Sumber: Pemandangan, Tahun X, No. 73, 4 April 1942, hlm. 3.
Meskipun pada pertemuan yang diadakan oleh Barisan Propaganda Nippon pada petang Jumat tanggal 27 Maret 1942 belum jelas nampaknya garis-garis besar dengan cara bagaimana akan dicapainya pembangunan kebudayaan Asia Raya, tetapi sebagai pertemuan belajar kenal dan tinjau-meninjau perasaan, pertemuan ini patut disambut dengan segala kegirangan. Kalau benar dugaan dan keyakinan yang berhadir pada malam itu, maka petang Jumat itu boleh dicatat dengan tinta air mas dalam riwayat kebudayaan kita, sebab untuk pertama kali diadakan pertemuan yang bersifat demikian dalam riwayat. Riwayat kita mengenal juga bermacam-macam pertemuan dan pertukaran pikiran tentang kebudayaan dan kesenian antara dua bangsa dalam zaman yang silam, tetapi sifatnya hanyalah semata-mata hendak meninjau dan mengenal kebatinan rakyat lebih dalam untuk mengatur sepakterjang dengan secara lebih halus. Sedangkan Nippon mengakui dirinya sebagai saudara yang lebih tua, memimpin Indonesia membangunkan kebudayaan sebagai alat senjata memperkokoh benteng kebatinan “Asia Raya”. Inilah perbedaannya.
Tepat benar bila kebudayaan dan kesenian rakyat itu ditempatkan di tempat yang paling tinggi dalam ikhtiar hendak mengatur kebatinan rakyat. Membuka mata rakyat, menjadikan ia insaf terhadap kesucian dan ketinggian bangsanya sendiri dan bangsa sekelilingnya yang sewarna dengan dia. Inilah gerangan tujuan kebudayaan Asia Raya. Dan kalau benar dugaan ini, Indonesia dari segala golongan akan menyediakan tenaganya mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia itu.
Tetapi, semakin besar dan semakin tinggi cita-cita itu, daya upaya akan mencapainya akan semakin berat pula. Indonesia dinihari seakan-akan bermimpi, kemudian bangun dari pada tidur yang sangat pulas dan ia merasakan dirinya sangat lelah, maklumlah bangun dari pada tidur karena obat bius yang tiada dikehendakinya. Dalam keadaan semacam itu seketika lamanya seloyongan sampai kepada saat ia segar kembali untuk mengetahui bahwa waktu yang telah lewat, selama ia tidur itu, telah silam dengan tiada dipergunakan, padahal banyak pekerjaan besar yang boleh dikerjakannya, kalau… ia tidak tidur tadinya! Kemudian terpaksa ia menyusun kembali tenaganya hendak mengejar waktu yang lewat itu.
Dalam zaman pancaroba ini kita harus mengenal diri sendiri, harus berani mencela diri sendiri, agar supaya mendapatkan pemandangan yang sehat ke waktu yang depan yang kita hadapi. Dengan membusungkan dada, memuji diri dan meninggikan derajat yang tidak harus, kita tidak akan mendapat pemandangan yang sehat, kita tidak akan dapat mengatur dan menyesuaikan diri pada perlombaan yang sangat cepat.
Indonesia bukan tidak mempunyai kebudayaan, tetapi keadaan kita dalam waktu yang silam tidak memberi kita kesempatan akan mengenalnya, karena waktu itu kebudayaan asing yang disodorkan kepada kita, meskipun batin kita tidak menerimanya. Tetapi lama kelamaan, karena terpaksa, tumbuh juga rasa kebudayaan asing itu dalam tubuh kita berdikit-dikit, tetapi hasilnya mengingatkan kepada suatu kejadian yang sebenarnya terjadi di Puncak pada sedikit waktu yang lalu.
Saya melihat beberapa pohon apel di pekarangan satu rumah. Karena sangat ingin mengetahui apakah apel yang ditanam di negeri kita sama rasanya dengan apel di luar negeri, saya bermohon pada yang punya rumah supaya diberi sebuah. Pada taksiran saya apel hijau sebagai yang terdapat di Tiongkok misalnya akan sama rasanya dengan apel ini, tetapi sesudah sekali menggigit saya lemparkan buah itu, karena rasanya yang pahit…! Padahal kalau dilihat pada roman dan bentuknya tak ubahnya dengan apel yang didatangkan dari luar negeri.
