BAGAIMANA SEHARUSNYA SENI UNTUK RAKYAT DAN RAKYAT UNTUK SENI

Sekitar pameran “Bumi Tarung” di Balai Budaya, Jakarta

Sumber: Djaja, Tahun I, No. 39, 20 Oktober 1962, hlm 9.

Seni rupa mesti mendukung masyarakat dan masyarakat mesti mendukung seni. Itulah kerjasama dan bantuan timbal-balik yang wajar, berdasarkan seni untuk masyarakat dan kami tambahkan: masyarakat untuk seni. Sebab seni adalah perjuangan. Kedua pihak saling membutuhkan dan saling memperjuangkan, demi kemajuan kedua-duanya. Masyarakat memperjuangkan seni dengan menyediakan fasilitas seperti Akademi Kesenian, Galeri Seni, dengan aparatur dan alat-alat lainnya serta membukakan diri untuk bahan-bahan pengolahan. Seniman memperjuangkan masyarakat dengan kesanggupan menciptanya serta cita-citanya. Tanpa daya cipta ia tak akan berkembang sesungguhnya, tanpa daya cipta ia akan jadi seorang tukang yang mencari nafkah dengan ketukangannya. Dengan begitu ia akan hanya berpikir untuk diri sendiri saja, ia akan berpikir bagaimana menegakkan hidupnya sendiri saja bahkan bagaimana menjadi kaya untuk kemewahan dan “kemegahan” diri sendiri. Ia lupa bahwa daya cipta yang harus ia miliki dan diharapkan oleh rakyat dari padanya itu merupakan hutang budinya. Ia lupa bahwa ia harus berjuang. Dengan singkat: ia lupa akan fungsinya.

Sedangkan fungsi ini bukanlah kecil artinya. Selain untuk kemajuan, juga untuk kenikmatan dan pendidikan rohaniah bagi bangsanya. Dengan singkat: karya yang betul-betul karya seni adalah bermanfaat dan bertanggung jawab besar, dengan landasan berjuang bersama bangsanya yang sedang berkembang.

Seorang pelukis harus menghasilkan lukisan, artinya menghasilkan sesuatu yang berhak diberi nama lukisan. Disamping itu ia tentu boleh membuat poster dan handicraft, tapi ini harus dibedakan dari lukisan. Jangan sampai poster atau hasil kerajinan itu disuguhkan sebagai lukisan. Ini soal kejujuran dalam mencipta, soal kejujuran pula dalam menampilkan diri ke depan umum. Tanpa kejujuran ini, sadar atau tak sadar, ia akan melakukan kebohongan. Dengan sendirinya ini melesat jauh dari perjuangan yang hendak mengagungkan bangsanya sendiri.

Perjuangan adalah agung. Karena itu tak boleh disiapkan dan dijalankan dengan sembarangan. Seperti prajurit mesti sanggup menghantir senjatanya, maka pelukis mesti memahirkan diri lebih dulu dalam teknik, sebelum terjun ke gelanggang rakyat. Dan setelah itupun ia baru sampai ke ambang gerbang. Ia baru mulai dengan persoalannya. Baru harus melatih diri. Baru coba-coba melihat persoalannya. Dan masalah bagi seniman adalah serba bagai. Pada tingkat pertama sehabis berlatih keras bertahun-tahun ia sampai pada waktunya untuk memilih persoalan yang sesuai dengan cita-cita serta bakatnya. Misalnya ia mempersoalkan alam. Atau sebagian daripadanya: pemandangan alam atau bahkan sebatang pohon saja. Adapun ia mengarahkan perhatian kepada manusia. Harus diinsafi bahwa inilah yang paling rumit, sebab banyak lekuk-likunya lahir-batin. Masalah rohaniahnya luar biasa banyaknya, dilipatgandakan pula oleh jumlah situasi dimana manusia itu berada, oleh jumlah suasana dan jumlah perwatakan. Taruhlah bahwa si seniman mengkhususkan diri pada satu golongan, umpamanya golongan petani, untuk memberi batasan tertentu pada kegiatannya. Tapi masih belum sudah. Petani adalah manusia dengan segala masalah rohaniah dan materiilnya, dilatarbelakangi oleh macam-macam situasi, situasi kealaman di tempat kerjanya, situasi sosial yang yang meliputi lingkungannya, situasi suka-dukanya. Lantas ia mengambil sikap tertentu. Meskipun bagaimana sederhananya sikap dan angan-angan itu, namun dia tetap manusia. Dia bukan boneka. Menggambarkan dia sebagai boneka berarti melalaikan kemanusiaannya. Sebab dia bukan alat propanganda melulu yang boleh kita preteli kemanusiaannya. Dan kalau kita hendak membela dia serta nasibnya, gambarkan dia sebagai orang yang punya kehidupan serta cita-cita sendiri. Kehadiran kehidupannya mencerminkan bahwa dia paling sedikit sejajar dengan kita. Kehadiran cita-citanya mencerminkan kebebasannya sebagai manusia. Dalam sebuah lukisan, alat kevisualan itu, hal ini dapat tercapai dengan ekspresi wajah, ekspresi sikap tubuh, suasana lingkungan (latar belakang dan sebagainya) yang seharusnya mempunyai perpaduan kuat dan misalnya diisi dengan kepadatan rasa terharu, rasa percaya diri, harapan, bahkan suasana religius, bakat ajaran agama maupun berkat hidupnya serba dekat dengan alam yang lebih dimilikinya dari pada dimiliki orang kota. Ini semuanya unsur-unsur rohaniah yang dalam sebuah karya seni dapat diolah oleh pembuatnya menjadi isi muatan (lading) yang memancarkan daya cipta yang mendalam. Mendalam, sebab mengikuti lekuk-liku kehidupan si objek dengan kesayangan yang jujur, sebagaimana manusia menghadapi sesamanya. Dan tidak sebagai manusia yang menggunakan manusia lain sebagai objek propaganda mentah-mentah. Propaganda yang baik tentu tak ada salahnya, tapi karya yang punya isi propaganda melulu, jangan dinamakan lukisan, melainkan poster.

