Sumber: Indonesia, Tahun III, No. 7, Juli 1952, hlm. 1-6.
Dalam majalah Indonesia ini, yakni nomor Agustus-September 1951 telah dapat kita ikuti sebuah karangan berkepala: “Adakah mungkin synthese antara seni musik Pelog dan Slendro dengan seni musik Barat,” buah tangan dari W.L. Tobing —etnomusikolog.
Sudah tentu karangan itu mendapat perhatian dari para ahli seni suara di Indonesia —maupun di kalangan ahli musik gamelan, maupun di kalangan komponis-komponis muda sekarang— terutama oleh karena karangan tersebut menggugat sebuah masalah yang hangat dalam kehidupan seni musik di Indonesia dewasa ini. Maka justru oleh karena itu pula adalah mengherankan, karena dari pihak manapun juga tak ada mengeluarkan suara sedikitpun sebagai sambutan ataupun sebagai pernyataan tidak setuju terhadap buah pikiran W.L. Tobing tersebut. Saya katakan mengherankan, oleh sebab kita tahu, bahwa di kalangan dunia gamelan dari dulu terdapat suatu pendirian yang kuat menentang pengaruh dari musik Barat ke dalam musik gamelan.
Suatu hal yang tak dapat kita terima sama sekali, ialah cara W.L. Tobing mendekati soal yang dikemukakannya ini.
Seakan-akan hanya masalah teoritislah yang menentukan soal musik itu. Dalam seluruh karangan itu kesan yang kita dapat ialah seolah-olah fenomena seni musik itu baginya terdiri dan hanyalah soal titi nada (toonladder). Kalau titi nada ini sudah dibereskan, lantas akan merdeka dan suburlah kehidupan musiknya. Padahal sebenarnya fenomena musik itu pada dasarnya samasekali bukanlah soal titi nada. Soal titi nada adalah soal belakang sekali. Bukanlah titi nadanya yang menentukan musiknya, melainkan sebaliknyalah musiknya yang menentukan titi nadanya. Seluruh sejarah musik di Barat maupun di Timur membuktikan kebenaran dari pernyataan ini. Disitu kita lihat, bahwa pekerjaan dan tugas dari para teoritisi selalu adalah mengikuti jejak hidup musik dari belakang serta mencari dan menentukan hukum-hukum dalam musik yang sudah ada. Jadi senantiasa musiknya yang timbul lebih dulu dan kemudian menyusul teorinya dari belakang. Berdasarkan kenyataan yang tak dapat dibantah ini kita bertanya, dimanakah sebenarnya tempat teori dari W.L. Tobing itu, oleh sebab disitu ia mengemukakan suatu titi nada yang “baru”, yang diperolehnya dengan jalan “synthese” antara titi nada musik gamelan (pelog) dan titi nada musik Barat, dan titi nada yang “baru” itu dikemukakannya sebagai jalan untuk melepaskan musik gamelan dari “vicieuse cirkel”nya menuju seni musik yang baru dan hidup. Di dunia seni musik Barat seorang Arnold Schönber, kita tak akan mengemukakan keberatan apa-apa, sekalipun caranya dalam teori itu tak dapat diterima dalam dunia gamelan. Kita akan menantikannya.
Dalam pada itu caranya mencapai synthese itu dan hasil yang diperolehnya, yang pada hakekatnya bukanlah suatu synthese pula, nanti akan kita bicarakan.
Lebih jauh usaha W.L. Tobing untuk membandingkan titi nada Barat dengan titi nada gamelan (pelog) satu sama lain mengenai hal jangka-nada (interval) dari masing-masing titi nada itu adalah termasuk usaha ilmu “vergelijkende muziekwetenschap”, yang umumnya adalah untuk mencari hukum-hukum yang ada dalam seni musik yang sedang diselidiki. Dan kalau W.L. Tobing sekarang sebagai etnomusikolog mengajukan suatu teori, yaitu hasil penyelidikan ilmu tersebut, dimanakah lagi letaknya batas antara dunia cipta dan dunia ilmu pengetahuan? Atau sudahkah sekian meresapnya intellectualisme Barat di Indonesia?
Kini baiklah kita bicarakan teori synthese W.L. Tobing itu.
