Sumber: Zenith, No. 8, Tahun I, 15 Agustus 1951, hlm. 484-487.
“Dorongan pertama untuk mengadakan musik ialah karena ketakutan pada kesunyian,” demikian tulis Willem Pijper dalam salah satu karangannya dalam bukunya “De Quintencirkel”. Makna dalam untuk mengadakan “hiburan” musik sebelum sandiwara atau film mulai, musik di “restoran” dan sebagainya pada hakekatnya berdasarkan pada ketakutan manusia pada kesunyian ini. Musik yang mengiringi film pun sebenarnya bukan untuk “menggembirakan” para penonton, tapi juga berdasarkan pada pendapat lain.
Musik dalam film seperti yang dimaksudkan di atas kita sebut musik ilustrasi. Dan sebagaimana halnya dengan bagian-bagian lainnya dari film, seperti dekorasi, lighteffect, soundeffect, dan sebagainya, juga musik ilustrasi hanya merupakan suatu “bijzaak” saja di dalam film dalam arti ia harus diabdikan pada isi dari cerita. Dengan begitu musik ilustrasi harus selalu mengikuti (melukiskan) isi dan suasana dari cerita, atau dengan perkataan lain, ia harus mensugesti kejadian-kejadian yang sedang diproyeksi di atas layar, sehingga kejadian-kejadian tersebut kita rasakan sebagai kejadian-kejadian yang sebenarnya.
Dalam pada itu, untuk mensugesti berbagai kejadian-kejadian yang lazim kita alami dalam peristiwa-peristiwa yang tertentu, orang biasanya memakai lagu-lagu yang telah mendapat populariteit (dalam arti yang baik) dalam masyarakat, yang sedikit banyaknya mempunyai hubungan pula dengan kejadian-kejadian tadi. Begitulah dalam film-film Barat, bila rombongan manusia yang mengantarkan suatu jenazah misalnya diiringi dengan “Treurmars” dari Chopin, rasa sedih yang meliputi kejadian tersebut kita rasakan lebih nyata, sedangkan bila suatu pesta perkawinan misalnya diiringi dengan “Bruidskoor” dari Wagner, suasana ria yang disertai dengan rasa khidmat dari peristiwa tersebut kita rasakan pula lebih jelas.
Begitupun lagu-lagu kebangsaan biasanya dapat memberi suasana yang hidup pada berbagai kejadian, terutama kejadian-kejadian yang sedikit banyaknya mengandung arti sejarah. Bila Hitler, misalnya dalam film berita di masa kejayaannya sedang berdiri dan mengacungkan tangannya di hadapan puluhan ribu rakyat Jerman yang menyambutnya dengan lambaian “hakenkruis” dan sorak yang gemuruh, sedang peristiwa ini diiringi dengan refrein dari “Deutschland über alles”, kita turut merasakan bagaimana fanatiknya rakyat Jerman terhadap Führer yang didewa-dewakannya ketika itu.
Dan bila scene yang menggambarkan prajurit-prajurit Perancis yang penuh dengan kesadaran membanjiri medan pertempuran dalam mempertahankan kehormatan tanah airnya, diiringi dengan “La Marseillaise”, kita seolah-olah turut merasakan api patriotisme yang sedang membakar dada prajurit-prajurit tersebut. Begitu pun scene, dimana “Queen Elizabeth” misalnya untuk pertama kalinya meninggalkan pantai Inggris, bila diiringi pula dengan “God save the king”, selain akan menghidupkan rasa bangga pada bangsa Inggris sendiri, juga akan menimbulkan pula rasa hormat pada kita sebagai bangsa asing.
Sesudah mengikuti bagaimana tepatnya pemakaian dari lagu-lagu kebangsaan seperti yang kita kemukakan di atas, segera akan kita rasakan, bahwa bagian penutup dari film “Long March” yang melukiskan kedatangan Bung Karno di Jakarta sebagai lambang dari berakhirnya secara resmi kolonialisme di tanah air kita dan diakuinya pula secara resmi oleh pihak penjajah kedaulatan Republik Indonesia, sudah selayaknya diiringi pula dengan refrein dari “Indonesia Raya”, bila andaikata jalan cerita tidak mengizinkan untuk memakai lagu seluruhnya.
