Sumber: Budaya, Tahun VII, No. 11-12, November-Desember 1958, hlm. 431-438.
Bertolak dari pendapat: seni universal, seni untuk semua dan kemanusiaan, saya mencoba tulis lima pameran seni rupa di Yogyakarta, yang berlangsung sebagai sambutan pelukis-pelukis atas hari ulang tahun Kemerdekaan ketigabelas kita.
Tempat yang mereka pilih di sanggar masing-masing; Seniman Indonesia Muda di Alun-alun Lor; Pelukis Rakjat di Sentulrejo; ASRI di Gampingan; Pelukis Indonesia di Suryodiningratan; Pelukis Indonesia Muda di Semaki Kecil.
Bertolak dari pendapat seni universal, seni untuk semua dan beralaskan falsafah kemanusiaan, maka perkembangan seni rupa di Yogyakarta sangat pesat, demikian punya tenaga hidup yang luar biasa. Tenaga hidup yang luar biasa membawa arti juga, bahwa bagi siapa yang mengarah dan sampai ke titik-beku otomatis tertinggal dalam berlomba maju secara sehat dan jujur ini, bersama konsepsi masing-masing yang lekat, ke gelanggang kita berjumpa bergandengan.
Melangkah ke depanlah kita dengan dinamika tenaga hidup dan jiwa bersih; seniman-seniman yang punya kesadaran total, melahirkan karya-karya bermutu tinggi lengkap dengan ketinggian akhlak sebagai manusia.
Dan itu merupakan pergolakan yang sedang dicapai oleh pelukis-pelukis di Yogyakarta, sebagai mengarah kepencirian pribadi-pribadi pelukis Indonesia dalam serta mengisi kehidupan seni rupa bangsa dan antar bangsa, sekaligus yang akan menandai karya keindonesiaan dalam bangsa dan antar bangsa.
Jadi karya dan moral adalah merupakan dua utama tuntutan seniman atas diri (yang termula) dalam perentangannya bersama masyarakat. Moral disini mencakup pengertian pemikiran dan perbuatannya.
Masyarakat Indonesia menerima pandangan dan karya seni yang bermutu tinggi yang datang dari luar, dan seniman-seniman Indonesia sendiri mengolah dan mengungkap segala seni ke taraf ketinggimutuan.
Jiwa kebangsaan yang kuat tidak mengikat dan mempersempit jiwa universal yang hidup, dan keindonesiaan dalam seni adalah juga keuniversalan, untuk semua bisa diterima.
Gelanggang seni rupa Indonesia makin terisi kelincahan bersama pengertian-pengertian yang menunjukkan watak dan corak.
Hadirlah nama-nama baru, dan nama-nama muda seperti: Itji Tarmizi, Syahwil, G. Sidharta, menunjukkan adanya pengaruh-pengaruh atas beberapa kawan-kawannya.
Pelukis Rakjat
Kita coba mulai dari Pelukis Rakjat, salah satu perkumpulan yang merintis dan terkuat sejak 1947.
Itji Tarmizi. Kira-kira lima tahun berselang seorang anak muda datang dari Sumatera Tengah, yang kemudian tiba sebagai siswa ASRI dan kader Pelukis Rakjat, dalam perkembangannya sekarang dia merentang hati dan memaparkan perasaannya, “Aku di tengah masyarakat Indonesia yang masih dijepit kemiskinan, kubawakan hati rindu dan kasih.”
Objek-objeknya dalam taraf akhir-akhir; dusun-dusun di Parangtritis, kawan-kawan di Pelukis Rakyat dan paling akhir-akhir ini nelayan-nelayan di pantai Semarang, ditekuninya satu-satu dengan penuh perenungan.
Penelitian suasana sekitar yang mengisi tokoh-tokoh “Sudiardjo”, “Ganar”, “Njeterika” merupakan sari-sari dari kesibukan batin, dan “Inem” adalah salah satu contoh ungkapan berhasil dari rangsang Itji yang sigap dan dahaga.
Dia telah mengolah dengan menyederhanakan bentuk-bentuk, menyederhanakan plastisitet, cahaya teratur datang, yang itu telah membawa bagi kelengkapan pencapaian hakekat seninya.
Dan pemilihan pisau lukis, paletmes dalam kerjanya, adalah tepat bagi perasaannya yang kembara terus-terusan, dari hatinya yang lapang. Sekali-sekali ketajaman dan dewasa hatinya diujudkan lewat warna, dan itu dimulai dari karyanya “Inem” tersebut.
Itji sebagai pelukis yang masih begitu muda, telah bicara dengan wajar dengan cara yang mempesona dan baru.
