Sumber: Zenith, Tahun I, No. 12, Desember 1951, hlm. 706-713
Dalam usahanya hendak membentuk Akademi Kesenian, pemerintah haruslah sadar akan adanya persimpangan jalan dalam kehidupan kebudayaan kita, yang dalam prakteknya berarti memilih antara yang kesatu atau yang kedua: mendidik vakman-vakman atau membentuk pribadi? Dengan lain perkataan: suruh murid menghafal pelajaran ataukah menyalurkan jiwanya dalam menjalankan gerak hidup dengan menghadapi alam serta keadaan sekitarnya?
Soal ini sepintas lalu mungkin sekali dianggap enteng, mungkin mudah disetujui dengan tiada disadarkan oleh yang menyetujui itu sampai kemana perginya yang sejauh-jauhnya. Sedikit-dikitnya harus didengarkan pendapat beberapa seniman serta psikolog dan sosiolog yang benar-benar telah hidup dalam lapangannya dengan hati yang jujur serta ketubian (towijding), dan bukannya cacing-cacing buku belaka.
Status kita sekarang dalam barisan cerdik-pandai ialah bahwa Indonesia sebagian besar mempunyai kaum akademisi yang mengkonservir dan bukan yang mengkreasi. Mengkonservir berarti menghafal dan mengoper kepandaian yang didapatnya dalam pelajarannya dahulu khusus untuk mendapat kedudukan di dalam masyarakat dengan diploma-diplomanya, sedangkan yang kita kehendaki ialah kaum pionir di lapangannya masing-masing, penuh ketubian untuk mengabdi kepada ilmu serta perikemanusiaan. Justru tiap-tiap saat dari pekerjaan pionir adalah pekerjaan kreatif karena ada gerak hidup, sedangkan tiap-tiap pekerjaan mengkonservir besar sekali bahannya akan menjadi tergenang, menjadi pekerjaan mengulang-ulangi saja dan karena itu tiadalah gerak hidupnya.
Adalah menyedihkan bahwa dari kaum sarjana kita belum ada standaardwerken. Terbukti pula bahwa dari kaum akademisi atau yang berdiploma M.O. tak ada yang menjadi seniman, kecintaan untuk melukis serta menghargai lukisannya boleh dikatakan dianggap hina oleh akademisi yang hanya bertujuan menjadi amtenar tinggi.
Kita harus mengubah keadaan masyarakat, dimana orang hanya menyembah kepada diploma dan akademikus, dengan menganggap seni hasil-hasil pionir yang tiada berijazah, meskipun dia sebagai pencipta telah nyata-nyata menghasilkan buah-buah kerjanya yang gilang-gemilang. Kita harus mengubah sikap hendak menjiplak peraturan-peraturan dan mata-mata pelajaran dari luar negeri saja untuk sekolah-sekolah kita. Kita harus sadar, sampai kemana tanggungjawab kita kepada calon-calon murid kita. Jangan sampai murid-murid itu mewarisi kesalahan-kesalahan pendidikan yang dialami oleh kaum bapak itu. Janganlah diberi kesan pada mereka bahwa hanya diploma yang berharga. Jangan diberi contoh bahwa tujuan hidup adalah merebut kedudukan enak dengan diploma itu. Jangan jadikan mereka cacing-cacing buku yang mengira bahwa kesenian bisa dicapai dengan menghafal pelajaran saja, seperti menghafal sejarah dunia di sekolahan Mulo, seperti menghafal hukum-hukum komposisi perspektif, tarik garis lempang, dan sebagainya. Tapi sebaliknya: berilah pelajaran kepada mereka supaya tahu membentuk pribadinya sendiri. Pada waktu yang tertentu suruhlah mereka keluar dari dinding-dinding sekolah untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Tanamkanlah keinsyafan bahwa kehidupan itu 1001 macamnya dan 1001 masalah-masalahnya. Hadapkan mereka kepada masalah-masalah kehidupan itu, sebab disitulah mereka diuji, adakah hati dan jiwanya bisa bergerak terus dan tiada steril. Sebab pertukaran pikiran tentang masalah-masalah kehidupan tadi seringkali lebih berguna untuk pembentuk pribadi daripada pelajaran teknis dari guru-guru yang steril. Pendek kata: mereka hendaknya bisa mengambil sikap yang jujur dan bebas dalam kehidupan terhadap alam dan masyarakat. Mereka harus bisa menangkap gerak hidup yang bergetar diluar akademi, yang bergetar di tengah-tengah bangsanya sendiri, di buminya sendiri, di laut dan di langit. Baru dengan demikianlah mereka ada harapannya akan menjadi orang yang berpribadi, ialah syarat mutlak untuk menjadi seniman sejati.
