KESUSASTRAAN SEBAGAI ALAT

Sumber: Indonesia, Tahun III, No. 7, Juli 1952, hlm. 7-12.

Tiada berbeda dengan segala bentuk dan kreasi, kesusastraan pun hanya alat semata. Ia tak berbeda dengan golok, alu, sepeda, mobil, mesin tulis dan sebagainya. Kesusastraan pun alat manusia untuk mencapai sesuatu maksud tertentu. Adakah pencapaian maksud ini berhasil, ini adalah tergantung pada kadar hasil kesusastraan itu.

Suatu hasil kesusastraan yang telah tercipta dan telah pula disampaikan kepada masyarakat, dia punya sejarah sendiri terlepas dari sejarah pengarangnya, tak ubahnya seperti orang tua dengan anaknya. Barangkali inilah yang menimbulkan semacam kode mengapa seorang pengarang tidak perlu meneriakkan maksud atau tujuan dari hasil ciptaannya. Dengan keterangan atas hasil pekerjaannya, ada timbul kesan pada orang banyak atas pengarang itu, bahwa ia telah menghidangkan tulisan yang belum selesai tulisan itu belum cukup kuat untuk pergi sendirian ke tempat tujuan si pengarang.

Tak adanya keterangan dari pengarang ini menyebabkan sering terjadi selisih tangkapan antara para pembacanya mengenai maksud seseorang pengarang. Dan sungguhnya hasil kesusastraan bukanlah soal-soal ilmu pasti. Disamping itu watak manusia ialah memandang segala dari jurusan kepentingan dan perhatiannya. Kemudian bukanlah mengherankan bila banyak hasil kesusastraan yang diperalat oleh orang-orang atau pun badan-badan (kekuasaan atau hukum) sejalan dengan kepentingan dan perhatian masing-masing.

Segala alat di dunia ini, kesusastraan tak terkecuali, dapat dipergunakan oleh seseorang untuk mencapai maksudnya yang tertentu. Orang dapat mempergunakannya untuk membela diri, untuk memperbaiki keadaan diri atau umum, juga dapat untuk menyerang dan membunuh lawannya atau pula untuk membunuh dirinya sendiri. Dalam hal ini bimbingan budi dan perhitungan akal merupakan faktor yang menentukan. Dengan Makan Kita Sehari-hari Ilya Ehrenburg menjelaskan proses perekonomian modern, kebiadaban kapitalisme, dengan sesuatu maksud yang pembacanya boleh menangkap atau berpendapat masing-masing. Disamping itu pun buku itu merupakan suatu pernyataan betapa manusia hanya boneka-boneka yang tak berjiwa yang harus turut memainkan proses perekonomian, kehilangan kepribadian dan kegiatan sendiri. Dan adakah ini pernyataan dari penghukuman terhadap kapitalisme atau pembunuhan pribadi manusia, tergantung benar pada tangkapan pembaca masing-masing. Tetapi dilihat dari pencapaian maksud yang terdekat, buku tersebut kuasa mencerminkan masa dan lingkungan serta perhatian pengarangnya. Demikianlah maka antara alat dan maksud penciptaannya terbentang suatu problem. Dan problem ini, pembacanya berhak memecahkan.

Mencipta atau bekerja saja belumlah cukup dalam hidup manusia bila maksud yang dituju itu tak disadarinya. Kesadaran ini perlu. Dengan tiada ini seseorang pengarang gampang terjatuh pada kesewenang-wenangan dalam menentukan atau mengenali nilai-nilai. Juga ia akan gampang terjatuh pada pengiaan tafsiran-tafsiran yang silang-melintang datang padanya. Akhirnya ini akan menggampangkan ia kehilangan diri, terdorong kian-kemari dan jadi pabrik yang cuma bisa berputar dan menghasilkan belaka. Ini membuat ia jadi pekerja yang instinktif dan banyak kala jauh dari rasional. Suatu nilai kesusastraan yang mungkin diperolehnya membingungkan diri dan arah serta tujuan selanjutnya yang harus ditempuh. Sedang dalam kenyataannya hasil kesusastraan yang bernilai tidaklah begitu gampang dapat dicapai sebagai yang disangkakannya. Dan dengan tiada kesadaran akan maksud ini, gampang sekali seseorang pengarang menghasilkan tulisan mati yang berkisar-kisar pada kejadian belaka. Dan ini tiada jauh berbeda dengan berita sehari-hari dalam koran.

