Sumber: Nasional, Tahun III, No. 13, 29 Maret 1952, hlm. 18.
Lama-lama kesal juga rasanya, kesal, muak! Tadi begitu pula. Tanyanya: “Bung mondar-mandir di Sumatera baru-baru ini, oleh-oleh perjalanannya apa ‘cultureel rendement’ untuk musik nasional kita?” Jawabku, “Eh, Pek! Berabe! Kok musik belaga nasional; ayo, mau berapa kilo…?” Dan jika ditanyakan apa yang dimaksudnya dengan musik nasional, kok lantas of bungkam, of jawabnya tidak berujung pangkal.
Sekali temanku itu pernah mengatakan aku tak ada kesadaran sejarah, historisch besef. Pada pendapatnya mataku belum juga terbuka, belum melek-melek juga. Kalau dia memang dari Stutterheim ke Stutterheim, itu-itu melulu… seolah-olah buku Stutterheim satu-satunya buku di kolong langit ini.
Baiklah kukemukakan bagaimana pendapatku met atau sonder “historisch besef”. Sejarah peradaban benua Eropa mengandung ajaran padaku, bahwa tiap kebudayaan —yang mana saja— pada hakekatnya kebudayaan nasional. Artinya, kian dalam mendalam suatu kebudayaan berurat-berakar dalam kehidupan bangsa, hasil seninya semakin internasional. Ini bukan abrakadabra; bukan pula suatu pertentangan. Bukanlah dalam tiap kebudayaan nasional yang sungguh dalam mendalam terdapat kejiwaan, kejiwaan yang spiritual dan kejiwaan yang mental? Dalam pada itu sifatnya senantiasa universal.
Dari masa ke masa kebudayaan beralih, in transitie, berganti, seperti cermin berganti. Yang dicerminkannya ialah kehidupan bangsa. Para seniman pun bercermin. Disanalah para pujangga dan pengarang menemui pula corak ciptaannya. Dan lagi, tiap ciptaan yang hidup montok-segar ternyata pula memperkaya hidup manusia, membuktikan hidup umat-umat manusia tidak sia-sia tidak zinloog.
Peralihan kebudayaan dari masa ke masa tadi itu, ada naiknya, tentu ada turunnya, menggunung dan lembah, mengombak tinggi dan rendah. Masa kemajuannya ada, masa kemundurannya ada. Ada faktor-faktor luar, ada faktor-faktor dalam. Tetapi senantiasa keadaan masyarakat itu mencerminkan keadaan bersatu-mempersatukan, selain dari yang tentang-menentang. Mirip pada keadaan kita sekarang, sampai-sampai ketegangan-ketegangan politik pun ikut serta memberi jurusan bagi hidupnya kebudayaan nasional.
Mari kita bawakan persoalannya ke lapangan musik!
Dari kebudayaan Eropa tadi, salah satu seginya adalah peradaban musik. Nampak tegas sepanjang seluruh sejarahnya ada dua arus aliran. Dua yang mengalir dari erklusif satu sumber tertentu. Satu arus ialah arus musik rakyat (volksmuziek), musik negeri (bukan musik populer, bukan modemuzieken). Arus yang satu lagi ialah arus musik seni. Jadi satu volksmuziek, satu kunstmuziek, tapi kedua-duanya mendatangi satu sama lain.
Musik rakyat itu tampak sebagai ungkapan, sebagai suatu penjelmaan, suatu pengucapan dari instinkt kolektif, suatu manifestasi. Dari masa ke masa ia tumbuh, tumbuh lagi, berkembang, berkembang lagi. Anehnya, kok tak ada perubahan apa-apa, artinya hampir tak ada. Asal mulanya, pokok pangkalnya entah dimana, kabur menghilang dimamah purba, dimana yang jauh sekali.
Musik seni Eropa tak lain juga daripada hasil pertumbuhan pula; tetapi dari peradaban Kristen, tumbuh dan tumbuh lagi dari Protestants Koraal. Lagi pula sebagai individueel, ciptaan orang-seorang, komponis tentu, seorang seniman seperti para pujangga dan pengarang yang juga mencerminkan peralihan hidup kebudayaan. Dan walaupun langsung terpengaruh juga oleh musik rakyat seperti dikatakan di atas toh jurusannya tersendiri.