Terserahlah sekarang kepada kita untuk memilih jalan yang benar dalam persimpangan jalan ini. Dasar yang benar disini harus dipertanggungjawabkan kepada murid-murid yang menyerahkan kepercayaannya kepada kita nanti. Tanggung jawab berarti menghidupkan daya kreatif dan bukan mematikannya. Karena sistem yang lama telah ternyata mematikan daya kreatif itu, maka kita harus mencari dasar-dasar pendidikan yang baru.
Sekedar contoh telah saya berikan tadi. Dari kalangan akademisi tak pernah ada dilahirkan seniman yang berarti. Oleh mereka dan oleh pelajar-pelajar menengah dan tinggi pada umumnya pekerjaan melukis dan membuat seni lainnya dianggap pekerjaan rendah. Kecintaan mereka kepada menyanyi, kepada main sandiwara, dan lain-lain boleh dikatakan tak ada. Hampir semua ingin menjadi politikus dan amtenar-amtenar. Keinginan untuk kreasi bebas yang menjadi pokok-pangkal untuk kebudayaan baru itu payah sekali kita mencari. Bahkan kenyataan yang sederhana untuk kreasi bebas, ialah soal mempunyai hobi-hobi, yang banyak kita temukan di negeri-negeri lain itu, hampir pula tak ada di negeri kita. Yang ada kesukaan untuk itu adalah justru anak-anak kita yang masih kecil. Misalnya mereka suka menyanyi, suka mendalang. Tapi sayang sekali mereka tak dapat penghargaan serta bimbingan yang sewajarnya yang perlu untuk mengembangkan bakat. Sehingga mereka hanya tiba pada status meniru-niru saja, ialah memakai patokan-patokan yang telah tersedia dan tidak melanjutkan fantasinya sendiri.
Apakah akibat dari kenyataan-kenyataan ini? Ialah bahwa mulai dari taman kanak-kanak sampai ke akademi ada suatu cultureel vacuum, dalam arti kata tidak adanya kesanggupan untuk menjalankan kreasi bebas. Kreasi bebas dalam arti kata menghasilkan sesuatu yang bernilai dan yang baru.
Cultureel vacuum terjadi karena berabad-abad lamanya kita hanya pandai mengkonservir saja dari hasil-hasil nenek moyang kita dan dari hasil-hasil luar negeri. Dengan perkataan lain: kita sampai sekarang terlalu banyak mendukung kebudayaan dan terlalu sedikit membangun kebudayaan.
Membangun kebudayaan berarti secara kritis, yaitu waspada terhadap situasi, menjalankan gerak hidup tadi yang menjadi dasar usaha bagi tenaga kreatif. Dan ini melahirkan kaum pionir. Barulah bila ada pionir-pionir di tiap-tiap lapangan kebudayaan, maka terjadi kemajuan serempak, jadi tidak berat-sebelah seperti keadaannya sekarang. Dengan demikian maka soal mengisi kemerdekaan mempunyai arti sedalam-dalamnya. Keadaan sekarang menunjukkan bahwa kita baru mengisi kemerdekaan kita dalam hal politik dan tata negara saja serta dalam sedikit jumlah cabang-cabang kesenian. Baru di lapangan kebudayaan ini sajalah kemajuan kita semenjak 1945, atau menilik persamaan semangat jiwanya, semenjak 1908.
