Sumber: Keboedajaan dan Masjarakat, Tahun I, Oktober 1939, hlm. 145-147.
Lukisan-lukisan yang kita lihat pada waktu sekarang, tidak lain yang terbanyak lukisan-lukisan pemandangan (landschappen): sawah yang sedang dibajak, sawah yang berair jernih dan tenang atau gubug ditengah-tengah padang padi, tidak lupa pula pohon-pohon kelapa didekatnya atau bambu dan gunung yang kebiru-biruan dijauh mata. Begitu juga orang-orang perempuan yang ada harus berselendang merah berkibar-kibar diembus angin atau berpayung, berbaju biru, sajaknya lebaran tiap hari.
Semua serba bagus dan romantis bagai di surga, semua serba enak, tenang dan damai. Lukisan-lukisan tadi tidak lain hanya mengandung satu arti: Mooi Indië.
Benar mooi-indië bagi si-asing, yang tak pernah melihat pohon kelapa dan sawah, benar mooi-indië bagi si-turis yang telah jemu melihat skyscrapers mereka dan mencari hawa dan pemandangan baru, makan angin katanya, untuk menghembuskan isi pikiran mereka yang hanya bergambar mata uang saja.
Gunung, kelapa, dan sawah menjadi trimurti bagi tabel pelukis-pelukis tadi. Gunung, kelapa dan sawah menjadi penarik hati mereka, seakan-akan tak bisa mereka lepas dari dogma tadi dan terus tertarik oleh barang tiga tadi saja. Begitu publik, begitu pelukis. Dan kalau ada seorang pelukis berani melukis hal-hal yang lain dari trimurti tabel tadi dan mencoba menjual lukisan-lukisannya pada toko-toko gambar disini, maka kata si handelar: “Dat is niet voor ons, meneer.” Maksud dia: “Dat is niet voor de toeristen of de gepensionneerde Hollanders, meneer.” Dan pelukis yang demikian, kalau tidak mau dimakan penyakit TBC, lebih baik menjadi guru atau mencari pekerjaan klerk statistiek, sebab menanti-nantikan waktu yang baik bilamana gambarnya laku lama lagi datang.
Pembaca yth., keadaan ini kurang sehat.
Apa sebabnya?
Nomor satu sebab pelukis-pelukis yang ada disini terbanyak bangsa Eropa, bangsa asing, yang tinggal dua atau tiga tahun saja disini, dus een tourist.
Nomor dua, sebab pelukis-pelukis disini hanya hendak melayani si-turis saja (jadi hanya mencari uang belaka).
Nomor tiga, sebab seni-seni menggambar disini hanya orang-orang yang meniru pekerjaan pelukis-pelukis nomor satu dan dua saja, sebab mereka tak mempunyai kekuataan sendiri yang cukup untuk mencipta sesuatu.
Dan sayang sekali banyaklah pelukis-pelukis bangsa kita yang masuk golongan nomor tiga ini. Meniru dan mendapat pengaruh dari seseorang tak ada bahayanya. Tetapi berbahaya sekali kalau yang ditiru tadi hanya seorang pelukis yang cilik-cilikan saja atau seorang yang hendak mencari uang belaka. Mereka barangkali cerdas dari hal tekniknya, akan tetapi yang terbanyak tak berjiwa lukisan-lukisan mereka, sebab mereka hanya seorang yang berdiri diluar lingkungan hidup kita.
Tetapi untung. Datanglah pada tahun-tahun belakang ini suatu generasi baru, generasi yang membawa benih-benih hidup dari sesuatu bangsa yang mesti hidup dan akan berjejer berdiri sama dengan bangsa-bangsa lain dan membawa cita-cita baru yang sehat dan segar dari lingkungannya sendiri dan menunjukkan kepada dunia: “Lihatlah begini kita.” Generasi ini berani mengatakan: “beginilah kita”, yang berarti beginilah keadaan hidup dan mau kita di waktu ini.
Marilah saya terangkan lebih jelas arti ini.
Tiap-tiap seorang seni, nomor satu mesti berdasar watak seorang seni. Dan seorang seni mesti pula berani dalam segala-galanya, terutama berani memberikan idenya kepada dunia, meskipun tidak mendapat anggapan baik dari publik sekalipun.
Dan kalau tiap-tiap seorang seni mempunyai watak dua ini (kesenian, kunstenaarschap dan keberanian), maka dengan sendirinya mereka mempunyai semboyan: kebenaran dan keindahan. Tidak keindahan dalam arti bagus bagi penganggapan publik biasa, akan tetapi bagus estetis bagi seorang seni.