Maksud dan tujuan dalam kesusastraan, yang biasa dinamai tendens, nyata tidak, besar-kecil, luas daerah atau kekerdilannya tergantung pada orang-orang yang mengarangnya. Tendens yang dangkal selamanya diteriakkan keras-keras dalam kesusastraan. Tetapi yang dalam-luas-besar terkandung dalam tiap kalimat dengan tiada perlu berteriak dan cukup hanya dengan meyakinkan. Tendens yang besar ini tak ubahnya keadaannya dengan nafas untuk orang hidup dengan tak usah orang itu berteriak-teriak bahwa ia bernafas.

Biasanya faktor-faktor etik dan politik memainkan peranan penting dalam hasil-hasil kesusastraan yang dangkal. Dan tak dapat dilupakan ialah faktor-faktor erotis. Daerah kesusastraan melingkupi seluruh lapangan hidup dan kehidupan. Suatu operasi yang tertentu di sudut sempit dalam daerah yang maha luas itulah yang menelurkan segala macam kedangkalan ini. Dan di daerah-daerah dimana faktor-faktor politik menentukan, tak jarang apa yang dinamakan kesusastraan itu campur-aduk dan merupakan bahan gubal antara sastra, propaganda, antipati terhadap politik tertentu, dengan melupakan kemungkinan-kemungkinan lain. Dalam hal ini kesusastraan yang sesungguhnya dikorbankan oleh dan untuk politik. Kesusastraan demikian adalah kesusastraan propaganda yang belum lagi patut mendapat nama kesusastraan.

Kemudian di daerah dimana etik berkuasa, hanya etik yang dianggap kebenaran, hasil-hasil kesusastraan kerdil akan merupakan buku nasihat dimana tiap lembar orang diberi ajaran apa yang harus dan tidak boleh dikerjakan. Dalam keadaan seperti ini kesusastraan bukan lagi merupakan alat untuk mencapai tujuan tertentu dari manusia, tetapi ialah yang diperalat buat tunduk pada sesuatu. Pengarang dalam keadaan seperti ini kehilangan diri dan visinya sendiri disimpannya di kantong celananya. Ia jadi permainan dan digerakkan oleh faktor-faktor yang kuat di luar dirinya. Dan bila faktor-faktor demikian lenyap, hasil kesusastraan seperti itu turut lenyap pula.

Semua itu lain halnya bila memang sejalan dengan keyakinan pengarang, dan penciptaan itu merupakan keharusan padanya yang harus dilahirkan. Bila demikian tentu saja ia punya efek yang berlainan pula.

Kesusastraan adalah perwujudan yang tertentu dari kegiatan rohani manusia. Dan dalam hidup manusia ini ada banyak sekali perwujudan itu. Batas antara perwujudan yang satu dengan yang lain kadang-kadang tidak begitu jelas. Karena itu bukan barang yang mengherankan bila dalam sejarah kuno orang dapat mengenal sejarah yang campur baur dengan tahayul serta dituliskan dalam bahasa bersanjak atau prosa. Biasa orang menamainya babad. Dan tahayul ini adalah tahayul yang harus dipercaya dan bukan yang harus dikenal sebagai obyek. Menurut Dr. Pigeaud pandangan sejarah berhubungan sangat erat dengan pandangan hidup sesuatu bangsa. Dan pandangan kesusastraan tiadalah jauh berbeda dengannya. Batas-batas antara perwujudan dari kegiatan rohani yang satu dengan yang lain ini hanya bisa dikenali dengan ketajaman perasaan dan pemikiran. Batas-batas yang kabur ini pula membuat seseorang pengarang kadang-kadang berpindah perwujudan ke politik, ke filsafat, ke film, dan sebagainya —dengan dasar dan visi yang sama.

Batas-batas yang kabur ini pula yang merubah Mussolini dari romansir yang romantik ke gelanggang politik, dengan nafsu, semangat, kepastian dan harapan yang sama. Sebagian dari pemimpin-pemimpin besar Tiongkok Mao Tse-tung adalah pengarang, bahkan Mao Tse-tung sendiri masih tetap mengarang di waktu senggangnya. Demikian pula halnya dengan deputy premier Kuo Moyo, Mao Dun ataupun Zhou Yang. Perpindahan ini banyak kala disebabkan karena perwujudan kesusastraan tidak memberi banyak kemungkinan padanya, dan dengan sendirinya orang mengambil alat lain untuk mencapai maksudnya.