Berat sebelahnya perkembangan kita itu adalah warisan dari zaman-zaman lampau oleh tertutupnya banyak lapangan gerak hidup, disebabkan feodalisme serta penjajahan. Dengan sempitnya gerak hidup timbulnya sempitnya alam pikiran, misalnya dalam ketatanegaraan timbul priyayi-isme, dalam ilmu dan agama kijajischap, dan sebagainya. Meneruskan gerak hidup yang sempit itu, seperti masih banyak terjadi sekarang, berarti kegenangan, dan ini berarti pula kemunduran. Dalam kesenian hal ini terbukti oleh keinginan hendak berpegang pada tradisi-tradisi lama dan semangat mengkonservir tersebut diatas. Adalah membesarkan hati, bahwa ditengah-tengah alam pikiran yang tergenang itu oleh kekuatan semangat jiwa sejak 1908 adapula timbul gerak-gerak hidup yang menyegarkan, misalnya —kecuali politik— gerakan Taman Siswa, gerakan Pujangga Baru dan gerakan Persagi. Tentunya keadaan sekarang menghadapkan kita kepada situasi yang menghendaki kemajuan-kemajuan yang lebih lanjut.
Kami hendak meninjau soal-soal ini dari sudut gerakan seni lukis. Kalau perguruan tinggi betul-betul hendak membuahkan kristalisasi kemajuan negara serta pembimbing pemikiran rakyatnya, maka orang hendaknya dengan teliti membuka mata dan telinga hatinya, supaya menangkap intisari gerakan seni di dalam masyarakat kita.
Pertama-tama nampak pada kita bahwa seni lukis —bersama dengan seni sastra— adalah sebagian besar hasil-hasil dari angkatan muda. Ini disebabkan oleh lebih berkembangnya anasir-anasir pembaharuan dalam dada kaum muda. Terbentuknya pembaharuan itu ingin kami namakan usaha-usaha guna membentuk tradisi baru. Tentunya sesuatu tradisi baru memperoleh benih-benihnya dari corak penjiwaan manusia yang baru serta menjadi latar belakang yang kokoh bagi segenap perbuatannya. Latar belakang penjiwaan ini hendak kami uraikan dalam garis besarnya.
Sebagai tradisi lama nampaklah di medan seni rupa hasil-hasil seperti candi-candi, arca-arca, ukiran kayu, wayang dan sebagainya. Semuanya tergenang dalam konsepsi lama dibawah telapak kaki feodalisme, meskipun banyak yang bulat-bulat merupakan hasil seni. Zaman penjajahan kemudian merusak keseimbangan kebudayaan feodal. Struktur masyarakat mendapat perubahan berat-sebelah mementingkan keperluan penjajah, terutama di lapangan pendidikan, ekonomi serta kerohanian yang merupakan kekalutan dan senantiasa berbekas pada corak kehidupan seangkatan demi seangkatan. Cultureel vacuum seperti tersebut di atas merajalela, makin lama makin menjadi-jadi. Tekanan demikian memaksa orang menjadi tak berdaya, ataupun mencari kepuasan diri dalam pelarian yang sudah barang tentu membuahkan banyak hasil yang palsu. Contohnya: “seni” keroncong, “seni” sandiwara a la Pantjawarna, “seni” dangsa-dangsa, dan lain-lain. Membebaskan diri dari anasir-anasir impotensi serta pelarian ini sampai kini masih menjadi masalah berat. Menurut kami, hal ini tak dapat dilepaskan dari masalah kemerosotan (dekadensi) serta cultureel vacuum tadi, sehingga merupakan masalah kebudayaan yang totaliter. Ini berarti bahwa dekadensi, cultureel vacuum serta infiltrasi kebudayaan asing yang tidak diinginkan itu hanya dapat dilawan dengan memuaskan, jika seluruh alam pikiran rakyat kita sudah dialirkan ke arah progresivitet yang kita kehendaki.