Mula-mula diutarakannya adanya tiga titi nada pelog menurut tingkatan perkembangannya masing-masing, yaitu:
1. Pelog primer, terdiri atas 5 nada.
2. Pelog sekunder, terdiri atas 7 nada.
3. Pelog tersier, terdiri atas 9 nada.
Lalu dari tiap-tiap titi nada itu diselidikinya besarnya jangka-jangka antara masing-masing dua nada yang berdekatan dengan memakai ukuran “cent”, yaitu menurut yang ditentukan oleh seorang musikolog bangsa Inggris bernama Prof. Alexander John Ellis. Disamping itu perlu pula disinggungnya ilmu musik Yunani dan usaha penyelidikan dari Pythagoras, semua serba sedikit sehingga sering pembacanya terpaksa menduga-duga hubungannya. Maka pendapatnya, bahwa perbedaan antara seni musik gamelan (pelog) dan seni musik Barat adalah disebabkan perbedaan dalam susunan titi nada masing-masing, kini diperlihatkannya dengan angka-angka. Sebenarnya soal perbedaan titi nada ini bukanlah soal yang baru bagi kita di Indonesia. Akan tetapi soal ini perlu ditegaskannya, oleh sebab ketentuan ini merupakan batu loncatan ke teori W.L. Tobing itu. Dan dalam karangannya itu kita baca seterusnya: “Sekarang kita pergi ke jurusan Synthese. Dari perbedaan interval ke synthese. Perbedaan atau antitesis dari susunan-nada musik pelog atau slendro dan musik dunia harus kita cari di interval-interval dari nada-nada saja. Apabila kita hendak mencapai synthese, hanya interval nada-nada pelog atau slendro itu kita perbaiki dan samakan dengan interval nada-nada dunia. Maka dari susunan nada yang dengan demikian didapat kita tetapkan tangga-tangga baru”. Seluruh isi dari karangan itu berputar pada yang terkutip di atas ini, dan demikian segala pembicaraan kita terpusat padanya.
Setiap tesis mempunyai antitesisnya, dan sebaliknya juga setiap antitesis mempunyai tesisnya. Dalam kutipan di atas disebut perkataan antitesis dalam arti perbedaan. Rupa-rupanya penulisnya tak tahu akan arti antitesis. Kalau ia menyebut antitesis, maka tesis harus pula disebut. Seterusnya harus pula dijelaskannya apa yang dipandangnya antitesis dan apa yang menjadi tesis yang dapat dihadapkan kepada antitesis itu. Hal ini sama sekali tak ada. Menurut yang dapat kita raba-raba, tentu titi nada pelog dan titi nada Barat lah yang dipandangnya sebagai tesis dan antitesis. Maka kini kita ingin mengetahui, bagaimanakah W.L. Tobing menerangkan titi nada pelog dan titi nada Barat itu sebagai tesis dan antitesis, hanya karena adanya perbedaan mengenai hal jangka-nadanya masing-masing. Apakah hal adanya perbedaan itu sudah cukup untuk memandang dua hal sebagai tesis dan antitesis? Baiklah kita lanjutkan pula. Seandainya kedua titi nada itu adalah tesis dan antitesis, berdasarkan apakah W.L. Tobing memandang synthese nya sebagai jalan yang dapat melepaskan seni musik gamelan dari kungkungannya? Dalam teori memang senantiasa dapat dicari suatu synthese, akan tetapi adalah masih suatu soal besar apakah ini mempunyai nilai-hidup dalam praktik hidup seni musik.
Kalau kita melihat kehidupan seni musik di Indonesia dewasa ini, maka tampak diantara lain hasil-hasil ciptaan yang mengambil tema-tema dari dunia musik gamelan yang memakai titi nada pelog. Hasil-hasil ciptaan tersebut, diantaranya dari komponis-komponis Kusbini dan Amir Pasaribu, adalah digubah untuk alat-alat musik Barat seperti piano. Apakah yang terdapat disini?