Perpindahan itu tak ubahnya dengan ganti pisau dengan golok untuk membelah kayu dalam hidup sehari-hari, atau dari golok ke gergaji, ataupun dari gergaji ke pisau untuk menyayat daging.

Disamping kesusastraan sebagai alat, orang pun kenal akan kesusastraan yang diperalat, tak ubahnya dengan gergaji yang dipergunakan untuk menyayat daging, diharuskan dan direncanakan. Pada dasarnya yang diperalat ini bukanlah kesusastraannya, tetapi pengarang yang diperalat, karena kesusastraan hanya dimungkinkan oleh adanya pengarang. Dan kesusastraan yang diperalat ini gampang orang kenali dari teriakan dan semboyan-semboyan yang jadi mode pada waktunya. Dan tiada jarang terjadi dengan tiada sadarnya orang memperkudakan diri jadi alat sesuatu, karena terlampau silau matanya oleh sukses yang murah. Sesungguhnya tidak satu faktor saja yang memungkinkan terjadinya kesusastraan yang diperalat. Banyak! Tetapi biasanya yang jadi pokok-pangkal ialah tak adanya konsekuensi antara cita, keyakinan, dan keadaan hidup sebagai mahluk dari darah dan daging.

Dalam lapangan keagamaan, dimana orang dengan penuh khidmat bersujud pada Tuhannya, kesenian umumnya diberi bernafas keagamaan. Malah dapat dikatakan, bahwa kesenian di zaman yang lalu adalah alat yang langsung untuk menyembah dan mengagungkan Tuhannya. Sisa-sisa dari seni sebagai bagian dari kultus dan yang telah terpental dari agama itu masih dapat orang kenali dalam bentuk-bentuk reog, kuda lumping (penyembahan pada Dewi Durga), wayang, dan yang masih terikat misalnya menyanyikan ayat-ayat kitab suci. Tantu-tantu dalam sejarah Jawa-Hindu adalah dikerjakan oleh kesusastraan dalam hal itu. Dan besar-kecilnya hasil seni itu dipandang dari jurusan seni terikat benar pada semangat dan keyakinan si pencipta pada masanya. Selamanya ciptaan yang berseni akan tetap hidup sekalipun orang (pencipta) atau agamanya telah lenyap. Ini dapat dibuktikan dari candi-candi dengan bangunan dan pahatannya, dengan kesusastraannya yang terus kuasa memberi haruan murni pada pembacanya, pada musiknya yang tetap terus, mistis dan sebagainya.

Keadaan seperti itu terjadi juga dalam sejarah dunia Barat di Zaman Pertengahan, kesenian berpusat dan diperuntukkan gereja.

Dalam zaman modern ini, kesusastraan dan kesenian pada umumnya punya fungsi yang tercerai dari sesuatu kemestian. Ia jadi hak tiap individu untuk mengolah, menikmati dan menggerakkannya. Dan hasil kesusastraan yang dibuat melalui cetakan yang dipaksakan padanya sedikit-banyak melumpuhkan pribadi pencipta sebagai individu. Kostis Palamas, seorang perintis puisi modern Yunani, berpendapat bahwa kesenian disediakan untuk mereka yang mengerti. Dan kesusastraan sebagai cabang dari kesenian tidak luput dari pendapatnya itu. Mereka yang tidak mengerti harus mencoba mengerti. Dengan cetakan orang dipaksa membuat pakaian dengan ukuran-ukuran yang telah ditentukan menurut contoh. Orang demikian bukan lagi mencipta tetapi menukang. Dan kesusastraan bukan lagi jadi perwujudan jalan untuk mencurahkan perasaan dan pemikiran, tetapi jadi alat buat menundukkan orang untuk jadi pengikut sesuatu yang patuh.

Hasil-hasil kesusastraan yang diperalat ini dapat orang dapati kembali dalam sekian majalah, harian atau buku yang diterbitkan dalam masa pendudukan Jepang. Juga dalam kesusastraan Jawa Baru (kesusastraan yang mulai mencium Barat) yang banyak kala menyanyikan kebesaran pegawai pemerintah dengan bupati sebagai puncak cita yang setinggi-tingginya.