Kalau penulis tidak salah raba, peristiwa yang bersejarah tersebut dimaksudkan Usmar Ismail sebagai suatu “finale” yang “denderend” dalam filmnya. “Perjalanan jauh” yang penuh dengan rintangan dan halangan itu, menurut Usmar Ismail harus diakhiri dengan suatu triumph. Untuk mencapai maksud tersebut ia membawa kita dalam bagian terakhir dari filmnya pada kedatangan Bung Karno di Jakarta, sekalipun “perjalanan jauh” yang sebenarnya kita rasakan sudah berakhir dalam pertempuran yang penghabisan antara pasukan-pasukan kita dengan pihak lawan, dimana cerita juga mencapai klimaksnya.
Tapi dalam melukiskan peristiwa yang bersejarah tersebut, rupanya Usmar Ismail sudah puas dengan membiarkan Bung Karno berpidato dan gemuruh dari khalayak ramai. Pada “Indonesia Raya” tidak teringat olehnya. Malahan musik ilustrasi yang dari tadinya berusaha mengikuti segala kejadian-kejadian, disini menjadi bungkam. Dengan begitu, peristiwa yang bersejarah tersebut kita rasakan kurang berjiwa, bagaikan sumbu yang belum dinyalakan.
***
Di atas telah kita kemukakan, bahwa musik ilustrasi hanya merupakan suatu “bijzaak” saja di dalam film. Ia selalu dilakukan secara tidak kentara, agar jangan sampai mengganggu jalannya cerita. Tapi ini tidaklah berarti, bahwa musik ilustrasi selamanya harus dilakukan dengan perlahan (zacht). Tidak! Dimana keadaan mengizinkan ia dapat juga bertindak di depan, sehingga melihat beberapa bagian dari suatu film kadang-kadang tidak ada bedanya dengan mendengarkan suatu orkes simfoni. Tapi pada prinsipnya musik ilustrasi harus selalu dilakukan secara tidak kentara, malahan dimana perlu ia boleh membisu.
Scene-scene percintaan, dimana orang biasanya kekurangan kata-kata untuk melahirkan rasa kasihnya, sering kita lihat diikuti dengan bujukan biola. Dan dalam scene-scene yang mengandung sifat-sifat yang sedih, biola (alt) mengeluh pula dengan mesranya dalam nada-nada yang rendah, seperti yang dilakukan Sinzu dalam berbagai scene dari “Long march”, dimana hubungan Sudarto dan Wydia akhirnya sudah menampakkan warnanya yang kelam, sehingga suasana sedih yang meliputi peristiwa tersebut dalam perasaan-perasaan kita tidak hanya tinggal mengapung pada permukaan saja, tapi membenam sampai ke dasar.*)
Permainan piano biasanya tidak terpakai sebagai musik ilustrasi. Bunyi dari instrumen ini mempunyai suatu sifat yang istimewa, sehingga biola kita mendengarnya dalam suatu film, segera timbul keinginan pada kita untuk mencari sumber dari bunyi tersebut di atas layar. Dengan begitu permainan piano hanya dipakai sebagai “featured music” saja di dalam film.
Bahwa sifat istimewa dari piano, yang dalam mendengarnya selalu akan menimbulkan keinginan untuk mencarinya di atas layar dapat dipakai sebagai sensasi yang indah, dapat kita saksikan pada film “Song of love” yang beberapa waktu yang lalu diedarkan di tanah air kita. Film tersebut, yang melukiskan riwayat hidup dari komponis Robert Schumann, dimulai dengan suatu konser piano di dalam sebuah gedung pertunjukan. Sejak dari permulaan film, waktu nama cerita dan daftar pimpinan serta para pelaku masih diperlihatkan di atas layar, telah diperdengarkan suatu permainan piano yang virtous, yang dengan sendirinya menimbulkan keinginan yang kuat pada kita untuk segera melihat permainan piano tersebut di atas layar.
Tapi sesudah “layar dibuka” kamera baru ditempatkan di bagian belakang dari gedung pertunjukan, sedang permainan piano yang menggelisahkan itu masih diletakkan di tempat jauh, sehingga keinginan kita untuk melihatnya dari dekat masih terus bernyala-nyala. Tapi dalam kejauhannya nampak dengan jelas di atas podium: seorang pemain-piano puteri di muka sebuah vleugel, sengaja dibikin berpakaian putih agar nyata menonjolkan diri pada dasar sekelilingnya yang dalam gedung pertunjukan memang selamanya serba kehitam-hitaman. Dengan begitu pandangan kita secara melekat pada pemain-piano puteri di atas yang menjadi objek utama dari scene tersebut.