Saya rasa W.L. Tobing akan berkata, bahwa hasil-hasil ciptaan itu adalah bukti dari kebenaran teori synthese-nya itu. Menurut saya hal itu sama sekali adalah tidak benar. Titi nada yang dipakai dalam ciptaan-ciptaan itu bukanlah hasil suatu synthese menurut teori W.L. Tobing, melainkan biasa saja komponis-komponisnya mempergunakan cara dan tonenmateriaal Barat untuk menjadi pembawa atau alat pengantar dari getaran jiwanya. Dengan kata-kata biasa: dalam masing-masing ciptaan itu pada komponisnya memakai “bahasa” dari dunia musik Barat untuk menyatakan isi jiwa Indonesia-nya. Kalau hendak dipakai juga istilah synthese disini, maka menurut penglihatan saya hal itu berlaku diatas “plan” yang lain, yakni antara alat-alat dan cara yang diperoleh dari Barat dengan mentaliteit atau jiwa Indonesia. Hal inilah yang berlangsung di Indonesia dewasa ini. Sampai dimana kita mampu melaksanakan dan mewujudkan sesuatu dalam hal ini, itu adalah tergantung pada kekuatan daya-cipta kita sendiri dan masa serta waktulah kelak yang menentukan nilai dari hasil-hasilnya.
Dalam pada itu masih belum juga kita bicarakan teori-synthese W.L. Tobing itu. Dalam yang terkutip diatas dapat kita baca sebagai berikut: “Apabila kita hendak mencapai synthese, hanya interval nada-nada pelog atau slendro itu kita perbaiki dan samakan dengan interval nada-nada dunia. Maka dari susunan nada yang dengan demikian didapat kita tetapkan tangga-nada baru.”
Tak perlu saya ulangi disini bagaimana W.L. Tobing mempergunakan angka-angka dalam menguraikan teorinya tersebut. Disitu ia mengatakan, bahwa titi nada pelog itu mendekati sesuatu susunan titi nada dari Barat, yakni Doris (Yunani). Perbedaan antara kedua titi nada itu mengenai soal besarnya jangka-nada adalah sangat kecil dan hanya teoritis saja. Dan setelah mengobrak-abrik susunan titi nada pelog dengan menambah atau mengurangi jangka-nadanya di sana-sini hingga sebanyak 50 cent (= ¼ nada) dan 68 cent (= 1/3 nada), maka ia telah “memperbaiki” susunan titi nada pelog dan menyamakannya dengan titi nada Doris (Yunani). Kalau W.L. Tobing mengerti akan permainan biola, tentu ia tak akan memandang ¼ dan 1/3 nada itu soal teoritis saja, melainkan memang benar-benar mempunyai arti besar sekali. Disamping itu sepanjang yang saya tahu titi nada dari Yunani, dus juga Doris, dijalannya senantiasa dari atas ke bawah, dan bukanlah seperti tergambar dalam karangan itu dari bawah ke atas.
Kalau kita sekarang meninjau uraian dari teori W.L. Tobing itu, maka nyata bagi setiap orang, bahwa yang dicapainya disitu bukanlah suatu synthese, melainkan biasa saja ia menyamakan yang satu dengan yang lain. Seterusnya juga sama sekali ia tidak mendapat susunan nada yang baru, melainkan biasa saja mengambil-oper-titi nada Doris dari Yunani.
Ada lagi keberatan saya terhadap perkataan “memperbaiki” dan sikap yang demikian yang dinyatakannya terhadap susunan titi nada gamelan itu. Rupa-rupanya W.L. Tobing terlalu banyak melihat ke dunia Barat dan memandang susunan nada Barat itu baik dan harus ditiru, justru oleh karena adalah hasil dari Barat. Kalau begitu mengapakah ia tidak berusaha mencari synthese antara seni gamelan (pelog) dengan seni musik Barat yang sekarang terutama hanyalah lagi memakai mayor dan minor? Dalam sejarah musik Barat toh sudah nyata, bahwa titi nada Doris itu lambat laun dengan dipergunakannya “accidentia” telah mengambil bentuk mayor dan minor. Bukankah hal ini menandakan bahwa titi nada Doris itu masih juga belum mencapai kesempurnaannya?
Adalah sangat keliru untuk membanding-bandingkan seni gamelan dan seni musik Barat dan kemudian berkata, bahwa musik gamelan itu harus diperbaiki. Kedua fenomena musik-musik ini adalah lahir di tempat dan alamnya masing-masing dan lambat laun melalui waktu berabad-abad berkembang menurut kodratnya sendiri-sendiri pula. Tak mungkin kita menyamaratakan keduanya dan berkata, bahwa yang satu adalah lebih baik dari yang lainnya. Tak boleh kita disini mempergunakan ukuran yang sama untuk keduanya, melainkan masing-masing harus dipandang menurut ukurannya sendiri.