Fadjar Sidik. Seorang yang pernah melampaui masa ragu dengan cukup waktu dan kembali menemukan diri, dialah Fadjar Sidik.
Surealis kubistis sebagai masa ragu, akibat masa yang sangat dicari-cari, kini Fadjar bahkan punya warna-warna yang lebih sedap dan segar: putih-putih dan biru muda-biru muda dalam gaya realisme kembali.
Sekali-sekali dipilihnya juga warna jingga muda. Kontur-kontur yang sejak lama dimiliki, ternyata kuat dipertahankan, lengkap dengan pertahanan nilainya.
Jelas, kewajaran dan kejujuran lebih banyak membawa hasil.
Batara Lubis. Ia telah bulat-bulat berdiri dan bicara atas nama dirinya. Pendepormiran bentuk-bentuk dengan warna-warna datar, menempatkan dia sebagai seorang pelukis dekoratif.
Keistimewaan Lubis terutama pada warna-warnanya yang wangi, dan tidak pernah melupakan bagian-bagian artistik dari objek-objeknya. Dan warna hitam yang diselipkan di sana-sini, berfungsi lebih meyakinkan kita atas kesungguhan Lubis dengan warna-warna wanginya.
Komposisi, bukan anatomi dan proporsi wajar yang pegang peranan, tapi ini toh minta diketahui. Tanpa nama mudah melahirkan “kejanggalan” bentuk yang kekakuan.
Hal inilah kadang-kadang telah merupakan gangguan bagi penikmatan kita atas beberapa karyanya.
C.J. Ali. Seseorang merupakan tenaga baik tapi yang kurang tenaga dialah C.J. Ali. Dia dibutuhkan spirit untuk mengatasi kelesuan-kelesuannya, guna membuka kesadaran baru. Dia wajiblah membuat lebih banyak lagi dari: “Perempuan Mencuci” nya, yang bicara tentang kelembutan di dalam hidupnya yang hangus.
C.J. Ali punya kekuatan, dan kekuatan ini sebenarnya meminta imbangan ketegasan dan keberanian.
Kita masing-masing punya rencana jangka panjang, dan rencana jangka panjang baiklah diisi padat-padat oleh rencana-rencana jangka pendek.
Sudarso. Dalam diri Sudarso yang pendiam ternyata terus berkembang jiwa seni; dalam tiga buah biru laut “Parangtritis” nya terbentang jelas hati Sudarso yang tenang dalam, juga di beberapa hijau pemandangan-pemandangannya.
Dia makin menemukan dan mendapati bicara: kesejukan, ketenteraman, kedamaian.
Dia tergolong nama lama yang terus menanjak di antara banyak rekan-rekannya yang tetap mendatar, bahkan yang menurun dan menyerah.
Sutopo. Untuk Sutopo bukan kewajaran dan kejujuran sebagai tantangan bagi banyak tingkah (seperti banyak dilakukan pelukis-pelukis yang “mau cepat sukses”), tapi Sutopo dihadapkan kepada perlunya memiliki kepribadian.
Kelincahan dan kemahiran melancarkan teknik pada masanya tidak akan berarti jika kepribadian ini belum dimilikinya.
Dulu dekat Hendra maka seperti Hendra, dan dekat Itji sekarang seperti Itji.
Pelukis Indonesia
Saya coba sarankan, alangkah baik seandai perhatian atas sanggar ini disungguhkan.
Perhatian masyarakat atas seni rupa makin besar, makin kritis, sekritis kita menghadapi tiap karya dengan segala dasar pengertian. Juga tamu-tamu negara yang biasanya punya acara mengunjungi sanggar-sanggar dan pelukisnya, maka kini sudah patut ditambah dengan kunjungan kepada Pelukis Indonesia selain Pelukis Rakjat dan ASRI.
Pelukis Indonesia punya anggota-anggota yang menghasilkan karya-karya bermutu tinggi, dan itu tidak bisa dilewati begitu saja.
Sholihin. Sholihin misalnya, seseorang yang memiliki kemerdekaan jiwa yang penuh, dan mengumandang di dalamnya lagu keindahan tiada henti.
Kita lihat dalam “Daun-daun”, “Pemandangan”, dia telah mengungkap sangat baik, kita disuguhi karya-karyanya yang makin kuat, dengan mengemukakan kebidang-bidangan ke arah kubistis, serta warna-warna yang matang padat. Sedang “Pasar” nya merupakan peralihan dari impresionis Sholihin yang lama, dengan kekayaan warna yang nyala dan hidup.
Kusnadi. Nama lama Kusnadi kembali sekarang mengaktipir diri dengan impresionistisnya yang puitis.
Tujuh lukisannya berjajar di sebuah bidang dinding, dengan warna-warnanya mekar lembut menggemakan suara cinta.
