Sumber: Seni, No. 1, Tahun I, Januari 1955, hlm. 43-45.
Dalam kamar-eksposisi toko buku Kolff, Jakarta, tergantung 46 lukisan Otto Djaja, terdiri dari koleksi cat-minyak dan cat-air yang dipamerkan dari tanggal 11-20 November.
Otto Djaja lahir tahun 1916 di Banten, mulai melukis tahun 1939. Ia melawat keluar negeri pada tahun 1946, mengunjungi Akademi Senirupa serta mengikuti pelajaran sejarah seni di negeri Belanda. Di Amsterdam ia pernah mengadakan pameran dan di Monte Carlo mendapat hadiah pertama dalam pameran bersama dengan para pelukis terkemuka di sana.
Kami kenal buah kerja pelukis ini sejak sebelum zaman Jepang sampai sekarang. Ketika itu kami ketarik oleh humornya, dalam menghadapi kejadian sehari-hari, pun kami kenal romantiknya dalam pengolahannya terhadap seni rupa dan dongeng-dongeng nenek-moyang kita. Romantik yang diperolehnya dari dunia klasik Indonesia (Jawa) ini kemudian dilanjutkan dalam konfrontasinya terhadap pemandangan alam serta kejadian-kejadian lainnya sehari-hari. Inilah dua sikap Otto yang terutama: humor dan romantik. Selain dari itu hampir tak ada segi hidup lain yang dijelajahinya.
Caranya mengemukakan dua sikap itu seringkali berlainan. Humornya menangkap gerak-gerik yang secara sesaat, tiada mendalam benar, tapi memberi kesan selintas yang biasanya tepat. Kelakar yang ditangkap Otto biasanya juga bisa ditangkap oleh orang lain. Tiada rahasia dalam kelakar itu yang mengajak kita merenungkan sesuatu sampai kependalaman jiwa manusia. Sesuai dengan kesan humoristis yang lahiriah ini adalah cara melukisnya secara skets. Boleh dikatakan, lukisan-lukisannya seperti ini terasa tidak selesai, seperti skets yang diberi warna saja. Fungsi warna-warna disitu hanyalah mengaksentuasikan keramaian dan dalam beberapa hal memberi gerak. Hal ini untuk menarik gelak-ketawa atau senyum yang diinginkan. Untuk menambah keriangan pula dipakainya banyak warna-warna gembira seperti merah menyala-nyala, kuning dan hijau-muda. Sapuan pensilnya yang lincah dan kasar membantu pula ke arah itu.
Bertentangan dengan corak kelakar yang meriah ini adalah corak romantiknya yang memberat oleh warna-warna suram atau taram-temaram seperti biru-tua, hijau-tua, dan hitam. Dalam romantiknya ini kelakar Otto Djaja tiba-tiba padam, terpisah oleh suasana yang lain sama sekali. Dan memang dua dunia itu berlainan; kalau dunia kelakarnya terambil dari lingkungan hidup sehari-hari, maka romantiknya diselimuti suasana zaman lampau. Zaman lampau ini agaknya terlalu menekan pada si pelukis, sampai ia tak sempat memancarkan cahaya kehidupan tersendiri. Suasananya jauh dari kenyataan sekarang, hingga terasa arkais, tak lagi berbicara pada kita. Suasana mesra yang diperolehnya dengan warna-warnanya tersebut, diaksentuasi lagi oleh sapuan pensilnya yang halus, tak lagi lincah atau kasar seperti dalam lukisan humornya.
Berdasar pada dua sikap hidup Otto Djaja ini yang sudah diterima oleh masyarakat seni lukis kita dari dulu, kami agak merasa kecewa, karena selama ini tak ada diketemukan olehnya segi-segi hidup lainnya, keragaman baru, ekspresi baru yang memberi kesegaran pada hasil-kerja pelukis dari taraf masa yang satu ke taraf masa lainnya yang lebih lanjut. Otto masih saja pada tingkatan yang dulu. Meskipun di masa dulu kita terima dia sebagai pelukis yang orisinil, namun sekarang kita harapkan dia lebih maju lagi. Kelajuan mesti diatasi oleh kesegaran expresivitet diri yang selalu membaharui masalah.
Kelayuan ini paling tegas kita jumpai dalam lukisan arkais-romantisnya yang menggambarkan Lutung-perempuan jang mendjelma bidadari (no. 13). Lebih baik adalah hasil-hasil dekoratifnya yang rupa-rupanya diilhami oleh relief di candi-candi, misalnya Tapa (no. 29) dan Sang surja dan pohon (no. 32). Sedangkan lukisan dekoratif bisa kita terima misalnya Penunggang kuda Putih (no. 25).
Kelanjutan corak romantik ini kita ketemukan dalam lukisan-lukisan yang terlepas dari zaman klasik ialah misalnya pemandangan-pemandangan alam secara impresionistis seperti Pasar Ikan (no. 2) dan Perahu dan pohon kelapa (no. 3), tapi kurang meyakinkan, karena romantik masih terlalu ditekankan, hingga mendesak ekspresi lainnya. Pelepasan lainnya ialah ke arah realisme dengan diselubungi bekas-bekas romantik, seperti potret-potret: Penari Djawa (no. 14) dan Mempelai Wanita Djawa (no. 1). Dalam jenis inilah Otto Djaja menurut kami paling berhasil dalam cat-minyaknya, istimewa Penari Bali (no. 16). Lukisan ini mempunyai ketenangan dan keseimbangan yang sewajarnya, tanpa bermurung atau lincah yang ditekankan, seperti dalam banyak lukisan lainnya.
Lukisan humornya lebih banyak dapat kita terima, ialah beberapa lukisan genrenya seperti Kuda Kepang (no. 5) dan Tajuban (no. 8). Kekurangan daya ekspresif si pelukis dalam jenis ini terasa, kalau kita saksikan bahwa air muka dan gerak-gerik objek-objeknya itu pada umumnya sama saja, kurang variasi. Dan meskipun dalam jenis ini tak diperlukan ketelitian, namun selayaknya lebih diperhatikan soal-soal anatomis. Kecuali tendensi humor dan romantik ini ada pula buah-tangannya yang menyimpang dari itu, tapi anehnya hanya kita jumpai pada cat-airnya, kecuali sebuah cat-minyak sangat kecil yang bernama Kanak (no. 28). Dengan cat-airnya ini Otto telah mengadakan percobaan-percobaan lain, tapi sayang masih lebih banyak yang terasa tidak selesai. Tapi sebaliknya, kami dapat menghargai sepenuhnya cat-airnya yang bernama Rumah dan perahu di Warmond (no. 34), Di Monte Carlo (no. 35), dan Di Aden (no. 36). Keseimbangan dalam hal pengolahan objek, komposisi, warna dan suasana menyebabkan “kenetralan” lukisan-lukisan itu, terlepas dari pengaruh tendensi Otto yang terlalu banyak dipergunakannya.
“Kenetralan” ini mungkin perlu bagi banyak pelukis, juga bagi Otto, untuk menemukan keragaman pelukisannya yang segar.