Sekarang seni musik gamelan berada dalam suatu tingkatan dimana ia kelihatannya tak menunjukkan sesuatu tanda kemajuan lagi. Kesadaran akan hal ini mulai nyata sejak zaman revolusi, dimana orang merasa, bahwa status nusa dan bangsa Indonesia yang sedang diperjuangkannya itu menghendaki, agar daya-kekuatan untuk maju seterusnya harus dicari dalam kehidupan kemasyarakatan sendiri.
Daya kekuatan dalam kehidupan kemasyarakatan itu kini adalah hidup dan dinamis, maka setelah dikonfrontir dengan hasil-hasil yang diterima sebagai warisan, ternyatalah kepincangan antara cita-cita dan keadaan yang nyata. Disini setiap orang merasa, bahwa harus tercipta suatu keseimbangan. Maka disitulah timbul usaha-usaha yang sering hingga bersifat dicari dan dipaksakan terutama juga, karena tak ada keseimbangan antara kecakapan yang matang untuk melaksanakannya dan cita-cita atau hasrat yang meluap-luap dan sudah melayang setinggi langit. Dalam pada itu daya kekuatan yang kita sebut tadi serta juga kesadaran akan hal keadaan musik gamelan itu adalah merupakan kekuatan yang nyata yang tak boleh dilupakan, dan usaha dari W.L. Tobing itu nyata adalah suatu sikap tak mengakui adanya kekuatan itu.
Pada akhir karangannya itu W.L. Tobing berharap, “Supaya pemerintah, lembaga-lembaga kebudayaan atau orang-orang hartawan sudi membelanjai supaya di kemudian hari satu alat gamelan orkes dapat diberikan interval nada sesuai dengan titi nada Doris dan pelog-primer baru. Dengan demikian kesenian musik asli Indonesia mulai dapat dilepaskan dari kungkungan vicieuse cirkel lambat laun merdeka dan naik menjalani spiral. Untuk pelog baru ini rebab segera dapat diganti oleh biola, dan suling diganti dengan dwarsfluit. Jikalau eksperimen memuaskan, gamelan orkes baru ini lambat-laun diperluas dengan harpa mengganti cilempung, dan ditambahi dengan alt, selo, hobo, klarinet, dan fagot.”
Membaca hal ini seolah-olah kita menghadapi suatu eksperimen dalam sebuah perusahaan besar, dimana diadakan percobaan memakai alat-alat mesin yang baru dan modern.
Dalam pada itu kita ucapkan saja, “Selamat bereksperimen.”
Sebagai kelengkapan uraian ini ada suatu peristiwa saya berikutkan di sini.
Telah pernah soal kita ini saya bawa ke dalam beberapa pembicaraan saya dengan Mr. Jaap Kunst di Amsterdam. Anehnya dalam tiap-tiap pertemuan itu umumnya tak banyak kami berbicara. Kebanyakan hal beliau diam saja. Pada suatu waktu saya gugat pula soal kita ini dan kemudian saya tanya pendapatnya. Ia tak menjawab apa-apa, melainkan bangun dari kursinya dan seluruh kasih mesranya ditumpahkannya dalam suatu lagu yang disiulkannya, yaitu suatu lagu dari dunia musik gamelan. Saya lihat pada mukanya ia rindu, rindu kepada sesuatu, yang sukar dicari lagi dalam dunia seni Barat yang materialistis dan intectualistis, yakni kesunyian dan kedamaian jiwa.
Kami tak berkata apa-apa lagi. Aku telah mengerti.
Kemudian beliau pergi ke sudut kamar kerjanya dan membuat kopi susu untuk kami berdua. Setelah itu ia berkata: “Saya suka kopi yang tulen karena aromanya.” Dan akhirnya dilanjutkannya: “Kalau kamu bekerja cara demikian di Indonesia, kamu akan membuang “aroma” yang indah dari musik gamelan.” Aku diam saja sambil menghirup sedikit demi sedikit kopi susu yang benar-benar sedap itu.
Memang dalam seni itu tak perlu banyak bicara, tak perlu main angka-angka.