Sumber: Mimbar Indonesia, Tahun II, No. 9, 28 Februari 1948, hlm. 27.
“Suasana Indonesia” Saduran Dalam Bahasa Indonesia dari “Wordende Wereld” (Multifilm)
Sudah beberapa kali kita menyaksikan “Wordende Wereld” sebagai film tambahan dan kesan yang kita dapat adalah lebih baik dari apa yang pernah kita lihat dari jurnal-jurnal buatan sini sebelum perang, ikhtiar berkali-kali yang belum pernah memuaskan. Baikpun dari sudut mata teknis (gambar dan suara), maupun kalau ditilik isinya nampak keahlian dalam “Wordende Wereld”. Perbedaan yang jelas dari ANIF-Journaals ialah “Wordende Wereld” tidak mengutamakan “nieuws” saja, tetapi disamping itu memotret perusahaan-perusahaan (industri) besar dan kecil di Indonesia yang sedang jadi dan penghidupan orang Indonesia. Hanya kalau dipertimbangkan bahwa gambar-gambar ini dibuat pula untuk konsumsi luar negeri pada saat Indonesia menuntut kemerdekaannya, maka disana sini kita tak dapat melepaskan kesan seakan-akan ditunjukkan kepada luar negeri: lihatlah betapa biadabnya bangsa yang menuntut kemerdekaan itu! Orang luar negeri yang tidak dapat mengukur keadaan yang sebenarnya tentu akan tertawa!
Sekarang “Wordende Wereld” dipertunjukkan dalam bahasa Indonesia. Satu langkah yang harus dipuji, yaitu mengenalkan Indonesia kepada Indonesia. Kita harus akui, dari sudut mata ilmu pengetahuan banyak sekali soal-soal yang belum diketahui oleh bangsa Indonesia dari tetangganya yang dekat, misalnya oleh orang Indonesia di Jawa tentang tetangganya di Toraja, di Kalimantan dan sebagainya. Bagaimana orang membuat obat nyamuk yang saban orang pakai, yang saban malam dipasang, bagaimana orang Kendari membuat perhiasan perak dan sebagainya. Ini semua berharga sekali untuk ditunjukkan, untuk menambah pengetahuan, kenal mengenal dan ini pulalah yang menunjukkan kekuasaan dan kemampuan film sebagai alat penerangan.
Akan tetapi ketika kita menyaksikan “Wordende Wereld” ini sebagai “Suasana Indonesia” mau tidak mau kita teringat ke zaman Jepang, terbayang di mata kita film-film propaganda Jepang yang senantiasa dimulai dengan ucapan: “Alhamdulillah, Asia sudah kembali kepada bangsa Asia….”
Dalam suasana sekarang janganlah orang Belanda membuat kesalahan sebagai orang Jepang. Jepang yang membuat filmnya dengan dasar fasis, yang hanya menunjukkan kebesaran Jepang. Jepang yang muncul, yang teratas dalam segala-galanya, zonder Jepang tidak bisa! Nippon da né! Maka oleh sebab itu Nippon harus disembah-sembah, juga di dalam filmnya.
Dalam “Suasana Indonesia” orang Belanda tidak lagi disembah-sembah tapi banyak hal-hal yang mungkin menyinggung perasaan orang Indonesia yang harus disingkirkan, kalau benar-benar film ini dibuat dengan dasar kerjasama, dengan dasar ingatan federal. Film demikian janganlah orang Belanda saja yang membuatnya untuk orang Indonesia, perlu bekerja bersama dengan orang Indonesia, yang ahli dan mengerti, juga dalam memilih dan mengatur pokok (onderwerp), untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk orang Indonesia, dalam mengatur kata tutur sebagai pengantar. Harus kita akui kata pengantar dalam Bahasa Indonesia yang disusun oleh tuan Muljono, sangat baik dan disana-sini sangat menarik hati susunan katanya, akan tetapi pada beberapa tempat perlu juga diadakan koreksi —bukan bahasanya— tetapi hal-hal yang lebih baik jangan diucapkan kalau hendak menarik perhatian orang Indonesia.
Orang Indonesia dewasa ini hidup dalam zaman kesadaran, ia insyaf akan kekurangannya, tetapi sebaliknya ia bangga akan kebesarannya. Zaman mengingatkan orang Indonesia akan kekurangannya sudah lewat. Kalau yang demikian diperbuat sekarang ia akan ingat kepada suasana kolonial, dimana dengan sengaja ditanam perasaan “kurang” padanya (het kweken van minderwaardigheidscomplexen). Harus juga ditunjukkan hal-hal yang menunjukkan kebesaran dan ketinggian budi orang Indonesia, walaupun sekali dalam keadaan primitif.
Tetapi kita tidak melupakan pula kata pengantar dari tuan Mannus Franken yang pada pemulaannya mengatakan bahwa “Suasana Indonesia” —suatu sebutan yang pada hemat kita tidak tepat— adalah langkah pertama ke jurusan ini, yang belum dapat dijamin akan memuaskan. Pada hemat kita film yang demikian, kalau dibuat dengan dasar dan tujuan federal (federale gedachte) dengan menunjukkan kedudukan orang Indonesia dalam federatief verband, bersama-sama dengan orang Belanda akan sangat banyak menolong pada pembangunan, akan mempercepat proses yang sedang sama-sama kita hadapi.
Dengan dasar ini dan dengan mengingati hal-hal yang harus disingkirkan dan hal-hal lain yang harus pula ditonjolkan produser dari “Suasana Indonesia” patut meneruskan usahanya dengan keyakinan bahwa mereka berada pada permulaan yang betul.