Akan tetapi menyendiri sekalipun jurusannya, jurusan pertumbuhannya, musik seni itu selalu pula menunjukkan dengan tegas besar terpengaruh oleh musik rakyat. Rupanya bagaikan sungai juga, mengalir turun dari pegunungan, tempo-tempo tersembunyi dibawah-bawah batu besar. Pendek kata pada aneka macam corak dan jenis nampak tegas pengaruh musik rakyat pada musik seni; aneka macam stijl atau gaya musikal dipelbagai abad dan masa. Lalu segera seketika dengan langsung, dengan terang-terangan, dengan sengaja arus musik rakyat membanjiri dan menggenangi lapangan musik seni, maka hasilnya, hasilnya ialah kemajuan kebudayaan musik nasional, kemajuan yang memperkaya atau ucapan musikal.
Dalam masa demikian terciptalah bentuk-bentuk yang baru, kolorit-kolorit baru. Bergeraklah maju pertumbuhan dan perkembangan yang baru-baru. Lalu masyarakat bagaimana?
Keadaan perkembangan tadi itu sendiri, sejalan pula bersama-sama dengan kehendak ataupun tuntutan masyarakat, yang meminta corak-corak yang baru pula dalam ekspresi. Ditentukannya pula peralihannya kemana, pertumbuhan musiknya ke jurusan mana.
Satu lagi pengajaran dari orientasi sejarah peradaban musik benua Eropa ialah, bahwa dari masa ke masa ada tegas nampak pergeseran besar dari Barat ke Timur. Kira-kira tahun 1850, dengan Glinka dan Dargomyzhsky di Rusia Nampak suatu pertumbuhan dan perkembangan seperti di abad ke 16 dan ke 11 di Eropa barat. Tiba-tiba saja musik rakyat yang segar-bugar membanjiri lapangan musik seni: musik dan nyanyian petani “boerenliederen” dan “boerendansen”. Musik rakyat itu menciptakan kegiatan musikal yang sangat intensif, lagi pula berkualitas tinggi-tinggi. Angkatan “lima serangkai” di Rusia, Rimsky-Korsakov di abad yang lalu menunjukkan aktivitas yang sama dengan yang terjadi 300 tahun sebelumnya di Eropa Barat: “Ars Nova” yang dalam teknik dan kegayaan stijlnya menunjukkan persamaan yang mirip sekali. Pendek kata musik Eropa Barat di Rusia mengajarkan cara, menunjukkan jalan. Musik Eropa Barat memberi contoh-contoh dari pengalaman yang kaya, contoh bagaimana mempergunakan bahan volksmuziek, memakai musik rakyat sebagai sumber ilham di lapangan seni musik. Masyarakat pun tidak mau ketinggalan sebagai publik, pendengar. Lapisan masyarakat tengah pun ikut serta. Mereka menerima musik ciptaan Angkatan “lima serangkai” itu, ciptaan musik nasional yang bersumber pada musik rakyat yang kaya dan tak kunjung kering.
… Di Indonesia bagaimana?
Stutterheim berkata (mengaku saya kali ini!), nusantara kita ini, malahan sampai-sampai Hawai dan Madagaskar, satu daerah kebudayaan, satu cultuurgebled. Kebudayaannya sama saja. Berabenya cuma ada lautan memisah-misah pulau-pulaunya, jadi yang sudah bersatu pangkal-pokok lantas satu sama lain perkembangannya terpisah-pisah, sampai Wong Solo dengar gondang Balige tidak lantas mengerti 100%, kawanua dari Manado dengar musik Mang Toteng, yah belajar dulu! Tapi rebab di Andalas, di Jawa maupun Bali, yah sama. Kendangnya, sama juga. Sulingnya, serunainya, juga! Dari zaman dulu sudah unitaristis! Lantas musik nasional kita bagaimana? Darimana turunnya lintah? Dari sawah turun ke kali. Turunnya musik nasional? … Any how, tidak dari pentolan-pentolan politik, tidak dari para jurist atau medicus, apalagi tidak dari gembong-gembong kebudayaan resmi kini!