*

Adalah sikap yang terpuji, apabila kita dalam sebuah pameran mengupas persoalan-persoalan sosial dan hendak menunjukkan yang adil, meluruskan yang bengkok dalam hal-hal yang kita jumpai di masyarakat. Dan seniman yang mengambil ini sebagai tema, memang tak menyimpang dari fungsinya. Ia bahkan telah mengambil gagasan yang bagus. Tapi gagasan mesti didukung oleh pelaksanaan yang serius. Apa arti serius? Pertama: sadar sampai kemana ia punya kekuatan untuk menjelajahi apa yang hendak digarapnya. Kalau ia merasa belum punya teknik yang cukup, mahirkanlah diri lebih dulu dalam teknik, sebelum hendak mengupas sesuatu masalah dan sebelum berpameran.

Eksposisi Bumi Tarung dari 14 pelukis Yogyakarta ini, yang diadakan dari tanggal 13 hingga 20 Oktober 1962, menunjukkan kelemahan-kelemahan teknis yang menyolok. Garis-garisnya tak punya kekuatan, terdesak oleh pengisian bentuk yang dilingkunginya, padahal pengisian bentuk itu sendiri hanya seringan kapas. Hingga garis-garis lingkungan itu rasa-rasanya tiap saat dapat ditendang kian-kemari seperti karung kapas yang isinya tiada padat. Untuk pengisian bentuk pun dipakai warna-warna yang tidak saling mendampingi dengan harmonis, hingga kerap terpecah-pecah. Adalah khas bagi pelukis-pelukis dari Yogyakarta bahwa warna-warna mereka serasa tenggelam dalam kanvas. Padahal warna mestinya memancar keluar bagai sinar matahari yang menghidupkan dan memberi tenaga kepada seluruh ruang. Dan ruang pun mestinya tidak terasa seperti terbatas pada panjang lebar kanvas, melainkan seperti “ruang semesta”, terutama ruang semesta kebatinan. Kalau penguasaan ini tidak tercapai maka lukisan terasa kerdil, meskipun yang dipakai adalah kanvas sebesar etalasi toko.

Tingkat kedua bagi makna serius adalah menyelidiki dan mengupas segala hal yang bersangkutan dengan si objek, disini misalnya dengan penghidupan kaum petani. Dalam koleksi ini tak kentara bahwa penghidupan ini sudah dijelajahi, dijadikan sasaran studi oleh para pelukisnya. Hubungan antara entourage dan objek utama, misalnya kebun tebu dengan mercu-mercu pabrik gula dengan petaninya sendiri tiadalah nampak sebagai perpaduan yang berisi. Dramatisasi sama sekali tidak tercapai.

Dari mana harus kita dapatkan dramatisasi serta hubungan yang berpadu itu? Itulah dari tingkat ketiga dan tertinggi dalam pekerjaan serius: isi muatan rohaniah yang membimbing daya cipta dan sangat menentukan bagi baik buruknya sesuatu karya, rangsangan rohaniah dengan mana seorang pelukis mulai mengangkat pensilnya. Cukup kami uraikan diatas untuk mengambil kesimpulan bahwa rangsangan ini tak kami jumpai dalam pameran ini. Dan karena itu tak perlu kami bicarakan selukisan demi selukisan. Hanya untuk diketahui para pembaca kami tambahkan beberapa keterangan.

Nama-nama para pelukis adalah Amrus Natalsya, Caka Datuk, Djoko Pekik, Haryatno, Harmani, Issa Hasanda, Misbach Tamrin, Sabri Djamal, Suhadi, Surono, Ngajarbana Sembiring, Suharjiyo, Pujonadi, Sutopo, dan Sediyono. Surono dan Ng. Sembiring adalah dosen-dosen ASRI Yogyakarta, lain-lainnya siswa atau lulusan dari akademi tersebut. Kita kenal Amrus sebagai pematung yang lebih baik dari pada sebagai pelukis. Menghadapi ruang dua dimensi ia lebih tepat untuk melatih diri sebagai pembuat fresco. Issa Hasanda lebih tepat diberi tugas selaku karikaturis. Djoko Pekik sebenarnya dapat mengasyikkan dengan pelukisan secara dekoratif (sungguh pun tak begitu orisinal), tapi sayang warna-warnanya pun, seperti warna-warna dari kawan-kawannya, hilang dalam kanvas.

Bumi Tarung adalah lembaga seni rupa di Yogyakarta yang baru pertama kali ini mengadakan pameran. Lembaga ini adalah anggota LEKRA.