SETELENG LUKISAN HENK NGANTUNG

Sumber: Mimbar Indonesia, Tahun II, No. 1, 3 Januari 1948, hlm. 29.

“Mana lukisan Saudara, ‘Kerbau Pulang Kekandang’, yang Saudara pertunjukkan tahun 1943?”

“Ah, terlalu romantis,” kata Henk Ngantung.

Teringat lagi udara abu-abu gelap, sekawanan kerbau dihalau entah kemana, kekeakanan yang samar? —Kemana bangsa Indonesia hendak dibawa oleh Jepang? — Tapi isi simbolis itu ditutup dengan keterangan pemberitahuan “Pulang Kekandang”.

Pertanyaan yang kami majukan kepada pelukis timbul dengan sendirinya melihat “Biduan Djalanan”, anak-anak yang dengan matanya sayu-menderita masih melihat kepada kami, seperti empat tahun yang lalu. Bajunya yang compang-camping dan sesuatu dalam mata anak-anak itu yang mengingatkan kepada peminta-minta, menjadikan lukisan itu tersimpan dalam kalbuku sebagai lukisan peminta-minta. Perasaan kesenian tiada kulihat pada anak-anak itu yang membawa alat-alat musiknya seperti tukang kacang goreng membawa jualannya.

Romantis disebut Henk Ngantung lukisan-lukisannya itu, mungkin karena tarikan garis dan warnanya yang akademis, tapi cita yang dilukiskannya dalam “Ships That Pass in The Night” tidak lain dari yang dimaksudkannya dengan melukiskan kedua gambar sudah empat tahun dikesilaman itu. Perubahan hanya kita lihat dalam pelalaian bentuk dan pengutamaan jiwa dalam lukisan.

Henk Ngantung sebagai seniman perhatiannya boleh dikata semata-mata tertuju kepada manusia dan nasibnya. Perasaan sosialnya kelihatan kecuali dalam lukisannya “Biduan Djalanan” (1943), juga dalam lukisan-lukisan seperti “Supir Betja” (1947) (hanya struggle for life?), “Pak Tani” (1947), “Pelajan” (1944), dan lain-lain. Kepada alam dan mahluk lain perhatian itu agak kurang. Dari dunia binatang yang pernah mendapat perhatiannya hanya kerbau, itupun sebagai perlambang bangsanya yang kuat menurut jumlahnya tapi bodoh dan bisa diperbodoh, sedang lukisan alamnya hanya ada satu dua dalam seteleng ini, dan diseteleng-setelang yang sudah-sudah kita tidak ada menyimpan lagi lukisan-lukisan alam yang lain dalam ingatan.

Suatu kecenderungan di masa-masa belakangan ini, pun juga dalam seni sastra, ialah pengutamaan jiwa, ada yang memang oleh karena keyakinan mengutamakan jiwa dan ada pula yang hanya karena jemu dengan yang lahir meremuk-remuknya. Ngantung masih ada di tengah-tengah. Dalam bentuk dia belum berani habis-habisan bikin perhitungan (mungkin sekali ini disebabkan oleh karena mau mengambil asi model-modelnya, —banyak pemesan-pemesan. Lukisannya “Lord Killearn” dibikin seperti takut-takut kalau-kalau tidak sama dengan orangnya). Dia harus bikin kompromi dan jadi seniman pertengahan.

Kekuatan Ngantung mungkin dalam simbolik. Sayang dia tidak terus mati-matian mencari kesana. Ekspresi garis dan warna terlalu lembut. Kedahsyatan aura hidup tidak kedengaran gemuruh. Henk melihat segala dengan mata sayang dan kasihan.

Henk masih muda, baru 26 tahun. Masih banyak tempo buat mengenal hidup lebih dekat. Menjadikan dirinya eksperimen hidup, sehingga mengetahui dengan pengalaman bahwa penderitaan perlu untuk menjadi dewasa. Dan dengan begitu melihat penderitaan dengan mata mengerti, tidak beralaskan tanda: ?.