Sumber: Seni, No. 1, Tahun I, Januari 1955, hlm. 45-47.
Dari tanggal 12-19 November Basuki Abdullah kesekian kalinya mengadakan pamerannya di ruangan eksposisi Hotel Des Indes. Kali ini ia keluar dengan 54 lukisan, antaranya tiga yang sangat besar.
Kami mengetahui bahwa sebelum perang dia telah melukis dan mendapat didikan di Eropa. Selama itu dia seringkali membikin pameran yang senantiasa tiada berubah suasananya. Suasana ini ialah antara lain: suasana gambar-gambar turistis dengan pemandangan-pemandangan alamnya, dimaksudkan untuk dibeli kaum pelancong yang mengejar suvenir dari Indonesia, menurut selera “Mooi Indie”. Teranglah hal ini hanya bertujuan komersil. Lukisan yang didasarkan tujuan demikian dengan sendirinya kosong, tak bernilai sama sekali. Ini terbukti karena kemanisan romantik yang dipakai Basuki Abdullah itu membawa orang ke dunia irreal ke arah keenakan atau kenyamanan yang murah yang menidurkan semangat orang, terayun oleh lagu dendang “nina-bobok” yang menyesatkan. Dengan dininabobokkan itu orang mudah dihanyutkan oleh keenakan selera borjuis yang puas diri dan menganggap keenakan itu sebagai satu-satunya tujuan hidup. Teranglah hal ini mengandung bahaya destruktif akan mematahkan semangat dan memburukkan selera, karena romantik yang dibuat-buat itu adalah romantik palsu.
Destruktivisme dan kepalsuan itupun dilakukan dengan potret-potretnya, malahan lebih menyolok lagi. Dengan tak tahu malu, Basuki Abdullah menyelubungkannya dalam bentuk-bentuk cantik yang menarik mata, bahkan dengan memperhitungkan nafsu kelamin orang. Sex-appeal secara murah yang kita kenal dari film-film Hollywood dengan memakai tubuh-tubuh perempuan setengah-telanjang seperti yang dipertontonkan oleh Rita Hayworth dan sebagainya kita ketemukan bulat-bulat dalam buah-tangan Basuki Abdullah. Kentara sekali bahwa dia hanya bermaksud membuat potret-potret pin-up girls besar-besaran untuk melayani nafsu orang yang suka membawa gambar demikian di kamar-tidur atau di kamar-mandi seorang diri secara diam-diam.
Aspek ketiga yang penting dalam koleksi ini ialah kenyataan bahwa Basuki Abdullah sama sekali tidak memperhatikan alam dan manusia Indonesia dan memang tidak sanggup menemukan keindonesiaan. Apa yang digambarnya tentang manusia, pemandangan alam, pemandangan di kota dan keadaan sehari-hari di Indonesia itu hanyalah bentuk-bentuk yang tak berbicara. Ia tak mengenal batin Indonesia. ia telah menjadi orang asing di tengah-tengah bangsanya sendiri. Bentuk badan, raut-muka dan gerak-gerik orang di Indonesia yang digambarnya itupun bukanlah benar-benar Indonesia, melainkan asing.
Ditinjau dari persoalan tentang ada atau tidaknya kecintaan Basuki Abdullah terhadap bangsanya, kita tiba pada kenyataan bahwa hal itu adalah negatif, maka negativitet ini diberi kedok-kedok yang manis, genit dan menggiurkan secara geraffineerd dalam potret-potret perempuan yang sebanyak itu.
Tak ada tandanya pula bahwa exposan ini mengerti masalah-masalah manusia, alam dan masyarakat di negeri-negeri luar. Ia hanya banyak memakai show dengan kecantikan wajah, dengan berbagai sikap tubuh-tubuh yang molek serta penari-penari yang paling banter hanya mengantarkan Schwung, lepas dari kebatinan objektif maupun subjektif.
Oleh semuanya ini terbukti bahwa tak ada pengertian serta perasaan Basuki Abdullah tentang seni, maka dengan begitu tak dapat kami menerimanya sebagai seniman. Ia adalah poseur dan arrangeur, yang dengan cara-caranya itu hanya menunjukkan tidak mempunyai kejujuran.
Tiga lukisannya yang benar-benar sekali yang diberi nama muluk-muluk seperti juga lukisan-lukisan lainnya, lebih-lebih lagi membuktikan tak adanya kejujuran itu. Lukisan Merdeka berarti bertanggung-djawab (no. 2) misalnya, yang menggambarkan Borobudur, masjid, perindustrian serta arca-arca dan monumen-monumen asing, tiada lebih dari suatu show-business yang ingin menggemparkan dengan kegemerlapan yang kosong. Demikian pula sifat berteriak-teriak dalam Perang dan Damai (no. 1) dan Sedarah, tapi asing (no. 3).
Aspek keempat dalam pameran ini ialah bahwa lukisan-lukisan memperlihatkan pengolahan yang sama, jadi tak merupakan pencarian masing-masing, maka karena itu tak usah dibicarakan satu-persatu. Pada umumnya Basuki Abdullah, meskipun keluarga akademi, belum membuktikan bisa menguasai anatomi secara tinggi, cuma middelmatig. Ia teliti membuat wajah-wajah orang, tapi kaki atau lengan sering terasa tak hidup, kadang-kadang seperti kayu. Penggambaran latar-belakang pun hampir semuanya secara ceroboh, tak merupakan kesatuan dengan objek utamanya. Demikian dari segi teknik pun Basuki Abdullah tak dapat kita kagumi.
Alhasil, ditilik dari sudut manapun, pameran kwasi-seni ini hanyalah negatif dan destruktif yang merusak selera dan berbahaya.