Dan kalau semboyan cita-cita ini pula sudah membakar dada seni-seni yang muda-muda tadi dan mengadakan kegembiraan yang fanatik dalam idealismenya, maka dengan sendirinya mereka melemparkan kesenian turisme yang tidak berwatak, tidak berdarah dan mati tadi dan mencipta suatu kesenian lukis baru, gembira dan bergelora dan mengabdikan jiwanya ke sesuatu kebenaran, meninggalkan dunia yang lama dan hidup dalam dunia sekarang untuk memperbaiki dunia yang akan datang.
Pelukis-pelukis baru ini akan tidak hanya menggambar gubug yang tenang dan gunung yang kebiru-biruan atau melukiskan sudut-sudut yang romantis atau schilderachtige en zoetsappige onderwerpen saja, akan tetapi mereka menggambar juga pabrik-pabrik gula dan si-tani yang kurus, mobil si-kaya dan pantalon si-pemuda; sepatu, celana dan baju gabardin pelancong di jalan aspal.
Inilah keadaan kita. Inilah realiteit kita. Dan kesenian melukis yang berjiwa realiteit ini, yang tidak mencari kebagusannya di zaman kuno, Majapahit atau Mataram, atau pula di hidup pikiran si turis, akan hidup terus selama dunia ada. Sebab kesenian yang tinggi ialah buat pekerjaan yang berasal dari hidup kita sehari-hari, diolah didalam hidup si seni sendiri, yang tidak keluar pula dari hidup sehari-hari tadi dan diciptakan dan dilemparkan dichémah dengan tidak mengingat moral atau tradisi, juga tidak bermaksud ini dan itu, hanya terdorong oleh suatu paksaan dalam yang memaksa.
Kesenian melukis tidak harus terlahir oleh kebutuhan orang, yang ada di luar lingkungan kita, umpamanya turis-turis atau orang-orang Belanda yang sudah pensiun dan hendak tinggal di negerinya saja, akan tetapi harus keluar dari dalam hidup kita sendiri, sehari-hari.
Dari itu beruntung “Pembangoen” (majalah mingguan dari surat kabar “Pemandangan”) dan bangsa Indonesia seumumnya mempunyai seorang illustrator dan humoris baru, tuan Abdoelsalam, yang berani menggambar keadaan kita sehari-hari dengan lucunya en toh tepat benar; umpamanya saja: dia menggambar seorang anak perempuan yang dipukul halus oleh seorang anak lelaki, sebab anak perempuan tadi mengatakan: “Hou je smoel” kepadanya.
Ada orang yang tidak suka pada lelucon yang demikian itu barangkali, sebab perkataan hou-je-smoel itu kurang baik, akan tetapi tuan Abdoelsalam tidak lain hanya mengabdi kepada kebenaran dan realiteit hidup kita sehari-hari dan tidak bisa tidak-menggambar keadaan tadi. Keadaan tadi terlalu jelek untuk tidak digambar dan tidak diketahui oleh publik. Menyidam keadaan tadi barangkali sopan dan baik, akan tetapi kita berjusta kepada putri kebenaran kita yang dinamakan orang: Kesenian.
Kesenian melukis tidak boleh mendengarkan dan menurut suatu groep-moraliserende-mensen atau menjadi budak dari partai ini atau partai itu. Dia harus merdeka semerdeka-merdekanya, terlepas dari segala ikatan moral maupun tradisi untuk bisa hidup subur, segar dan merdeka.
Dan tiap-tiap golongan orang yang mengkritik dan mencaci maki buah pekerjaan kesenian semacam terbelakang tadi ingatlah, bahwa mereka besok atau lusa akan menyesal, sebab kedudukan mereka akan tak tertahan lagi dan mereka tentu kalah. Moral bisa berganti, tetapi kebagusan dari suatu buah pekerjaan kesenian tidak.
Pelukis bangsa Indonesia!
Kalau masih ada lagi pada dadamu sedetik darah dari darahmu yang membawa benih angan-angan dari Dewi Kesenianmu itu, mari tinggalkanlah dogma kamu a-la-toerisme itu, putuskanlah rantai-rantai yang mengganggu kemerdekaan darahmu tadi untuk memberi tempat mempelihara benih tadi menjadi garuda yang besar dan bersayap kuat bisa membawa kamu ke langit yang biru melayang-layang melihat dan mengisap kebagusan dunia, bulan, bintang-bintang dan matahari, alam ciptaan Tuhan. Barangkali kamu terpaksa berkorban terbakar kelak karena panas matahari, sakit dada tak bernafas atau lapar tak makan-makan, tetapi mati kamu pulang ke negeri yang baka tak sia-sia pergi ke istana Dewi Kesenian kamu dan berani mengetuk pintu gerbangnya sambil berkata: “Dewi, saya datang.” Dan Dewi tadi tak sangsi-sangsi dengan suka hatinya membuka pintu tadi sendiri mempersilahkan: “Masuklah, kekasih yang kucintai.” Dan kamu berkata pula: “Cukupkah saya berkorban untuk memperlihatkan cinta saya padamu, Dewi?”
“Cukup, cukup, cukup.”