Mentale omschakeling demikian itu menurut pendirian dari banyak sarjana kita hanyalah dapat dilakukan oleh bimbingan kaum intelek kita yang mesti menarik rakyat keatas tingkatan kebudayaan kaum elit. Menurut pendapat kami hal itu tak mungkin, justru karena ada cultureel vacuum tadi di sebagian terbesar intelligentsia kita. Yang bisa malahan sebaliknya; anasir-anasir yang bagus dari seluruh rakyat hendaknya berkesempatan untuk berkembang sebagai satu-satunya tenaga kreatif yang memberi anasir baru lagi sehat.
Dengan menghadapi omschakeling itu, dengan keinsyafan akan perlunya berpacu dengan zaman, maka mudahlah dipahamkan bahwa aliran-aliran kini bersimpang-siur dan banyak tak tertentu arahnya. Lain tidak, karena orang memeras otaknya untuk mencari pedoman sebagai titik-permulaan bagi tradisi baru. Dan pedoman ini hanya berpangkal dengan sehat pada gerak hidup yang disadarkan benar-benar.
Kembali mempersoalkan seni rupa, tibalah kami setelah tradisi lama tadi kepada Raden Saleh yang merupakan tokoh unik sebagai tokoh sebatang kara yang tidak berakar pada arus jalan masyarakatnya. Karena itu jauh lebih penting bagi kami gerakan Persagi (1937) yang merupakan saat Reveil. Kebangunan ini adalah salah satu eksponen dari kesadaran kebangsaan ± 1900 (tegasnya: 1908). Jikalau peristiwa Persagi itu baru diliputi oleh soal-soal kebangsaan dan kesadaran individu sebagai seniman, maka setelah 1945 lebih tegaslah hal itu ditambah dengan soal-soal kerakyatan dan kemasyarakatan yang tadinya masih samar-samar. Eksponen-eksponennya terdapat dalam perkumpulan-perkumpulan seperti Seniman Indonesia Muda (1946), Pelukis Rakjat (1947), dan lain-lain. Kemajuan zaman membalas dalam diri seniman-seniman kita dalam pengluasan pandangan hidup dan pengetahuannya (vertikal), pun juga dalam timbulnya tenaga-tenaga baru (horisontal).
Demikianlah sejarah singkat kesenian ini secara lahirnya. Kalau kita meneliti riwayat orang-orangnya, terlihatlah riwayat itu membenarkan ucapan kami, bahwa pembangunan segi kebudayaan ini pun berasal dari rakyat biasa, sebab bagian besar pelukis kita tidak termasuk golongan intelek, lebih-lebih tidak dari kaum akademisi dan pemilik akte M.O.
Kalau kita meninjau secara batinnya, nampaklah pertama-tama sebagai arus dasar yang kuat keinginan mereka hendak hidup benar-benar dalam keseniannya sebagai akibat sewajarnya dari pengambilan sikap hidup sebagai seniman. Arus ini kita dapati juga misalnya pada rakyat Bali, ialah suatu gerak hidup yang jarang sekali terjumpa kini di tanah air kita. Bedanya, rakyat Bali masih sangat terkekang oleh tradisi lama, sedangkan pelukis-pelukis kita telah memulai tradisi baru. Hal ini disebabkan karena di Bali tidak ada titik-permulaan baru sejak kebangunan-kebangunan dari 1937 dan 1945.