Dan lambat-laun kamera didekatkan pada podium sampai akhirnya pemain-piano puteri tersebut memenuhi layar seluruhnya. Kini dengan jelas nampak pada kita Katherine Hepburn sebagai Clara Wieck (isteri dari Schumann) sedang asik main piano dengan riuhnya. Sejurus lamanya kamera hanya ditujukan padanya untuk memuaskan keinginan kita yang dari semula memang sengaja dipupuk oleh regisseur. Sesudah itu kamera boleh ditujukan ke kiri dan ke kanan guna memperkenalkan kita dengan penonton dan sekitar pertunjukan (sedang permainan piano berlangsung terus), untuk akhirnya kembali lagi ke atas podium dimana Clara Wieck mengakhiri permainannya yang segera disusul dengan topan applaus dari penonton.
Kita lihat, bahwa permulaan dari film di atas dipertimbangkan secara indah dengan mempergunakan sifat istimewa dari piano, yang dalam mendengarnya selalu akan menimbulkan keinginan untuk mencarinya di atas layar. Dan begitulah pada umumnya permainan piano hanya dipakai sebagai “featured music” saja di dalam film. Sebagai musik ilustrasi ia kurang menyesuaikan diri.
Begitupun musik vokal, baik pun yang merupakan nyanyian tunggal, maupun yang berbentuk nyanyian bersama, menurut pendapat kita juga kurang menyesuaikan diri untuk dipakai sebagai musik ilustrasi. Sebab juga ragam musik tersebut sedikit banyaknya akan menimbulkan pula keinginan pada kita untuk mencari penyanyinya di atas layar. Dengan begitu dimana nyanyian dipakai sebagai musik ilustrasi, haruslah dapat kita rasakan hubungan erat antara nyanyian dengan peristiwa yang sedang diperlihatkan di atas layar, sehingga tidak usah timbul pada kita keinginan untuk melihat sumber dari nyanyian tersebut.
Dalam film “The last days of Pompeii” misalnya, kita lihat scene yang melukiskan kumpulan manusia dimana Yesus (tidak nampak pada film) menyembuhkan orang-orang yang sakit, diiringi dengan sebuah koor gereja. Dan dalam hal ini koor gereja tersebut tidak akan memisahkan perhatian kita dari jalannya cerita, malahan sebaliknya ia akan menghidupkan sifat religius pada kita, sesuai dengan suasana dari peristiwa yang sedang kita lihat di atas layar.
Sekarang dalam mengikuti film “Enam djam di Jogja”, maka lagu “Tanah tumpah darahku” (gubahan C. Simandjuntak) yang dinyanyikan oleh sebuah koor pada permulaan film akan menimbulkan harapan pada kita, bahwa lagu tersebut akan mempunyai suatu rol di dalam film. Tapi kemudian ternyata, bahwa lagu tersebut hanya dipakai sebagai suatu musik ilustrasi saja. Dan ini pun dengan cara yang sangat meleset pula, sebab pemakaian lagu tersebut untuk mengiringi scene yang mendahului suatu pertempuran dahsyat, kita rasakan sedikit terlalu janggal.
Pagi-pagi buta waktu prajurit-prajurit kita dengan sangat hati-hati mendekati pertahanan musuh, dimana semua penonton turut menahan nafas sebab tiap saat tembakan yang pertama dapat meletus, tiba-tiba Usmar Ismail mengejutkan para penonton dengan sebuah koor yang dengan ayem menyanyikan lagu “Tanah tumpah darahku”, suatu lagu yang nota bene bersuasana tenang dalam mat Andante maestoso, sehingga “spanning” yang dari tadinya memang telah semakin memuncak, kini tertumpah dengan sia-sia. Jelas bahwa pemakaian lagu “Tanah tumpah darahku” untuk mengiringi scene di atas menimbulkan suatu efek yang merugikan.
Dan bila kita juga berpendapat, bahwa “kesunyian” itu memang “menakutkan” seperti yang kita kemukakan pada permulaan karangan ini, barangkali scene di atas lebih baik dibiarkan “sunyi” saja. Atau bila tidak mau membiarkannya “kosong” semata-mata, kiranya lebih tepat untuk memakai “sound-effect” yang dapat memperkuat “spanning” dari peristiwa tersebut. Pemakaian lagu “Tanah tumpah darahku” dalam scene di atas, kita rasakan sebagai ditempelkan dari luar.
* ) Kedangkalan film seperti “Marunda” juga kita rasakan dalam melihat Komalasari yang sedang meneteskan air mata kesedihan karena terpaksa melepaskan yang dikasihinya, diiringi dengan musik Hawaiian yang sama sekali tidak mampu mengajak kita untuk turut merasakan suasana sedih dari peristiwa tersebut.