Lewat warna-warna ini dan irama garis-garisnya: dilepaskan seluruh hati menari dan memberi, segala kekayaan direntang bersama habis-habisan.
Nasjah Djamin. Padanya berdegup kesunyian yang sangat menekan. Gairah dan nyala yang menyelinap dalam hidupnya: dalam warna-warnanya yang lembut, dalam gaya Nasjahnya yang lembut, yang kesemuanya dirangkum dibawa menyusup ke daerahnya yang lekat: kesunyian.
Keartistikan yang dipunyainya, sederhana sekedar dilahirkan bersama kesederhanaan hati.
“Perahu Banjuwangi”, “Pantai Bali”, “Lastri” juga karya-karya lainnya yang tidak dipamerkan, adalah pernyataan diri Nasjah Djamin selengkapnya: yang sunyi.
B. Kussudiardjo. Mirip Sutopo di Pelukis Rakjat? Dialah kiranya Kussudiardjo di Pelukis Indonesia. Kita ingat dalam pameran tunggalnya 1957 Kus memamerkan juga beberapa karya-karya kenasjahdjaminan. Kali ini tidak ada lagi, tapi mengapa tak dapat disuguhkan karya sekuat “Kendi Purwokerto” atau “Botol” yang pernah keluar di pameran tunggalnya? Kini dia meningkat pandangannya terhadap ruang. Tapi itu pun akan tidak berarti sepenting jika kita menuntut syarat dasar: kejelasan kepribadian yang lebih penting.
Sumitro. Setelah “Kaktus dan Keladi” Sumitro mulai punya persoalan dalam “Pohon Bambu” nya.
Warna, komposisi maupun garis-garis dan goresannya nampak adanya tenaga. Kita menunggu Sumitro dan Kussudiardjo dalam pameran-pameran selanjutnya.
Pelukis Indonesia Muda
Pelukis Indonesia Muda adalah perkumpulan yang termuda di Yogyakarta yang berdiri dalam tahun 1952; anggota-anggota terbanyak terdiri dari putera-puteri lulusan ASRI. Satu dua anggota setengahnya telah lesu ditaraf awal, dan menyalurkan diri ke daerah yang rasanya lebih cocok dengan panggilan jiwanya.
Kalaulah kembali kepada pendapat: Kita masing-masing punyai jalan panjang yang mesti ditempuh sepanjang masing-masing umur kita, bersama tuntutan kemajuan, maka mereka tadi pastilah tahu bagaimana dengan kedudukannya lengkap dengan pengertian membela kesenian, dengan perbuatan yang memiliki garis serius, seperti antara tokohnya.
G. Sidharta. Sidharta seorang tokoh terpenting mungkin dengan kubisme yang dibawanya sejak belajar di negeri Belanda dalam perkembangannya diolah dan menunjukkan adanya penguasaan, artinya tidak tenggelam pada teknik belaka, tapi dengan kepribadian dijalaninya.
Kita lihat misalnya dalam “Topeng Bali” yang spontan dengan keharmonian warna berwatak.
Dan puncaknya dari yang dipamerkan adalah “Tanah Merah” dimana dimiliki tanda-tanda keartistikan tinggi dan tanda-tanda kesederhanaan yang berat.
Juga “Jezus” (telah menjadi koleksi Edy Sunarso) mewakili Sidharta dari bidang kelapangdadaannya. Karya-karya lainnya tidak jauh kekuatannya, [tidak selesai-ed].
Widajat. Widajat orang kuat, dan yang mampu menunjukkan kekuatannya. Tapi dia sering melenakan diri, mimpi agaknya, tidak sadar.
Tidak selalu tiap karya mesti jadi baik, itu biasa. Juga Affandi, Hendra, tidak selalu berhasil. Tapi itu bukan akibat mimpi Affandi, Hendra, juga lainnya yang mengalami sekali-sekali kegagalan. Itu cuma berhubungan dengan proses kejiwaan si pelukis yang sedang berlaku. Dan mimpi Widajat sering-sering merupakan ketenggelaman di belakang orang lain.
Contoh dipamerkannya “Dua Kuda”, “Kepasar”, “Adu Djago”, yang penyelesaian latar belakang dan depan adalah Sidharta: kubistis, warna-warna dan sapuannya.
Sebagai pelukis dekoratif harapan bagi Widajat selalu besar.
Seniman Indonesia Muda
Seniman Indonesia Muda mempunyai banyak siswa yang mengharapkan pimpinan.
Tanda-tanda menyenangkan pada Seniman Indonesia Muda ialah banyak mereka menunjukkan kemampuan dalam kerja sketsa, seperti sketsa-sketsa I. Maaruf dan T. Manyaka.