Reveil Revolusi itu menanam kesadaran akan hak-hak mutlak kemanusiaan, seperti hak mutlak untuk merdeka, hak untuk berpikir bebas, dan lain-lain. Angkatan muda mengalami pergolakan jiwa yang bertumpu pada tiga arus dasar, ialah gerakan melawan tekanan jiwa, melawan norma-norma lama serta melawan akhlak lama. Dibawa arus perjalanan sejarah yang cepat di tahun-tahun belakangan ini mereka dengan sadar atau tak sadar mengambil salah satu sikap: merusak yang lama-lama saja ataupun bersama itu juga melahirkan mutu-mutu baru. Dalam prakteknya mereka terdorong untuk mengambil sikap tertentu terhadap facet-facet kehidupan sehari-hari, yakni terhadap perhubungan dengan keluarga, dengan tetangga, dengan kebudayaan kuno, dengan kebudayaan daerah, dengan kebudayaan asing, dengan pendidikan Barat. Berkat reaksi-reaksi ini terlahirlah sikap dan pandangan hidup yang membentuk filsafat mereka. Adalah suatu keberanian misalnya, jika mereka yang tadinya memburuh untuk jaminan penghidupannya, tiba-tiba mengambil keputusan untuk menjadi seniman oleh dorongan kata hatinya, hal mana tidak sedikit pun memberi jaminan akan lepas dari kemiskinan. Dengan pandangan serta sikap baru itupun mereka tak luput dari konflik-konflik dengan keluarga dan orang-orang seagama, konflik dengan masyarakat serta rekan-rekannya sendiri sebagai pertentangan kehendak hati. Contoh-contoh ini mengemukakan sebab-musababnya, bagaimana seniman seringkali menjadi terpencil dari sesama manusianya, hal mana kadang memuncak sampai ke martelaarschap. Cukup untuk membuktikan bahwa filsafat mereka berakar pada jiwa dan tiada palsu, pun juga bahwa mereka sekali-kali bukannya terjangkit krisis akhlak, seperti yang diributkan orang sekarang. Yang nampak seolah-olah begitu ialah sikap hidup yang menentang tata susila lama yang tak sesuai dengan semangat zaman.
Sikap demikian adalah tak lain dari usaha mengejar kepuasan diri dalam menciptakan sesuatu. Sumber-sumber dari padanya ialah kekuatan intuisi. Dengan memeluk hak-hak mutlak bagi bangsa Indonesia (hak untuk merdeka dan lain-lain), maka intuisi berkembang biak melalui jalan cita-cita sampai ke perbuatan sebagai pancaran hidupnya. Kesemuanya berdasarkan arus besar untuk menyusun sejarah bangsanya sendiri atas pertanyaan: Orang Indonesia mau jadi apa? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus membuang apa-apa yang menghambat dari yang lama dan menambah apa-apa yang baru, ialah masalah jalan kebudayaan yang sekarang sedang aktual. Misalnya, apakah yang harus dibuang dari ilmu tasawuf, dari pendidikan Barat, dan apakah harus ditambah dari perbendaharaan pengetahuan Barat kita? Ini adalah beberapa pertanyaan yang harus dijawab pula oleh perguruan tinggi.
Dari uraian kami jelaslah kiranya bahwa pengalaman individu kreatif menjadi dasar mutlak bagi bangsa yang berbudaya. Pengaruh milieu (masyarakat) serta pengaruh kelompok (misalnya Pelukis Rakjat) membantu dia kearah kenasionalan. Dengan menyalurkan pengalaman individu kreatif ini kepada masyarakat sebagai proses wisselwerking, maka Akademi Kesenian menjalankan peranan yang utama. Tujuan terakhir hendaknya:
- Pendidikan massal (ilmu masyarakat, sejarah, dan lain-lain);
- Aesthetika massal yang dilakukan (toegepast);
- Cinta hidup sehari-hari dalam buah kebudayaan/kesenian kita.
Dengan ini pula tergambar dengan tak kami sengaja perbedaan jalan perkembangan antara akademisi serta pelukis-pelukis Barat di satu pihak dan pelukis-pelukis Indonesia di lain pihak. Pihak kesatu mulai dengan sub 1 hingga mereka dengan pengetahuannya pandai membicarakan vak-vaknya serta teknik-tekniknya. Pihak kedua mulai langsung dengan sub 3 dan 2, dengan senjata intuisinya. Tak ragu-ragu kami sebulan bahwa banyak pengetahuan masih perlu dikejar, tidak untuk tiba pada norma-normanya, tetapi dipakai sebagai senjata guna menghadapi kehidupan dan alam (objek-objek).