Kesusastraan yang benar-benar diperalat atau dimobilisasikan dengan perkataan yang lebih baik mendapat bentuknya yang tegas dalam kata-kata Mao Tse-tung dalam Konferensi Pengarang dan Artis Seluruh Tiongkok beberapa waktu yang lalu: “…literature and art should serve people, especially the workers, peasants, and soldiers.” Dan kalau mengingat bahwa Mao Tse-tung adalah seorang yang berkuasa di suatu daerah tertentu, dapat orang berseru: Alanglah sempit batas-batas yang menentukan daerah kesusastraan itu. Sempit buat seorang pengarang yang menghendaki daerah yang lebih luas daripada itu. Tidak sempit buat pengarang dan seniman yang daerahnya cuma sampai disitu. Kesusastraan yang harus melayani masyarakat, tidak bedanya dengan pelayan di restoran yang harus memuaskan pelanggannya. Tentu ini bertentangan dengan pendapat Kostis Palamas. Kesusastraan demikian tidak terletak di atas masyarakat dan menariknya sekali, tetapi ada di tempat yang lebih bawah atau sebanyak-banyaknya sama dengan tingkatan masyarakat. Ini adalah kesusastraan yang boleh dinikmati sambil makan-angin: Kenikmatan yang murah. Dengan kata-kata yang lebih sopan: Ini adalah semacam kesusastraan yang dimabok planning. Kebebasan kesusastraan sebagai kemutlakan seseorang pengarang untuk mencapai tujuannya berganti jadi perbudakan kesusastraan demi kepentingan politik. Titik tujuan telah diletakkan oleh seorang tertentu (atau badan) di suatu tempat yang tertentu dan seperti kuda pacuan pengarang-pengarang harus lari menuju ke situ. Tentu saja ini membahayakan hakikat penciptaan sebagai keharusan pribadi dan keharusan budi.

Mana yang baik antara kesusastraan sebagai alat dan kesusastraan yang diperalat, tidak bisa dipergunakan ukuran-ukuran yang telah sedia untuk menentukannya. Kedua-duanya punya kebaikan dan keburukannya. Yang pertama kuasa memelihara kejujuran cipta dan yang kedua membunuh kemungkinan timbulnya dekadensi cipta yang membahayakan pergaulan masyarakat. Dan di daerah kesusastraan sebagai alat dan yang diperalat terdapat jenisnya masing-masing yang betul-betul melahirkan suatu hasil seni. Kejenian ini tidaklah dilahirkan oleh politik atau ekonomi. Sama sekali tidak. Juga tidak oleh faktor-faktor lain di luar dirinya. Seorang Thucydides misalnya, dalam menghadapi hukuman mati dan penyitaan seluruh harta benda oleh pemerintah karena sebagai strateeg Athena telah gagal dalam menangkis bala tentara musuh, pada tahun 423 sebelum Isa, dalam penjara menunggu kematiannya telah kuasa menciptakan dasar-dasar baru buat penulisan sejarah yang kritis dan yang hingga kini terus dipergunakan orang. Ini adalah pekerjaan jeni. Seorang Napoleon tidaklah dilahirkan karena keturunan atau karena ia seorang Napoleon, ataupun karena nasib baik belaka. Tidak! Tetapi jeni-jeni itu mencapai tujuannya dengan adanya kesanggupan dan kekuasaan mengatasi keraguan dan kebimbangan masa. Demikian juga halnya dengan seorang Sokrates, Muhammad ataupun Isa. Dan tiap orang, bila tak punya kesanggupan dan kekuatan untuk mengatasinya tinggal tetap jadi permainan kekuatan-kekuatan yang ada di luar dirinya. Dan Kesusastraan bukanlah sesuatu yang luar biasa seperti setan atau jin ataupun Tuhan. Ia barang biasa yang dilahirkan oleh adanya berpikir mencipta.

Luas atau sempitnya budi seseorang pengarang, menentukan pula rendah atau tinggi tujuan yang hendak dicapainya, serta tepat tidaknya pengambilan dan mempergunakan alat untuk pencapaian itu yakni kesusastraan itu.