Demikianlah hasil kebudayaan asing (Barat) yang ditanam di tubuh Timur. Melihat kepada gelagat, lagak langgamnya tak ubahnya sebagai juga cangkokan itu berhasil tetapi kalau diperiksa ke dalam-dalamnya, sari-sarinya tak terdapat, karena cangkokan itu ditanam di tanah yang berlainan. Sementara itu bukan tidak ada keinsafan kita kepada kebudayaan sendiri, kebudayaan Timur, tetapi ikhtiar membangunkannya mendapat pelbagai macam halangan, lahir dan batin. Halangan lahir kebanyakan dari kemiskinan rakyat yang tiada sanggup mengongkosi suatu propaganda yang luas, tetapi yang lebih dirasakan lagi yaitu halangan batin, karena amat sukar memerangi semangat yang sudah mabok karena hasil cangkokan sebagai tersebut di atas.
Ikhtiar membangunkan kebudayaan itu nampak pada beberapa perkumpulan di beberapa tempat di Indonesia, teristimewa dalam kalangan studen-studen kita tetapi karena halangan-halangan yang tersebut ikhtiar itu sebagai tumbuh tak megar, tiada mendapat hasil yang diingininya. Terasa, terkata tidak!
Sekarang kita hidup dalam zaman yang lain. Kalau benar dugaan kita, kebudayaan kita akan dapat berkembang di tanah yang subur dengan pimpinan Nippon.
Karena kita insaf akan kebesaran dan kemuliaannya cita-cita Asia Raya, maka kita berseru: Mulailah lebih dahulu dengan kebudayaan daerah. Inilah langkah yang pertama. Ajarilah lebih dahulu bangsa itu mengabdi kepada kebudayaannya sendiri dan sesudah itu haruslah matanya boleh ditujukan pada bangsa sekelilingnya, yang senasib dan sewarna dengan dia.
Kita tidak boleh melupakan bahwa dalam rumah tangga kita sendiri masih amat banyak yang harus kita perbaiki. Tonggak-tonggaknya bolong. Jadi kalau kita hendak membantu mendirikan kampung yang akan kelihatan aman dan sentosa, terlebih dahulu masing-masing memperbaiki rumahnya sendiri-sendiri dan kemudian baru kita berembuk bersama-sama, dibawah pimpinan kepala kampung bagaimana jalan raya, yaitu yang akan memperhubungkan kita satu sama lain, akan diperbaiki, bagaimana aliran air, untuk menjaga kesehatan penduduk seluruh kampung akan diatur dan sebagainya. Karena semua rumah-rumah kita itu dikemudian hari akan merupakan suatu kampung besar (Asia Raya) tentulah ada satu kepalanya yang akan menetapkan garis perumahan (rooilijn), bahan-bahannya supaya merupakan kampung yang rapi dan indah kokoh, tetapi sebaliknya cara menyusun rumah tangganya, menyusun perabot, kursi dan meja, haruslah dibiarkan kepada kesukaan masing-masing, sebab keadaan dalam rumah tangga menurut kehendak masing-masing itu tidaklah merusak kepada keamanan dan kerukunan kampung.
Kalau dikehendaki keamanan dan kesentosaan didalam satu kampung besar, maka haruslah terlebih dahulu diikhtiarkan supaya yang mendiami tiap-tiap rumah mendapat kesenangan dan kebebasan mengatur rumahnya sendiri menurut kehendaknya. Kalau rumah tangganya aman dan sentosa tentu ia berkesempatan memperlihatkan nasib sekampung, nasib tetangganya, tentu ia bersedia memberikan tenaganya untuk kepentingan bersama. Tetapi bilamana rumah tangganya kalut, penghidupan dalam rumahnya tidak selesai, tiadalah akan dapat diharapkan tenaganya bagi orang lain, karena sebagian dari waktunya akan terpakai untuk memperbaiki kekusutan rumah tangganya sendiri.
Ringkasnya pengharapan dan keyakinan kita, kebudayaan kita akan dibentuk sejak semula dalam kalangan sendiri dahulu, untuk kemudian hari dicarikan jalan, asal tidak bertentangan dengan azas bangsa, supaya dapat ditujukan kepada kebudayaan Asia Raya.
Salah satu jalan untuk memperdapat kebersihan ini menurut keyakinan kita, ialah dengan lebih dahulu mendirikan suatu badan tempat berhimpunnya ahli-ahli kebudayaan dan kesenian kita, dimana soal-soal yang akan menjadi alat perkakas dipelajari dan didalami oleh ahlinya masing-masing menurut garis besar. Jadi maksud kita semacam kunstkring.
Dalam karangan yang lain, kita harap akan mendapat kesempatan membeberkan maksud kunstkring lebih jauh.