancasila, 8 dari bulan Agustus, 17 dari tanggal Proklamasi.
[2] Tentang contoh-contoh diambil garis besarnya saja.

Tulisan ini juga dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia, 1948.