Umumnya orang yang berpengetahuan tiba pada kegenangan yang dibatasi oleh norma-norma tadi. Ini membuktikan, betapa besar bahaya pengetahuan itu, bilamana kita tak sadar akan kemungkinan-kemungkinan yang diberikan olehnya kepada kita. Pengetahuan berguna untuk: 1. Dihafal saja; 2. Membentuk daya kritis; 3. Dijadikan titik permulaan untuk melahirkan (menciptakan) sesuatu. Kebanyakan orang hanya tiba pada sub 1, sedikit pada sub 2, paling sedikit pada sub 3.
Pengetahuan yang terhambat oleh norma-norma itu lebih merusak dari pada menuntun. Berapakah disertasi yang dibuat oleh akademisi kita? Mengapa standaardwerken tentang Indonesia sendiri ditulis oleh orang asing? Ada pula pelukis-pelukis kita yang sudah tiba pada penguasaan materi, lalu terhenti di muka pagaran norma-norma itu. Banyaklah juga syair-syair yang tiada sanggup melintasi bentuk-bentuk yang sekali tergalang oleh Chairil Anwar. Patokan-patokan demikian adalah tanda-tanda akan tiadanya kekuatan semangat jiwa, karena kurang gerak hidupnya. Gerak hidup seharusnya dibimbing oleh intuisi dan inteligensi yang senantiasa mencari nilai-nilai baru dalam perjuangan hidupnya.
Kesemuanya membuktikan bahwa bukannya pengajaran di gedung perguruan lah yang penting, melainkan di dalam hidup di masyarakat. Pelajaran M.O. misalnya hanya sanggup menghadapi objek-objek sebagai benda-benda yang kebetulan berdiri di suatu ruangan, ialah pemandangan optis. Kebenaran yang tercapai dengan itu hanyalah kebenaran dari sudut ilmu alam, ialah sebagian sangat kecil dari usaha kreatif dan tiada menghasilkan seni. Pelajaran akademis memang memungkinkan si murid mengikuti buah-buah pikiran, teknik, aliran, dan lain-lain, tapi tentang dipakainya atau tidak, hendaknya terserah pada dia. Untuk pendidikan guru-guru memang semua ini disyaratkan, tapi seniman tak mungkin dicetak secara demikian.
Kesimpulan kami setelah menguraikan status masyarakat di atas ialah bahwa ada perbedaan paham serta sikap hidup dan filsafat antara angkatan tua dan angkatan muda yang rasanya sulit sekali untuk diatasi. Pada angkatan tua ada perasaan mempunyai hak sejarah atas tampuk pimpinan, karena mereka sudah memegangnya sewaktu zaman penjajahan. Pimpinan ini dipegangnya dengan dasar filsafat yang terpaut pada pelbagai norma. Dengan sendirinya mereka mempunyai klaim atas pimpinan Akademi Kesenian pula. Keinginan untuk mengambil privilege demikianlah terasa oleh angkatan muda sebagai krisis akhlak yang dilakukan oleh kaum tua.
Bagi angkatan muda, soal hak sejarah serta filsafat demikian itu merupakan sesuatu yang mesti dirombak atau diperbaharui. Bagi kami, dasar-dasar akademi bukanlah terutama pengertian-pengertian lama —yang sebagian besar dicetak oleh negeri asing, sebagian lagi dari nenek moyang kita— akan tetapi pengalaman-pengalaman yang telah dikristalisasikan oleh tipe-tipe manusia dalam pertumbuhan kesenian/kebudayaan kita, ialah kepribadian. Pribadi-pribadi inilah yang unik bersifat Indonesia sekarang dan akhirnya menuju kepada kebudayaan Indonesia.