Boleh saya katakan bahwa Seniman Indonesia Muda pada umumnya mendekati keharijadian. Dan tanda-tanda meloncat lepas dari Harijadi ialah Gunadi dengan “Terate” nya; Marah Djibal dengan “Karangsari” nya menarik; dan Sugiarto dengan “Potret Diri”, “Kerdja Kopra” punya warna-warna segar.
Kesan untuk Seniman Indonesia Muda sangat singkat. Dengan singkat saya taruhkan keyakinan: pertemuan yang lebih baik dari bakat-bakat dengan pimpinan akan melahirkan buah-buah yang mengagumkan.
Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)
ASRI yang dikembangkan dengan kebebasan menganut paham dan kemerdekaan berpendirian, melahirkan aneka gaya dan corak, tanda adanya kekayaan ragam pribadi-pribadi dari jiwa Angkatan yang bakal tumbuh.
Umumnya bukan tingkah yang dikedepankan dalam olah seni mereka, tapi kejujuranlah menyertainya.
Begitulah sekarang, bahwa ASRI adalah sumber dari kader.
Tetapi untuk masa sekarang tuntutan kepada kemajuan seni rupa dengan stabil masihlah sangat berat. Ini dihubungkan dengan pengertian masyarakat dan penerimaannya yang tidak lepas dari keadaan, soal-soal sosial dan ekonomis yang pertama memukul wajah-wajah mereka selain pendidikan.
Masa sekarang bisa dianggap adalah belum masa yang mampu memberi hidup seniman dan keseniannya, dan jika nyatanya ada kehidupan seniman dan keseniannya, ini adalah karena mereka sendiri yang berkehendak hidup, karena tanpa membikin permulaan adalah kehampaan abadi.
Dan masa permulaan bagi seni rupa Indonesia masih belum habis, masih terus berjalan, toh cukup dengan memperoleh sukses-sukses. Hingga keyakinan menyertai, sekali nanti Indonesia merupakan negara kesenian yang unggul.
Seniman-senimannya sendirilah yang wajib mengajak (untuk tidak mengatakan mendidik) masyarakat: ke arah kemajuan pengertian-pengertian masyarakat, sampai dicapai masa kesenian dan masyarakat yang saling membutuhkan.
Seniman menghargai masyarakat, mereka belajar dan mempelajari segala yang hidup dalam masyarakat: diolah merupakan kekayaan bentuk-bentuk karya seni.
ASRI serta ikut membantu dan penting sesuai dengan kedudukannya.
Kader-kader di ASRI banyak, dan banyak mereka tahu, oleh karena terpimpin saja maju. Pemimpin yang baik ini kita perhatikan dan majukan.
Pimpinan yang diminta berwatak bagi pendidikan di ASRI, dengan memandang perspektif seni rupa Indonesia.
Dalam ASRI terdapat antara lain: Amrus Natalsya, Sjahwil, Siti Ruliati, Arby Sama, Muljadi W., Abdullah Sidik, dan tanda-tanda penyusulan oleh Mudjitha, Yap Kiem Koen, Budiani.
Taraf masa ragu sering meminta waktu lama, dan disitulah ujian yang terberat. Beruntunglah siapa yang lulus dan sadar mendapatkan keyakinan: menemukan hidup dengan ketenangan jiwa, selanjutnya bisa melancarkan kerja seninya.
Juga jalan yang baik, bagi siapa yang tidak lulus ada penyaluran baginya, sebagai guru dalam gambar yang berbekal cukup tentang kesenian.
Tapi adalah sebuah bahaya yang menghadang, sesuatu coretan negatif dari kegagalan, lahirnya petualangan seni, yang hidup dengan lekatan jiwa berlarat-larat. Inilah paling menyedihkan, berbahaya dan bagaimana usaha kita mengatasinya?
Kita tidak bisa mengelak kenyataan, bahwa di sekitar kita ada petualangan seni —dari bermacam tingkat kaliber— yang dengan nekad tampil ke tengah masyarakat, beraksi dengan segala “kecakapan” nya, tidak mau tahu, bahwa yang demikian adalah penipuan, yang akibat tersebut dilanjuti dengan tetap dilakukannya segala sesuatu yang jauh dari nilai-nilai seni, dan bahkan sengaja atau tidak terbuatlah jurang yang memisah antar masyarakat seni dan masyarakat umum olehnya.
Akhirnya lima pameran yang telah ditulis di atas adalah pernyataan pelukis-pelukis Yogyakarta atas pengisiannya bagi hari-hari yang berjalan terus: hari baru diisi oleh pencarian dan penemuan yang baru.
Diucapkan selamat bekerja.
Sanggar Gampingan, awal September 1958.