JONGOS DI ATAS PANGGUNG

Sumber: Arena, No. 3, Juni 1946, hlm. 62-63.

Ketika memperoleh artikel ini dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kondisinya sudah dalam keadaan rusak sebagian. Pada halaman 62, sisi ujung sebelah kanan hilang. Bagian hilang atau tidak terbaca akan diberikan tanda […] Jika memperoleh sumber yang lebih baik, kami akan segera menyempurnakannya. Mohon maaf atas kekurangannya. Terima kasih.

Entah didalam babak yang mana, waktu layar dibuka ia sedang menyapu lantai. Serbet yang menghias bahunya dan sapu di tangannya menunjukkan bahwa ia seorang jongos. Sesudah menyapu kira-kira dua sekon sapu ditaruhnya di atas meja, serbet diambilnya dari atas bahunya dan mulailah ia membersihkan perabotan rumah. Kursi diputar-balik, direbahkan… akhirnya ia duduk di atas kursi itu sambil isap lisong yang diambilnya dari dalam tempat cerutu di atas meja. Kurang puas rupanya sesudah bekerja berat mengaso, mengusap mukanya yang penuh karena panasnya lampu seribu lilin, ia menarik kakinya ke atas meja disertai teriakan memanggil babu minta kopi-susu.

Penonton tertawa gelak-gelak sambil ramai bertepuk tangan, anak-anak berteriak, bersuit, bersiul memecahkan anak telinga. Sang jongos puas rupanya, ia menganggukkan-anggukkan kepalanya dan dari mulutnya keluar berkepul asap nikotin.

Kalau taufan suit, siul, tepuk-tangan dan tertawa sedikit reda, muncullah sang babu yang memberi kesan pada penonton menilik caranya ia menghias badannya bahwa ia sudah cukup masak untuk disuruh sekolah ke Lawang atau Kramat Magelang.

Taufan yang sudah mulai reda itu mendahsyat hebat lagi. Taufan yang baru ini mengalahkan taufan ciptaan sang jongos.

Penyakit “pelayan” merajalela di atas panggung; penyakit hendak memuaskan hati penonton mengalahkan syarat-syarat terpenting guna memutar bundaran sandiwara dengan teratur dan lancar. Pemain mengejar gelak tertawa, penulis memburu “ger”, pemain merindukan badai tepuk-tangan dan digaris depan sang jongos ber-[…]jatakan serbet dan sapu menguasai […]nton, memberi isyarat kepada mereka […]reka harus tertawa. Panggung san-[…] berubah sifatnya menjadi arena merebutkan piala “ger” dari penonton-juri. Komedi jadi lelucon, tragedi dito, menjadi alat mengumpulkan tertawa dan tepuk-tangan. Sungguh tragis. Seni gulung tikar, hanyut dibawa arus badai tertawa jatuh terpelanting dibelakang tabir hitam kelam. Cerita, teks, pimpinan, permainan… semua itu kabur, tertiup taufan “ger” hilang lenyap.

Di zaman Belanda teks hampir tidak dikenal orang. Pemain hanya dikasih tahu jadi apa atau memegang rol apa di dalam cerita yang akan dimainkan, lakon cukup dibicarakan satu kali saja. Sesudah itu segala sesuatu diserahkan kepada kebijaksanaan pemain. Tangan pimpinan hampir tidak terasa. Dengan sang jongos sebagai promotor barisan pemain sorenya menyerbu dan menguasai panggung.

Di zaman Jepang semua cerita sebelum dimainkan harus disensor dulu. Pemain takut mengeluarkan perkataan yang mungkin membahayakan dirinya terpaksa menghafalkan teks, karena hanya sensor pemimpin mulai berhati-hati, tangan pimpinan mulai terasa, pemain mulai teratur. Ini berarti satu kemajuan walaupun ceritanya banyak diperkosa oleh sensor. Penulis-penulis sandiwara pada waktu itu karena takut akan momok sensor tidak dapat bebas mencurahkan isi hatinya, terpengaruh pula oleh semangat “pelayan” menghasilkan cerita yang tidak berkarakter dan tidak dapat dipertanggungjawabkan psikologinya, asal saja Jepang-sang puas dan penonton mau memberikan hadiahnya yang berwujud “ger”. Hanya seorang dua saja yang tetap menjunjung tinggi tehnik menulis drama, memikirkan karakter rol-rolnya dan memperhatikan psychologische momenten. Jumlah pemimpin yang cakap pun kecil sekali.

Di zaman kemerdekaan dewasa ini, seperti di beberapa golongan masyarakat, rupanya di dunia sandiwara kemerdekaan keliru atau kurang tepat diartikan orang. Pemain tidak mau lagi diikat oleh teks, tidak mau merasakan beratnya tangan pimpinan. Orang mau merdeka, mau bebas dari segala ikatan. Regie mulai diabaikan lagi, permainan sesuka pemain, cerita-ceritanya masih saja cerita peninggalan perkosaan sensor Jepang, hanya disini-sana dicoret, …ditambah, …di-“sesuai”-kan dengan suasana sekarang, tidak perduli apakah perubahan itu merusak cerita atau tidak. Lagak-gerak dan perkataan yang lazim di zaman yang lampau seringkali kita jumpai di atas panggung negara merdeka.

Jika “kemerdekaan” itu tidak lekas-lekas diberantas kita takut penyakit “pelayan” akan berjangkit lagi di atas panggung. Penulis drama, pemain sandiwara, pemain-pemain dan lain-lain orang yang betul-betul mencintai seni sandiwara dan betul-betul revolusioner hindarkanlah sandiwara dari bahaya yang mengancamnya.

Widara, 28-V-46
Djajakusuma