Mengingat bahwa seni rupa sebagian besar telah terlaksana oleh angkatan muda, maka dengan memakai tata susila yang bagaimana pun juga orang seharusnya mengakui bahwa Akademi Kesenian bagian seni rupa mesti diserahkan kepada angkatan yang berhak itu. Inilah hak sejarah yang sewajarnya dan ingin kami jadikan usul maksimum. Apabila ini tak mungkin, tetapi pemerintah menghendaki perkembangan pesat seni rupa yang pure et vital, maka sebagai usul minimum kami sarankan pembentukan sebuah dusun seniman, diperlengkapi dengan sanggar-sanggar (ateliers). Dalam kelompokkan itu murid-murid tinggal bersama-sama beberapa seniman, lalu ikut melihat atau memecahkan soal-soal dari segi kesenimanan. Semua seniman yang diakui boleh bergiliran diam dalam “dusun” itu.
Dengan begitu pula secara wajar orang diberitahu bahwa nilai kesenian tak dapat dicetak sebagai diploma dan bahwa seni lukis tidak timbul begitu saja seperti jin dari lampu aladin. Secara tata susila peradaban yang dirindukan oleh banyak kaum bapak, maka demikian ini pun bisa memperdalam keinsafan, bahwa pembimbing kemajuan bangsa mungkin juga tampil dari kalangan seniman.
Jakarta, 21 Desember 1951
NOTA
Supaya mendapat ikhtisar tentang tenaga-tenaga yang menjalankan gerakan seni lukis di Indonesia, kami bikin daftar di bawah ini. Perkataan gerakan tidak menjamin bahwa semua yang disebut disini adalah seniman-seniman yang diakui. Begitu juga kami sebut “golongan” dan “pelukis-pelukis rakyat jelata”, dengan maksud hendak mengutarakan bahwa ada tenaga-tenaga lainnya selain yang terdaftar.
Pembagian taraf-taraf hanya menunjukkan saat munculnya tenaga-tenaga secara kronologis, bukan menunjukkan sifat kerohanian. Misalnya, bukanlah dimaksudkan bahwa orang-orang dari taraf Jepang mempunyai sifat ke-jepang-jepangan, bukan pula bahwa mereka yang termasuk sub 3 itulah yang “revolusioner”, atau yang tidak termasuk disitu tidak “revolusioner”. Sebetulnya pun banyak pelukis yang bisa dimasukkan dalam dua taraf atau lebih.
Taraf Sebelum Perang
Raden Saleh
Pelukis-Pelukis Rakyat Jelata
Abdullah Sr.
Pirngadi
Wakidi cs.
Nasrun A.S.
Basuki Abdullah
Sudjono Abdullah
Sudjojono cs. (Persagi)
Abdul Salam
Dullah
Gunadi
Ramedi
Surono
Emiria Sunassa
Herbert Hutagalung
Sukangadje
Suromo
Sukirno
Sudiardjo
S. Tutur
Henk Ngantung
Agus Djaja
Otto Djaja
Kartono Yudhokusumo
Subanto Surjosubandrio
Sudarso
Djajengasmoro
Rusli
Taraf Jepang
Affandi
Basuki Resobowo
Harjadi
Moh. Hadi
Sumitro
Hendra
Kusnadi
Barli
Kerton
Sularko
Njoman Ngendon
Abedy
Mochtar Apin
Baharudin
Iljas
Setyojoso
Taraf Revolusi
Sesongko
Trubus
Zaini
Saptoto
Handrijo
Sutiksna
Sajono
Karyono
Sunindyo
S. Sundoro
Srihadi
Sedijono
Fadjar Sidiq
Nasah
Nashar
Moh. Sahid
Sjahri
Sjolihin
Nurnaningsih
Rukmijatun
O. Effendi
Trisno Sumardjo
A. Wakidjan
Gapur
Hasan Djafar
Indrosugondo
Popo Iskandar cs. (Ries Mulder cs), Bandung
Golongan S.E.M.I. (Bukttinggi)
Golongan A.S.R.I. (Medan)
Golongan Pelukis Rakjat (Yogyakarta)
Golongan S.I.M. (Yogyakarta)
Golongan A.S.R.I. (Yogyakarta)
Golongan G.P.I. (Jakarta)